Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities

source:abnamro.com

Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di AS, Eropa, Asia, dan seluruh dunia. Untuk kawasan Australia, Dr. Daniel Knapp dari Urban Ore, Berkeley, CA melakukan tur sejak tahun 1995.  Serangkaian pembicaraan dilakukan dengan pemerintah, bisnis dan warga kota besar tentang  cara memaksimalkan penggunaan bahan, meminimalkan pemborosan sumber daya dengan menggunakan kembali , daur ulang, dan komposting.

Apa yang dibicarakannya merupakan titik awal ide circular economy, sistem ekonomi yang meniadakan waste/sampah karena hasil proses suatu produk harus bersinergi dengan proses berikutnya.


Sekarang, Zero Waste menjadi  standar untuk organisasi lokal, nasional dan internasional. Termasuk banyak asosiasi Zero Waste  lokal di seluruh AS.  Aliansi Anti Insinerasi Global di AS, Eropa dan Asia serta Greenpeace AS dan Internasional semuanya berkumpul di bawah bendera Zero Waste.

Keberpihakan  konsep Zero Waste cocok dengan kegiatan dinamis di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Austin serta yurisdiksi yang lebih kecil seperti Gainesville / Alachua County, FL. Di kota-kota tersebut kekuatan warga  mengalahkan keinginan pemerintah untuk membangun insinerator sampah.

Bagaimana dengan Indonesia?

Melalui KemenLHK, Indonesia mencanangkan  “Indonesia Bergerak Bebas Sampah 2020”, agar tidak lagi menjadi pembuang sampah kedua  di lautan. Sesuai penelitian  Jenna Jambeck yang telah dipublikasikan pada Jurnal Science (www.sciencemag.org) pada 12 Februari 2015.
Namun tidak ada perubahan signifikan. Truk sampah masih berbondong-bondong ke TPA, masyarakat masih membuang sampah sembarangan dan sungai dipenuhi limbah padat berlapis-lapis.

 “Masalahnya bukan rentang waktu,” ujar  Direktur YPBB Bandung, David Sutasurya, ”melainkan tidak adanya perubahan cara pengelolaan sampah. Selama masih menerapkan  ‘kumpul, angkut, buang’, target puluhan tahunpun akan percuma”.

Di sore berangin, usai hujan, saya mengobrol dengan David di kantornya yang asri, Jalan Rereng Barong nomor 30 Bandung.  YPBB Bandung merupakan organisasi non pemerintah yang sejak tahun 1993 aktif berkampanye  dalam mewujudkan  zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.
David Sutasurya juga merupakan salah satu Dewan Direktur Bebassampah.Id yang sukses menyelenggarakan “International Zero Waste Cities Conference” pada 5- 7 Maret 2018 di Kota Bandung.

Jadi, harus bagaimana?

source: least.waste

“Apa sih pengertian sampah?” tanya David.
“Hmm.... sisa-sisa aktivitas manusia,” jawab saya. Ragu.
“ Betul, sampah merupakan  konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari aktivitas manusia,” lanjut David. “Sejak dulu kita terbiasa membuangnya ke alam”.

Alam mampu  mengelola sampah secara berkelanjutan.  Terbukti selama jutaan tahun  tidak ada sampah menumpuk. Bila tidak, pastinya  bumi sudah dipenuhi tumpukan daun kering serta kotoran hewan dan manusia.

Masalah sampah baru muncul setelah bahan tambang dan bahan sintetis ditemukan serta diproduksi  secara massal.   Plastik, misalnya, baru sekitar 150 tahun silam,  sejak pertama ditemukan tahun 1862 oleh Alexander Parkes.

Berbagai jenis serangga dan cacing dapat menguraikan sampah organik menjadi bahan-bahan yang berguna bagi tumbuhan. Tapi tidak ada bakteri atau cacing atau jamur yang dapat memanfaatkan plastik sebagai bahan makanannya.

Logam dan plastik lama-lama akan hancur. Tetapi tidak terurai di alam. Faktor   fisik seperti suhu, sinar matahari, kelembaban dan tekanan udara hanya membuat sampah logam serta  plastik menjadi lebih rapuh.

Yang terjadi kemudian lebih menakutkan,  logam berkarat karena proses reaksi dengan oksigen di udara menjadi oksida logam. Bahan ini menjadi racun yang mengganggu   kesehatan makhluk hidup.
Sedangkan plastik menjadi rapuh.  Namun alam tidak mampu memurnikannya. Hanya membuat plastik hancur menjadi potongan-potongan kecil yang disebut nurdles/ mikroplastik. Potongan kecil ini tersebar di tanah dan di laut dan sering termakan oleh hewan-hewan. Mikroplastik akan menumpuk dalam tubuh mahluk hidup kemudian  masuk ke dalam siklus makanan. Mengganggu proses metabolisme tubuh.

“Bagaimana dengan kantong plastik ramah lingkungan yang konon bisa hancur dalam waktu 2-3 bulan?” tanya saya sambil membayangkan timbunan mikroplastik dalam tubuh saya,  tubuh orang –orang yang melintas di depan kantor. Dan, ah juga di tubuh anak balita yang menggemaskan. Sungguh mengerikan!

“Salah kaprah itu.  Mereka menyebut kantong plastik  ramah lingkungan hanya  karena ditambah zat aditif agar mudah hancur menjadi mikroplastik. Seharusnya yang dimaksud kantong  ramah lingkungan adalah tas kain yang bisa digunakan berulang kali”.

source: gaia

Jadi, apa  solusinya?
We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them (einstein)

Harus ada perubahan. Karena kita tidak mungkin menggunakan  cara sama dengan sebelum bahan tambang serta bahan sintetis digunakan secara global dan masif.
Tidak bisa lagi menerapkan sistem sentralisasi pengelolaan sampah seperti sekarang. Yaitu, mengumpulkan sampah, mengangkutnya untuk dibuang ke TPA. Banyak kerugian yang muncul akibat sentralisasi.
·         Sampah berceceran dan berterbangan. Sampah dalam proses pengangkutan juga meresahkan warga masyarakat yang melintas. Seorang teman yang tinggal di Bekasi berkisah,  setiap pagi harus  berpapasan dengan truk sampah yang melintas. Bau busuk  tercium hingga  ratusan  meter. Air lindinya berceceran. Menjijikkan.
·         Biayanya lebih mahal dibanding sentralisasi. Tidak hanya meliputi biaya angkut, juga tipping fee. Bahkan DKI Jakarta harus menyiapkan dana hibah kemitraan berjumlah triliunan ropiah.
·         Tidak berkelanjutan. Bumi hanya satu. Jumlah manusia bertambah banyak.  Lahan kosong semakin mengecil.  Di masa depan tidak ada lagi lahan untuk menimbun sampah seperti sekarang.

Bagaimana dengan alternatif “waste to energy” atau membangun pembangkit listrik tenaga sampah?

Kerugian yang dialami akan  sama dengan cara “kumpul, angkut, buang” seperti yang kini berlangsung. Bahkan lebih buruk. Biaya per ton  pengolahan “waste to energy”  sangat mahal. Yaitu Rp 811.902.000/ton, biaya  proses “kumpul, angkut , buang” sampah Rp 776.235.000/ton, sedangkan biaya sampah cara desentralisasi hanya Rp 329.205.000/ton.
Parahnya  lagi, menurut Dwi Sawung dari Dewan Nasional Walhi, biaya produksi sampah menjadi listrik mencapai Rp 18 sen/kwh. Sementara PLN hanya sanggup membayar Rp 6,8 sen/kwh. Nah lho?

Jadi, pilihan yang terbaik adalah desentralisasi pengolahan sampah?

Ya, desentralisasi sampah berarti mengelola sampah dari rumah. Sampah dipisah dan diolah, hanya yang mengandung residu dibuang ke tempat penampungan sampah. Jauh lebih murah dan tidak menimbulkan bau yang meresahkan masyarakat.

Bagaimana bisa dilakukan jika belum ada contoh?

Banyak contoh di Indonesia.   YPBB sudah memulai dengan membuat kawasan percontohan bebas sampah di RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung. Kemudian, ada 2 program di Kota Bandung.

·         Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. Setiap KBS akan didampingi selama sekitar 6  bulan. Targetnya seluruh kelurahan di Kota Bandung akan menjadi kawasan bebas sampah.

·         Zero Waste Cities. Merupakan program bersama YPBB Bandung dengan Mother Earth Foundation, dengan sasaran kawasan Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi.   Berlangsung multi years, karena goalnya tidak hanya partisipasi masyarakat, juga perubahan tingkah laku/budaya.

Bagaimana pelaksanaannya? Rumitkah?

Tidak rumit. Yang pertama kali  dilakukan tentunya riset, kemudian pembentukan dewan pengelola sampah kelurahan, pengembangan desain sistem pengelolaan sampah, sampai pengawasan dan penegakan hukum.
1.       Riset
Salah satu riset yang dilakukan adalah mendata jumlah sampah yang dihasilkan suatu kawasan. Ini penting untuk mengetahui keberhasilan program. Contohnya, setiap hari sampah yang dihasilkan warga Babakan Sari mencapai 24 ton dan  diangkut lima truk. Jika periode awal berhasil mengurangi sampah hingga   16 ton sampah, berarti hanya memerlukan  tiga truk atau penghematan sebesar  Rp 30-60 juta.
2.      Teknis 
          Setiap warga wajib memilah sampahnya menjadi empat jenis. Yaitu sampah sisa makanan, sampah kebun, popok atau pembalut, dan sampah campuran.

Di TPS, empat jenis sampah itu akan dipilah lagi menjadi delapan hingga sembilan jenis. Sampah yang tidak bisa didaur ulang atau dijadikan kompos, dibawa ke TPA.
1.       Dewan Pengelola Sampah
Dewan Pengelola Sampah sangat menentukan keberhasilan program. Seorang Ketua Rukun Warga (RW) bisa menggunakan otoritasnya. Jika ada warga yang tidak memisah sampah, maka akan terkena sanksi sampahnya tidak diangkut.
Ketua RW Kota Bandung  juga memiliki kewenangan membuat pos pengelolaan  sampah dari anggaran PIPPK sebesar Rp 100 juta, yang naik menjadi Rp 200 juta/tahun sejak  tahun 2018. Sedangkan Ketua RW Kabupaten Bandung bisa menganggarkan dari dana desa.
Selain itu, ada  atau tidaknya lahan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sangat bergantung ketua RW dalam memainkan perannya.
2.      Pengembangan desain sistem pengelolaan sampah
Setiap daerah memiliki ciri khas dan kecenderungannya masing-masing. Di Kota Bandung, KBS  Sukaluyu berbeda KBS Babakan Sari. Perbedaan akan makin menyolok di kawasan Kabupaten Bandung.

Di Soreang Kabupaten bandung, misalnya, sampah organik dimasukkan ke dalam lubang sampah komunal. Mudah dilakukan karena umumnya warga  memiliki tanah pekarangan yang luas. Juga masih banyak tanah kosong.

Berbeda dengan kawasan perkotaan. Harus cerdik memanfaatkan lahan dan teknologi. Seperti  KBS Sukaluyu yang  membagi pengolahan  sampah organik dalam 2 jenis, yaitu:
·         Biodigester. Ada 5 biodigester atau instalasi pengolah sampah menjadi gas metan untuk memasak. Secara periodik, pengangkut sampah di KBS Sukaluyu memasukkan sampah organik yang lunak seperti kulit pisang, nasi sisa sayuran ke dalam tong biodigester berkapasitas 10 – 15 kg.  Api yang dihasilkan bisa untuk memasak selama tiga jam nonstop.
·         Komposter. 13 titik komposter digunakan untuk mengompos sampah organik yang keras   seperti bonggol jagung atau dedaunan kering. 


        Apakah ada masalah di lapangan?

“Hambatan pasti ada,” jawab Tiwi, salah seorang staff YPBB yang bertugas memberi penyuluhan pada warga di KBS. “Misalnya terkadang lupa memisah sampah”.
“Agak kesel jika ada yang ngeyel sambil nanya, mana undang-undang memisah sampah?” lanjut Tiwi.
David tertawa.
“Iya, kelemahannya disitu. Tidak ada regulasi yang mengharuskan   warga  memisah sampah. Isi peraturan hanya menyasar pihak swasta dan pemerintah. Karena itu sedang kita perbaiki dari perda ke perda,” kata David.

Seberapa optimis David akan program desentralisasi sampah?

Sangat optimis. Dalam “International Zero Waste Cities Conference” kemarin kan kita mendengar bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Perancis dan USA telah menerapkan desentralisasi sampah. Untuk negara berkembang, ada India dan Filipina.

Jumlah sumber daya alam yang semakin berkurang juga memaksa negara meninggalkan sistem perekonomian yang lama. Dari ekonomi  liner, berubah menjadi ekonomi  reuse/recycle dan berakhir ekonomi sirkuler.

Saya berkisah, dalam field trip Danone Blogger Academy tanggal 13 September kemarin mengunjungi  Rukun Santosa, suatu  unit usaha yang mengolah sampah plastik sebagai pengisi lembaran tas, dompet serta berbagai produk lainnya.



“Itu termasuk recycling economy,” jawab David. “Nanti, jika semua kemasan bisa diproses hingga tak ada lagi yang dibuang ke alam, barulah kita masuk fase ekonomi sirkuler. Karena itu sudah saatnya stop penemuan useless,  mulai mencari inovasi agar tidak ada lagi sampah yang dibuang”.
“Dan Indonesia bebas sampah, tidak hanya slogan?”
“Iya, dunia bebas sampah juga akan terwujud. Bersih sampah merupakan dampak lanjutan dari cara pengelolaan sampah yang benar”.

Saya mengangguk.

Tetes hujan kembali merinai.








Share:

1 komentar

  1. Ayook, kita semua jadi pelopor banyak orang agar sadar tidak membuang sampah sembarangan, sebisa mungkin mendaur ulang sampah.
    Setidaknya contoh buat disekitaran kita tinggal dulu.

    BalasHapus