Lautku Bebas Sampah, Mungkinkah?
Ibarat
jantung planet bumi, itulah lautan. Berfungsi bak jantung yang memompa darah ke
seluruh tubuh, lautan mengatur iklim,
menyediakan makanan bagi jutaan orang yang tinggal di bumi, memproduksi
oksigen, menyediakan obat-obatan dan menjadi bagian dari ekosistem di lautan.
Sayangnya
manusia mendapatkan manfaat dari lautan, namun manusia juga yang membuat lautan
menjadi sakit. Seperti yang diungkapkan Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri RI, Jose Tavares, setiap
tahun sedikitnya 12,7 juta metrik ton sampah plastik yang diproduksi di daratan
dibuang ke laut di seluruh dunia. Mengakibatkan terganggunya ekosistem, burung
dan biota laut lainnya mati, produksi oksigen terganggu.
Secara
spesifik, Ellen Mac Arthur Foundation
melaporkan bahwa setiap tahunnya hanya 5 % sampah plastik yang didaur ulang
secara efektif, sisanya sebanyak 40 persen berakhir di tempat pembuangan sampah
akhir (TPA) dan 30 % menemukan jalan ke lautan. (sumber)
Jika
tak segera ditangani, maka diprediksi pada tahun 2050, jumlah sampah plastik
akan melampaui jumlah ikan. Dan kita tidak bisa menunggu saat itu, saat kondisi
lautan terlampau parah untuk dipulihkan.
Jadi,
harus bagaimana?
Bersama
semangat “Lautku Bebas Sampah”, yaitu dimulai dari diri sendiri, dari yang termudah dan memulainya sejak saat
ini. Yaitu:
![]() |
toples digunakan ulang (Maria G Soemitro) |
Mengurangi sampah
(reduce)
Proses
reuse membutuhkan kecerdikan dan kreatifitas. Alih-alih membeli aneka bumbu,
selai, sambal dalam kemasan plastik,
pilihlah produk dalam botol kaca. Sesudah isinya habis, botol bisa dicuci
bersih untuk wadah bumbu lainnya atau peralatan hobi seperti benang jarum dan
kebutuhan pertukangan seperti paku, baut, mur serta lainnya.
Bekas
lotion perempuan juga bisa digunakan ulang untuk wadah kancing, manik-manik,
atau asesories.
Mendaur-ulang sampah
(recycle)
![]() |
recycle bekas permen (pinterest.com) |
Mendaur-ulang
sampah merupakan proses paling rumit dibanding reduce dan reuse, karena itu
sebaiknya merupakan upaya terakhir jika sampah tidak bisa lagi dihindarkan.
![]() |
sumber: pinterest.c om |
Ada
beberapa tips membuat kreasi limbah plastik, kertas dan keresek/kantong
plastik. Seperti dibawah ini. Namun jika tidak yakin sampah yang dihasilkan
dapat didaur-ulang, lebih bijaksana menghindarinya.
Demikian
juga sampah plastik yang bisa diolah untuk biji plastik, keresek untuk jalan
aspal. Pastikan sampah tersebut akan tersalurkan ke tempat produksi. Jika tidak
bisa, hindari saja.
Mungkin
timbul sanggahan " Ah, aku kan ngga pernah buang sampah ke lautan. Ngga
usah ikut pusing karena setiap bulan udah bayar uang sampah".
Sayangnya
penyelesaian masalah sampah tidak sesederhana itu. Tidak setiap kota mampu
membuang sampahnya ke TPA dengan tuntas. Kota Bandung misalnya, setiap hari
memproduksi 1.600 ton sampah, namun baru mampu mengangkut 1.200 ton sampah.
Penyebabnya apalagi jika bukan anggaran sampah.
Biaya
pengelolaan sampah memang mahal, jika tanpa bantuan anggaran pemerintah, maka
setiap kepala keluarga (KK) harus membayar Rp 300.000/bulan meliputi biaya
transportasi, biaya kompensasi daerah yang dilewati truk sampah dan biaya pengelolaan
sampah. Sanggup?
Banyak
petugas retribusi sampah yang mengeluh sulit sekali menarik iuran, padahal
hanya sekitar Rp 25.000/KK/bulan.
((Beda
halnya jika untuk membeli rokok atau pulsa, ya?))
Ditambah
petugas sampah tingkat RT yang sering mengambil jalan pintas dengan membuang
sampah yang diangkutnya ke dalam aliran sungai, lengkaplah sudah masalah sampah
Kota Bandung..
Tak
heran, Kota Bandung kerap dilanda banjir jika hujan deras.
Dan
banjirpun akan membawa sampah ke sungai yang berakhir di lautan.
Karena
itu hukum harus ditegakkan. Indonesia memiliki Undang-undang nomor 18 tahun
2008 mengenai pengelolaan sampah, dan PP nomor 81 Tahun 2012 sebagai peraturan
pelaksana. Salah satunya mengenai EPR atau extended producer responsibility,
yaitu kewajiban produsen/perusahaan penghasil produk kemasan untuk
mendaur-ulang atau menarik kembali kemasannya.
Salah
satu negara yang berhasil adalah Korea Selatan. Sebelum EPR dijalankan hanya
bisa mengolah 27 persen sampahnya, meningkat menjadi 81 persen setelah
kewajiban EPR diterapkan. (sumber).
Dengan
tagline # LautkuBebas Sampah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar
Pandjaitan mengimbau negara-negara ASEAN untuk sama-sama terlibat mengatasi
masalah sampah di lautan.
Karena
dampak buruk serbuan sampah, adalah kemiskinan. Besarnya tak kurang dari USD
1,2 miliar. "Itu untuk kerugian
yang ada di bidang perikanan, perkapalan, pariwisata dan bisnis asuransi,"
ujar Luhut.
Untuk
menyelesaikan masalah sampah di lautan, ada beberapa skenario diantaranya
adalah Rencana Aksi Nasional (RAN), rencana aksi mengurangi kebocoran berbasis
lahan, kebocoran berbasis laut, mengurangi produksi dan penggunaan plastik.
Kemudian, meningkatkan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan dan yang
terpenting penegakan hukum. (sumber)
Di
pihak lain, tanpa mengenal lelah, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Pudjiastuti selalu berpesan pada warga dan nelayan untuk menjaga ekosistem
laut.
"Saya
berpesan kepada nelayan dan seluruh masyarakat agar tidak lagi membuang sampah
plastik di laut. Sampah plastik itu butuh waktu yang lama untuk terurai. Bisa
juga mengganggu pertumbuhan karang. Kalau karang tidak ada itu sudah dapat
dipastikan tidak ada ikan. Nah kalau ikannya tidak ada nelayan mau tangkap apa.
Jadi jangan ada lagi yang buang sampah plastik di laut," ungkap Susi.
(sumber).
![]() |
oknum buang sampah ke laut (sumber: liputan6.com) |
Selain
sampah domestik, Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah untuk sampah industry.
Walaupun undang-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup telah lama digulirkan namun masih banyak industri yang
membuang limbahnya ke sungai tanpa takut terkena sanksi yaitu dicabutnya izin
pendirian perusahaan.
Akhirnya,
kembali pada keyakinan: Bersama, Lautku Bebas Sampah, pemerintah dengan ketegasannya melaksanakan
dan menegakkan aturan yang ada. Industri mematuhi regulasi dan kita sebagai warganegara
menjalankan aktivitas 3 R : Reduce, Reuse, Recycle.
Karena
sakitnya lautan akan menyebabkan planet bumi sakit pula. Dan kita, sebagai
penghuni planet bumi ingin hidup sehat. Enggan sakit, terlebih hidup sekarat
akibat tercemar mikroplastik.
Ih,
siapa juga yang mau ya?
0 komentar