“Mari Jadikan Sampah Musuh Kita Bersama”
Headline Blog Detik beberapa waktu lalu membuat saya mengernyitkan
dahi. Musuh? Kok sampah dijadikan musuh sih. Judulnya heroik, tapi
mengajak pembaca untuk memusuhi sampah rasanya bukan solusi jitu.
Karena sampah akan semakin dijauhi. Masalah sampah tak terpecahkan.
Paradigma lama tetap terpateri bahkan lebih kuat bahwa sampah adalah
barang busuk, bau dan sumber penyakit yang harus dijauhi.
Lha emangnya siapa penghasil sampah? Bukankah kita? Bukankah kita
harus memahami sampah untuk mendapatkan solusi agar sampah tidak
bertebaran diseantero kota? Untuk itulah Walikota Bandung, Ridwan Kamil
mencanangkan GPS (Gerakan Pungut Sampah) agar warga masyarakat peduli
sampah. Setelah warga peduli, barulah dilakukan sosialisasi atasi
sampah.
Caranya banyak. Termudah adalah membayar tukang sampah untuk
membuangnya. Dibuang kemana? Ya masa bodolah, kan udah bayar. Melupakan
bahwa sampah yang kita hasilkan menggunung di lokasi lain. Hingga
pernah menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dalam kasus longsornya
TPA Leuwigajah 21 Februari 2005.
Cara lainnya adalah dengan membakar atau membuangnya ke sungai.
Aktivitas yang mengakibatkan bencana sehingga pemerintah daerah
memberikan sanksi membayar sekian juta rupiah (tergantung kebijakan
daerah per daerah). Karena membakar sampah menimbulkan racun yang akan
dihirup banyak orang sedangkan membuang sampah ke sungai mengakibatkan
banjir. Kasihan kan Bandung Selatan terkena banjir setiap kali hujan
turun dengan deras.
Bagaimana jika
kita mulai mencoba mengelola sampah rumah tangga? Asyik lho, terlebih
sambil mengajak anak-anak mengenal sampah. Karena memisah sampah dari
rumah tangga sama sekali tidak menjijikkan, toh sampah belum membusuk.
Misalnya sampah kulit buah semangka. Masih segar. Baru berubah bentuk
3 hari kemudian. Sehingga kita bisa mengajak anak-anak mengenal
sampah dengan memotong-motong kulit semangka/melon/ buah-buahan
lainnya dan memasukkannya ke komposter. Juga sisa sayuran seperti batang kangkung/bayam/wortel/caisim.
Mengapa sebaiknya kita mendahulukan mengolah sampah organik? Karena jumlah
sampah organik mencapai 70 % dari total sampah yang kita hasilkan.
Jika kita berhasil mengolah sampah organik dan mengembalikan kealam
maka sisa sampah anorganik (30 %) akan lebih mudah mengatasinya.
Sampah Organik
 |
aneka pilihan kelola sampah organik (dok. Maria G Soemitro) |
Ada beragam cara menangani sampah
organik, sesudah dipotong-potong sampah bisa dimasukkan ke kotak
takakura (foto kanan), atau lubang resapan biopori (foto kiri tengah),
atau komposter komunal (foto kiri bawah) atau bekas karung beras berisi
tanah, kompos, pupuk kandang (foto kiri atas)
- Kotak Takakura, silakan lihat uraiannya disini.
- Lubang Resapan Biopori (LRB), bisa
dibuat dengan membeli alatnya di toko pertanian terdekat. Asyik
dilakukan untuk mengisi liburan anak-anak. Karena anak-anak belajar
membuang sampah dengan benar serta belajar menabung air.
- Komposter komunal, bisa dibeli di
toko pertanian dalam bentuk tong plastik. Saya memilih membuat sendiri
dengan bahan baku batu bata sesuai petunjuk
pak Supardiyono Sobirin. Sayang tukang batu rupanya tidak cermat
membuat sehingga komposter ini runtuh dan harus ditutup asbes bekas agar
terlihat rapi. Keunggulan komposter komunal adalah kita bisa
memasukkan semua sisa aktivitas dapur tanpa harus memotongnya. Juga
dedaunan di pekarangan, bisa kita masukkan kesitu.
- Komposter bekas karung beras. Tak
ada rotan, akarpun jadi. Tak ada takakura dan pekarangan terlalu sempit
atau bahkan sudah tertutup sehingga membuat LRBpun tidak memungkinkan?
Maka kita bisa mengompos sisa sayuran ke dalam bekas karung beras atau
apapun yang serupa. Asalkan berlubang/berpori.
Aktivatornya bisa
dibeli di tukang tanaman yaitu campuran tanah, sekam dan pupuk kandang.
Mereka menyebutnya pupuk atau kompos. Sehingga harus ditanyakan
komposisinya karena pupuk kandang memegang peranan penting untuk
mempercepat penguraian sampah.
Masukkan semua sampah organik ke
dalamnya, jaga agar tidak terlalu padat karena penguraian sampah akan
tersendat bahkan terhenti. Tambahkan sekam jika terlalu padat atau buat
2-3 komposter semacam ini. Semakin banyak sampah yang dibuang
membutuhkan ruang yang semakin luas. Saya (4 anggota keluarga) membuat 3
komposter.
 |
komposter bekas karung beras (dok. Maria G. Soemitro) |
Yang perlu diperhatikan lainnya:
- Jangan lupa mengaduk media aktivator sesudah memasukkan sampah organik.
- Jangan memasukkan kuah santan. Kuah
sop, air beras, air daging sangat dianjurkan, tapi jangan terlalu
banyak karena kondisi media tidak boleh terlalu basah.
- Jangan lupa menutupnya agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan.
- Jika media diraba terasa hangat
atau bahkan panas, maka proses pengomposan berhasil. Karena itu
binatang kecil seperti semut, lalat dan kalajengking tidak seharusnya
ada, atau pertanda pengomposan gagal. Harus dicari penyebab dan
solusinya. Ada kemungkinan karena terlalu padat atau pengadukan yang
tidak rata.
- Komposter sebaiknya diisi sampah
organik setiap hari, agar proses pengomposan berjalan kontinyu. Hasil
pengomposan menunjukkan perilaku pemiliknya, bahkan konsumsi
pemiliknya. Contohnya, hasil kompos seorang anak kost yang
sehari-harinya makan di warung atau mi instan, mungkin hanya memasukkan
sisa puntung rokok (tanpa filter) ke dalam komposter. Berbeda dengan
hasil kompos seorang ibu rumah tangga yang rajin meemasak dan aktif
memasukkan sisa dapur dan sisa makanan olahan ke dalam komposternya,
komposnya akan kaya gizi.
- Jika sampah berbau busuk, maka bisa
dipastikan proses pengomposan juga tidak berjalan dengan benar.
Cobalah menambah tanah dan sekam kemudian mengaduknya. Saya sering
memasukkan kulit udang ke dalam komposter dan hasilnya bagus, tidak
berbau.
Tujuan pemotongan
sampah organic menjadi bagian-bagian yang lebih kecil adalah agar
proses pengomposan berlangsung lebih cepat. Tanpa dipotong-potongpun
tidak mengapa tetapi komposter menjadi
mudah penuh.
Kompos bisa
dipanen sekitar 2 bulan kemudian. Sangat berguna untuk memupuk tanaman,
media tanaman atau bahkan dijual. Tapi bukan itu substansinya, sampah
yang sudah berubah jadi kompos pasti akan diterima siapapun dengan
senang hati. Berbeda halnya jika mereka diberi sampah organik yang
masih mentah: basah dan berbau.
Sampah Anorganik
Sampah anorganik
lebih mudah diurus. Sisa yang menempel pada plastik dan botol kaca
dibersihkan agar tidak menimpulkan bau tak sedap, kemudian masukkan
dalam wadah khusus.
 |
tong untuk memisah sampah (dok. Maria G. Soemitro) | |
Saya memilih menggunakan tong plastik (bisa juga kardus bekas) yang secara periodik dikosongkan oleh pemulung.
Foto bawah adalah
tong berisi sampah anorganik (botol plastik, kardus, kertas duplek) yang
bisa dijual, ditampung oleh bank sampah dan pengepul.
Sedangkan foto atas berisi sampah emergency
yaitu sampah yang tidak bisa dihindarkan (dari tamu) maupun sampah
anorganik yang tidak saya ketahui harus diapakan. Jumlahnya tidak
banyak, tetapi yang pasti berbulan-bulanpun tukang sampah absen, tidak
membuat saya kelimpungan.
**Maria G. Soemitro**
0 komentar