Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
![]() |
Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro) |
Yang dimaksud kantong
plastik ramah lingkungan disini terbuat dari singkong, ubi kayu yang biasa kita
olah menjadi combro, singkong Thailand dan cemilan lain. Sebuah acara talk show
yang digawangi Deddy Corbuzier menayangkannya pada akhir Maret 2017, disusul
Metro TV dalam acara siang hari tanggal 4 April 2017. Di kedua acara tersebut,
sang penemu kantong plastik ramah lingkungan menampilkan kemampuan kantong
plastik meluruh tercampur air kemudian dengan mudah bisa diminum. Mirip
pertunjukkan sulap.
Baca juga: Mengapa Ridwan Kamil melarang penggunaan styrofoam?
Baca juga: Mengapa Ridwan Kamil melarang penggunaan styrofoam?
Topik kantong plastik
ramah lingkungan bukanlah sesuatu yang baru, biasanya mengemuka ketika ada
suatu gerakan massif menolak kantong plastik. Tahun ini muncul karena ada
laporan Jambeck et al, yang menuduh Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik
terbesar kedua di dunia. Juga regulasi pemerintah yang lamban untuk mengurangi
pemakaian kantong plastik setelah secara serentak dilarang penggunaannya di
ritel modern per Februari 2016.
Tahun 2010, ritel modern
dipenuhi kantong plastik ramah lingkungan ecoplas yang terbuat dari
campuran tepung singkong dan oxium, kantong plastik dengan tambahan zat
aditif yang berfungsi mempercepat penguraian plastik dengan bantuan oksidasi,thermal dan
fotodegradasi. Kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan tersebut
digelontorkan untuk menjawab kampanye Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik
(GIDKP) yang diinisiasi Greeneration Indonesia (GI).
Ah, mari kita bahas
tentang si kantong plastik yang terbuat dari singkong saja dulu. Tulisan
berikutnya barulah membahas lainnya. Kebetulan, pada tahun 2011 saya
berkesempatan mengunjungi pabrik yang memproduksi kantong plastik terbuat dari
singkong. Kepala produksi berkisah bahwa Paris Hilton menggunakan plastik yang
sama tapi berukuran kecil untuk memungut dan membuang kotoran hewan peliharaannya.
Tentu saja ketika dibuang diharapkan tidak mencemari bumi, walau persentase
campuran tepung singkong sangat sedikit.
![]() |
biji plastik yang telah dicampur ekstrak singkong (Maria G Soemitro) |
Pada kesempatan itu juga
ditayangkan video lokasi penanaman singkong ditanam di suatu daerah Jawa Barat.
Singkong dipanen dan dikirim ke pabrik untuk proses pembuatan kantong plastik
ramah lingkungan. Seorang teman rombongan berbisik:”Ini peluang bagus agar
rakyat kita tidak usah ke luar negeri dan menjadi buruh mingan disana. Cukup di
Indonesia, tanam singkong!”. Wah, benarkah demikian? Ditambah iming-iming
penggunaan singkong yang lebih banyak seperti di awal kisah, maka nampaknya
petani Indonesia bakal sejahtera, tidak perlu tanam tanaman holtikultura
seperti cabai yang rentan hama.
Sayangnya, jangankan
bermimpi tanam singkong untuk kantong plastik. Kini, untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri dalam bentuk tepung tapioca, Indonesia harus mengimpor singkong
dari Vietnam. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih mengimpor
singkong pada tahun 2016 sebanyak 12.530 ton atau US$ 2,2 juta, (sumber)
Nah, apa yang terjadi
jika Indonesia juga membutuhkan singkong untuk kantong plastik? Mungkin kran
impor akan tak tertahankan mengingat betapa borosnya penggunaan kantong
plastik. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan singkong sebagai kantong
plastik tidaklah sesederhana membalikkan tangan. Lebih lanjut bahkan akan
menimbulkan ancaman pada:
Ketahanan pangan
Pilih pangan atau kantong
plastik? Tentu saja pangan bukan? Pangan merupakan kebutuhan primer yang tidak
dapat ditawar, jumlahnya harus mencukupi dan singkong merupakan salah satu
bahan makanan pokok bagi suku tertentu, contohnya suku Cireundeu. Juga
merupakan bahan makanan subtitusi beras. Ketika suatu kelompok masyarakat
kehabisan beras maka mereka akan mencari singkong sebagai pengganti.
Maka situasi menjadi
tidak lucu dan sangat aneh jika di suatu lokasi singkong ditanam untuk memenuhi
kebutuhan kantong plastik, sementara di belahan bumi lain atau bahkan di
provinsi lain di Indonesia, anggota masyarakatnya kelaparan, nyaris busung
lapar.
Energi terbarukan
Seperti diketahui, energi
fosil yang berasal dari minyak bumi hanya akan bertahan hingga 70 tahun,
padahal jumlah kendaraan bermotor berlipat ganda dalam 30 tahun kedepan. (sumber). Untuk mengantisipasinya Indonesia yang kaya akan
energi terbarukan harus memanfaatkan semaksimal mungkin. Salah satu bahan baku
energi terbarukan yang mudah dan murah proses produksinya adalah singkong.
Keseluruhan hasil panen singkong bisa digunakan, mulai dari kulit hingga
ampas/limbah tepung tapioka.
Singkong juga unggul,
jika dibandingkan dengan rata-rata kandungan alkohol yang hanya mencapai 70
persen pada bahan bakar yang ada sekarang, maka bioetanol (kandungan alkohol
dari singkong) bisa mencapai 96 persen. (sumber). Manfaat penggunaan bioetanol lainnya adalah
pengurangan subsidi secara signifikan dan mampu mengurangi polusi udara karena
bioetanol bersifat ramah lingkungan.
Perilaku bijak lingkungan
Gerakan Indonesia Diet
Kantong Plastik (GIDKP) terbentuk setelah muncul pemahaman bahwa untuk
mengurangi sampah dibutuhkan perubahan perilaku. Anggota masyarakat harus bijak
menggunakan kantong plastik dengan menggunakannya berulang kali. Jangan sekali
pakai agar minyak bumi sebagai bahan baku kantong plastik, tidak terbuang
percuma.
Dengan adanya kantong
plastik ramah lingkungan, anggota masyarakat dimanjakan dan dibuat terlena
dengan anggapan : “ah, tidak apa-apa membuang sembarangan kantong plastik ramah
lingkungan, toh akan hancur dengan sendirinya”. Mereka tidak mempedulikan
apakah isi kantong plastik yang dibuang adalah sampah organik atau sampah
anorganik yang berarti tetap akan menimbulkan masalah sampah. Mereka juga tidak
peduli bahwa untuk memproduksi kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan
membutuhkan sumber daya alam lainnya.
Jadi masihkah kita ikut
terseret sesat pikir kantong plastik ramah lingkungan hanya karena bisa
berfoya-foya menggunakan kantong plastik sekali pakai?
0 komentar