Ending
yang bisa ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama
dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah
penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh pihak yang
berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang Bekasi dan selamatlah
Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah. Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi
mau mempertaruhkan nama dengan membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia
dipenuhi sampah hanya gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau
dibiarkan, wuih …… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang
terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin mengungsi
dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi Kota Jakarta.
Kota
Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran sampah di
Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak ubahnya seperti kota
yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk tercium dalam radius 1 kilometer
dari kontainer sampah, hingga akhirnya Presiden SBY turun tangan mengultimatum
walikota Bandung, Dada Rosada. Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau
tidak separah yang pertama. Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju
TPA Sarimukti, menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi
efeknya sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi
atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya. Truk
sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya busuk, sering
meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung menjijikkan yang muncul di
sela-sela sampah berusia sekian hari.
Walau
tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan berarti
kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah, belum ada
penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak dengan skala yang
lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam tumpukan sampah. Mirip
kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam lemari yang dipaksa tertutup
rapat, begitu pintunya tak mampu menahan, berhamburanlah isinya.
Inti
masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad milenium, cara
buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang. Kemudian sebagai manusia
milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan uang, semua pihak terlena,
menganggap uang bisa menyelesaikan masalah, teknologi secara simsalabim mampu
memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada hukum kekekalan materi, jadi ya ngga
mungkinlah sampah bisa menghilang, pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi
listrik? Pasti ada residunya. Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah
organik yang berubah menjadi kompos.
Kebetulan
saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan yaitu Berdamai Dengan
Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember 2010 dan diperbarui 26 Juni
2015. Dalam tulisan yang diperkuat foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang,
telah menerapkan Sanitary Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill –
Anaerobic Digestion (GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah
organik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah
anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan bahan
bakar pembangkit listrik. Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010),
target tahun 2011 sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW
ditargetkan tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang
dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH. Setiap tahunnya
diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat dapat dikurangi di TPST
Bantargebang melalui aktifitas ini.
Keberhasilan
Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah mengantarkan
Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma Karya Energi dan Sumber
Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nah lho? Bagaimana
Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh PT GTJ wanprestasi jika
kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih penghargaan berkat keberhasilan mereduksi
efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan
Kementerian ESDM lho, bukan lembaga ecek-ecek. kegiatan pengelolaan sampah di
Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan) Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST)
terbesar di Indonesia, wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan
hubungan kerja pada 19 Maret 2010.
Dan
yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah melakukan deklarasi ketika
maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto. Penulisnyapun mantan jurnalis yang
kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta. Jadi jika merunut berita terakhir
Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan
kesalahan. Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah
pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang seharusnya 3
kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan Pangkalan Lima, penyediaan
obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa ke sumur artesis. Sementara
tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah pembangunan zona penyangga
(buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang diproyeksikan bisa memproduksi
listrik 9,6 megawatt.
Hmmm
……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui bahwa
teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan berputar saling
tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI membuat road map pengelolaan
sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam
pengelolaan sampah. Dapat berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan.
Sayangnya
pembuatan road map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa
membuat perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi
pengelolaan sampah.
Desentralisasi
ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah. Setiap kawasan wajib
memisah sampah, agar sampah organik yang hancur dalam waktu beberapa hari
jangan dicampur dengan sampah anorganik yang berumur ratusan tahun. Karena jika
tercampur, biaya pengelolaannya mahal nian dan kisruh yang sekarang terjadi
dengan PT GTJ akan kembali terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov
DKI membayar ganti rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah
wara-wiri menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang
jalan yang dilalui.
Ahok
yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan pemilahan sampah
di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik ditampung oleh bank sampah atau
untuk menambah penghasilan pengumpul sampah dari tiap rumah. Hasil kompos
setiap kawasan wajib dibeli oleh dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban
farming. Lah daripada beli 1 kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik
baik beli ke tetangga yang membuat kompos dengan harga miring. Produsen wajib
mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang nomor 18 tahun 2008,
beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan umumkan produsen yang enggan.
Karena selama ini sampah berlapis alumunium (kemasan plastik camilan, sachet
minuman, detergen) serta sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos
dari tanggung jawab lingkungan.
Jika
sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman dari lautan
sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan berpikir ulang untuk
buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai nilai jika digabung. Jika
digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas bank sampah, ternyata mereka bisa
berdaya (mendapat tambahan modal, meminjam uang untuk biaya pendidikan dan
biaya kesehatan) dengan menabung di bank sampah. Hitungannya begini, satu RW
umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga
(KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah
terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di
RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp
26.000.000/tahun. Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh
^_^
Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah?
Gampang banget. Ditulisan berikutnya ya? ………..
Ending yang bisa
ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan
PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah
penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh
pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang
Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah.
Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan
membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya
gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih
…… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang
terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin
mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi
Kota Jakarta.
Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran
sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak
ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk
tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya
Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada.
Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama.
Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti,
menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya
sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi
atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya.
Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya
busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung
menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari.
Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan
berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah,
belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak
dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam
tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam
lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan,
berhamburanlah isinya.
Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad
milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang.
Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan
uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah,
teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada
hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang,
pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya.
Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah
menjadi kompos.
Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan
yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember
2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat
foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary
Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion
(GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik,
dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah
anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan
bahan bakar pembangkit listrik.
Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011
sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan
tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang
dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH.
Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat
dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini. Keberhasilan
Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah
mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma
Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral
Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh
PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih
penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM
lho, bukan lembaga ecek-ecek.
kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan)
Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia,
wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada
19 Maret 2010. Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah
melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto.
Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta.
Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov
DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan.
Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah
pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang
seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan
Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa
ke sumur artesis.
Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah
pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang
diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt.
Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui
bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan
berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI
membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota
Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat
berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan. Sayangnya pembuatan road
map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat
perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi
pengelolaan sampah.
Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah.
Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur
dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang
berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal
nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali
terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti
rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri
menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang
jalan yang dilalui.
Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan
pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik
ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul
sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh
dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1
kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga
yang membuat kompos dengan harga miring.
Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang
nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan
umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis
alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta
sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab
lingkungan.
Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman
dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan
berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai
nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas
bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal,
meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan
menabung di bank sampah.
Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT
terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari
500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp
1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup
menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun.
Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^
Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan
berikutnya ya? Karena judul dan isi tulisan mulai melenceng rupanya.
Salam Kompasiana.
Kompas.com
Kompasiana.com
Foto
Kompas.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ada-apa-dengan-sampah-jakarta_564cb593b19273c40c540fd2
Ending yang bisa
ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan
PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah
penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh
pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang
Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah.
Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan
membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya
gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih
…… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang
terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin
mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi
Kota Jakarta.
Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran
sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak
ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk
tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya
Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada.
Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama.
Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti,
menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya
sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi
atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya.
Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya
busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung
menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari.
Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan
berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah,
belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak
dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam
tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam
lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan,
berhamburanlah isinya.
Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad
milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang.
Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan
uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah,
teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada
hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang,
pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya.
Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah
menjadi kompos.
Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan
yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember
2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat
foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary
Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion
(GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik,
dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah
anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan
bahan bakar pembangkit listrik.
Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011
sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan
tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang
dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH.
Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat
dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini. Keberhasilan
Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah
mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma
Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral
Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh
PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih
penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM
lho, bukan lembaga ecek-ecek.
kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan)
Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia,
wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada
19 Maret 2010. Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah
melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto.
Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta.
Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov
DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan.
Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah
pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang
seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan
Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa
ke sumur artesis.
Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah
pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang
diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt.
Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui
bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan
berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI
membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota
Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat
berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan. Sayangnya pembuatan road
map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat
perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi
pengelolaan sampah.
Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah.
Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur
dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang
berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal
nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali
terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti
rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri
menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang
jalan yang dilalui.
Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan
pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik
ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul
sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh
dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1
kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga
yang membuat kompos dengan harga miring.
Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang
nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan
umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis
alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta
sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab
lingkungan.
Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman
dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan
berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai
nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas
bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal,
meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan
menabung di bank sampah.
Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT
terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari
500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp
1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup
menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun.
Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^
Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan
berikutnya ya? Karena judul dan isi tulisan mulai melenceng rupanya.
Salam Kompasiana.
Kompas.com
Kompasiana.com
Foto
Kompas.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ada-apa-dengan-sampah-jakarta_564cb593b19273c40c540fd2