Hasil
survey sementara bebassampahID
menunjukkan bahwa titik lokasi pengepul di Kota Bandung menempati peringkat
teratas, disusul unit usaha reparasi/service/jasa perbaikan barang. Sedangkan
nilai terendah disabet pengomposan, disusul kerajinan dan Bank Sampah.
Sebetulnya
ngga aneh juga karena faktanya pengepul dan usaha reparasi terbentuk akibat dorongan mencari nafkah. Sedangkan bank
sampah, kerajinan limbah dan pengomposan dibentuk dalam rangka rekayasa social
yang didukung lembaga pemerintah dan atau LSM yang biasanya terkendala waktu
proyek. Anggarannya bukan multi years sehingga ketika anggaran habis, selesai
pulalah aktivitas warga dalam pengelolaan sampah.
Kegiatan
pengelolaan sampah swadaya bisa dihitung dengan jari, dan bank sampah Motekar
adalah salah satunya. Berawal sering membuang sampah di area dekat Bandung
Berkebun, saya mengajak warga setempat membentuk komunitas pengelolaan sampah.
Tidak mudah karena stigma bahwa sampah adalah barang kotor yang hina dina dan
harus dijauhi, kadung melekat dalam pemahaman anggota masyarakat. Karena itu
kegiatan pengomposan timbul tenggelam. Hanya kegiatan yang langsung
menghasilkan uang yang bertahan, salah satunya adalah bank sampah.
Namanyapun berubah-ubah, awal
pembentukan menggunakan nama @sukamulyaindah, kemudian ditahun 2014 menjadi
Kendal gede kreatif dan di tahun 2015 menetapkan bank sampah sebagai sub unit
dengan nama Bank Sampah Motekar yang artinya kreatif (bhs Sunda, pen).
Tidak berlebihan nama Motekar dipilih
karena menandakan kreativitas pengurus Bank Sampah dalam mengelola hasil
tabungan sampah anggotanya. Tiga bulan awal didirikannya, uang bank sampah
sebanyak 300 ribu rupiah dipinjamkan pada anggota sebagai modal usaha (warung
kecil), uang tersebut dikenakan uang fee (jasa) 10 % yang digabung dalam kas
bank sampah sebagai modal pinjaman. Demikian terus bergulir hingga bank sampah
Motekar banyak membantu anggotanya yang terdesak kebutuhan biaya pendidikan,
biaya kesehatan, modal warung hingga membantu warga masyarakat lainnya yang
terkena jerat rentenir.
Modus operandi rentenir memang licik,
mereka mengendus kebutuhan mendesak si miskin akan uang tunai dan cara
pembayaran mudah. Misalnya Ibu A membutuhkan uang Rp 100 ribu, ia sungkan
meminjam pada kerabat atau tetangganya karena merekapun kesulitan uang. Maka
mulut manis rentenir alias lintah darat bagaikan pintu surga yang membawa ke
neraka.
Pinjaman Rp 100.000 dan cara pembayaran
Rp 3.000/hari tampaknya mudah jika kepala keluarga lancar menerima upah. Tapi
ketika pencari nafkah harus tergolek sakit, jangankan membayar utang, barang
berhargapun kerap melayang untuk biaya berobat. Bisa dibayangkan belitan utang
rentenir dengan bunga sebesar 30 % per bulan bagaikan jerat yang menyesakkan
hingga menyebabkan peminjam menjual rumah, kekayaannya yang utama.
Nah dengan meminjam pada bank sampah,
maka berlaku kelonggaran-kelonggaran. Tidak ada lagi bunga atas bunga, sesama
anggotapun memahami jika ada yang sakit sehingga terlambat membayar cicilan.
Dipihak lain, anggota bank sampah yang
mampu membayar tepat waktu akan riskan ketika mengetahui bahwa ada
anggota lain menunggu dikembalikannya uang yang dipinjamnya.
Pelaksanaan bank sampah di bank sampah
Motekarpun berbeda dengan ketentuan profil
bank sampah yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup. Bank Sampah
Motekar tidak memiliki lahan untuk menyimpan sampah anorganik yang dikumpulkan anggotanya.
Sehingga setiap anggota baru mengumpulkan pada hari penimbangan yang
ditentukan. Cara mudah, efisien, efektif dan hemat tenaga. Dengan cara ini
pula, anggota bank sampah telah mendorong anggota keluarganya untuk memisah
sampah sejak awal.
Ingin berkenalan dengan Bank Sampah
Motekar? Silakan datang ke kawasan Kendal Gede RW 02 kelurahan Cigadung
Kecamatan Sukajadi Bandung. Jika beruntung, pengunjung bisa membeli beragam
pangan lokal disini.
berawal dari gunungan sampah di dekat Bandung Berkebun |
Wrote by Maria G Soemitro