“Bu,
kumaha damang?”
Kaget
juga saya disapa pemilik Atep Service. Setelah mengobrol ngalor ngidul, barulah
teringat bahwa sekitar tahun 2.000-an saya sering bertemu bapak inii untuk mereparasi blender, rice
cooker dan peralatan listrik lainnya. Dan
seperti umumnya ibu rumah tangga saya kerap nawar dan complain. ^_^ . Ya iyalah, niat awal mau mereparasi barang
tapi tetap rusak, ya protes dong ya? Apalagi kalau biaya reparasinya
kemahalan. ^_^ … Protes
dan complain ngga hanya milik ibu rumah tangga tapi milik segenap bangsa
Indonesia. #cieee
Selain
karena waktunya sudah lama berlalu. Tempat reparasi bapak separuh baya inipun
tidak lagi menempati kios di depan sebuah supermarket di jalan Cikutra. Tapi
pindah lokasi, kurang lebih 200 meter
dari situ. Ihwal pindah karena pemilik bangunan lebih memilih menjual
daripada menyewakan. Namun pak Atep, pemilik Atep Service kini mampu menghuni
kios yang jauh lebih besar dan tetap berada di lokasi strategis. Bahkan dia
memberi saya, kartu namanya:
Keren
bukan?
Jika
melihat maraknya usaha reparasi peralatan listrik, selain meningkatkan pelayanan,
sudah seharusnya pelaku usaha memiliki strategi penjualan. Tidak hanya pasif
menunggu konsumen, tapi juga aktif menjemput bola. Salah satunya dengan
membagikan kartu nama.
Karena
itu dengan ramah dia menerima saya untuk wawancara dan memotret lokasinya.
Lha kan promosi gratis, tanpa membayar serupiahpun titik usahanya terpampang manis di peta bebassampahID. Ditulis di blog ini pula, secara biasanya hanya titik kuliner enak dan destinasi wisata yang dibahas blogger. Asyik kan? Ngga semua titik usaha ditulis disini lho, ^_^ … bukan karena sombong, tapi kegiatan para detektif eh surveyor hanya sampai dengan bulan Agustus. *_*
Lha kan promosi gratis, tanpa membayar serupiahpun titik usahanya terpampang manis di peta bebassampahID. Ditulis di blog ini pula, secara biasanya hanya titik kuliner enak dan destinasi wisata yang dibahas blogger. Asyik kan? Ngga semua titik usaha ditulis disini lho, ^_^ … bukan karena sombong, tapi kegiatan para detektif eh surveyor hanya sampai dengan bulan Agustus. *_*
Di
lain pihak, peralatan elektronik yang rusak dan ngga tau harus diapain, cenderung dibuang sementara ke gudang sebagai limbah elektronik. Kemudian
konsumen membeli produk baru yang jika rusak ditumpuk kembali di gudang, begitu
seterusnya hingga memenuhi gudang dan akhirnya dibuang untuk selamanya ke
tempat pembuangan sampah.
Padahal
menurut konvensi Basel, penanganan limbah B3 diatur dalam beberapa peraturan
antara lain; Kerpres 61/1993 tentang Ratifikasi Konvensi Basel, Perpres 47/2005
tentang Ratifikasi Ban Ammendement, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 18/1999 jo PP Nomor 85/1999 tentang
Pengelolaan Limbah B3, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Definisi limbah elektronik (electronic
waste/e-waste) adalah barang elektronik yang dibuang karena sudah tidak
berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste perlu
diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan
sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal, kromium,
kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).
Beberapa limbah B3 dengan paparan
risikonya, antara lain;
- PCBs: banyak digunakan pada bahan plastik, perekat, trafo, kapasitor, sistem hidrolis, ballast lampu, dan peralatan elektronik lainnya. Risiko: persisten di lingkungan, mudah terakumulasi dalam jaringan lemak manusia dan hewan. Mengganggu sistem pencernaan dan bersifat karsinogenik.
- Arsenik: digunakan dalam industri elektronik, di antaranya pembuatan transistor, semikonduktor, gelas, tekstil, keramik, lem hingga bahan peledak. Risiko: menimbulkan gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia dan hewan, mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
- Kadmium: digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi dan tembaga. Juga dalam pembuatan baterai dan plastik. Risiko: jika terisap bersifat iritatif. Dalam jangka waktu lama menimbulkan efekkeracunan, gangguan pada sistem organ dalam tubuh manusia dan hewan.
Peningkatan konsumsi alat elektronik
akan mengakibatkan terjadinya lonjakan e-waste di masa yang akan datang.
Di Afrika Selatan dan China, diprediksi akan terjadi lonjakan e-waste
hingga 200 – 400 persen pada tahun 2020. Tak terkecuali Indonesia, jika tanpa
kendali dipastikan terdapat lonjakan e-waste.
Meningkatnya jumlah limbah elektronik
di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
(1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste
kepada publik;
(2) Belum adanya kesadaran publik dalam
mengelola e-waste untuk penggunaan skala rumah tangga (home
appliances);
(3) Pemahaman yang berbeda antar
institusi termasuk Pemerintah Daerah tentang e-waste dan tata cara
pengelolaannya;
(4) Belum tersedianya data yang akurat
jumlah penggunaan barang-barang elektronik di Indonesia; serta
(5) Belum tersedianya ketentuan teknis
lainnya, semisal umur barang yang dapat diolah kembali.
Nah sebagai konsumen, apa salahnya kita
berpartisipasi mengurangi limbah e-waste dengan cara menggunakan ulang
peralatan elektronik yang kita miliki. Bagaimana jika rusak? Ya reparasi aja,
kan titik usaha tersebut cukup banyak bertaburan. Sulit? Buka aja peta bebassampahID, ketik jalan Cikutra Barat 38, pilih
kolom reparasi maka akan muncul Atep Service yang buka setiap pagi jam 08.00
hingga pukul 17.00, hari Minggupun buka. Jika bapak yang mereparasi
mengisyaratkan perbaikan bisa ditunggu, silakan kulineran dulu di seputar jalan
Cikutra yang tiba-tiba marak tempat jajan, asyik kan?
Sumber : YLKI.or.id
Wrote by Maria G Soemitro