Wuaduh,
judulnya serem ya?
Ada
alasan kuat mengapa saya memilih judul ini. Selama melaksanakan survey bebassampahID ada suara sumbang :
“Ah, bank sampah kan pengepul juga. Gagayaan wae eta mah make ngaran bank
sampah ( ah, nama bank sampah kan hanya sekedar bergaya agar keren = terjemahan
bebas dari bahasa Sunda).
Pertanyaannya:
“Betulkah Bank Sampah sama dengan Pengepul?””Betulkah mereka hanya bergaya
menempelkan kata bank, alih-alih menggunakan kata pengepul saja?”
Jawabannya tidak segera saya dapat dari grup
bank sampah nasional di facebook.
Padahal terlihat secara kasat mata, foto –
foto yang diunggah hanya menunjukkan bapak-bapak dan ibu-ibu sedang deklarasi
bank sampah, selebihnya hanya memilah sampah dan mejeng dengan sepeda motor
triseda. Ah, sayang sekali.
Beruntung
diakhir tugas sebagai detektif bebassampahID,
saya berhasil mewawancarai bank sampah “Binangkit”, salah satu cabang Bank
Sampah Hijau Lestari. Dikatakan cabang karena bank sampah ini harus menjual
sampah anorganiknya kesana termasuk mendapat buku tabungan dan ‘pernah’ ada
pelatihan.
Pelatihan
sangat penting, karena pemahaman sampah anorganik dan sampah organik tidak kita
dapat semenjak kecil. Bahkan anak-anak SD sekarang sudah terbiasa minum dari
air minum dalam kemasan (AMDK) tanpa
memahami “biaya lingkungan”yang harus dibayar ketika mereka dewasa kelak. Bukan
sekarang.
Biaya
lingkungan? Apa maksudnya? Gini lho, setiap kemewahan, seperti gaya hidup instan, pastilah ada harga yang
harus dibayar. Itu sudah hukum yang ngga bisa ditawar. Harga mati.
Ketika
kita minum AMDK, ada biaya ijin+
transportasi + biaya mengemas + biaya produksi kemasan dan lain sebagainya. Itu
belum semuanya. Ada biaya lain yang timbul yaitu biaya lingkungan akibat
eksplorasi dan eksploitasi air dari sumbernya, emisi karbon yang timbul akibat
kendaraan yang wara wiri dan proses produksi kemasan dan mengemas. Biaya lingkungan
inilah yang umumnya tidak dibayar sekarang karena dampaknya baru terasa puluhan
tahun kemudian.
Dari
bank sampah kok ke biaya lingkungan? ^_^
Ya, kan karena peduli lingkungan hidup di masa depan, maka timbul gerakan bank sampah, GPS,
#1000tumbler, #sejutabiopori, keranjang takakura dan lain lain. Gerakan yang
sungguh bagus jika diimplementasikan dengan benar.
Benar?
Emang salahnya dimana?
Sebentar
………… ^_^
Siang
itu, sesudah kukusrukan mencari
lokasi bank sampah yang benar –benar
beroperasi, tidak sekedar legitimasi, saya bertemu dengan bank sampah
“Binangkit” yang recommended untuk ditemui. Bank sampah RW 19 Sadang Serang ini
menggunakan sebuah bangunan yang kebetulan kosong, milik kelurahan Sadang
Serang. Disana tampak beberapa ibu
sedang memilah, menimbang, merapikan
sampah anorganik sehingga ruang kosong tersebut penuh sampah anorganik, mirip
lapak pengepul.
Ibu
ketua bank sampah, Ibu Dedah, ibu ketua RW 19, sedang menyusui anaknya sambil
memisah wadah kemasan dari lapisan merknya. Hmmm … sungguh menarik. Menarik
karena ternyata pengurus harus mengerjakan fungsi
pengepul agar mendapat selisih rupiah yang diperlukan sebagai biaya operasional
dan honor para pengurus.
Sehingga
timbul pertanyaan:
1. Kapan mereka memiliki waktu kosong
untuk merekrut nasabah jika waktunya habis untuk memisah sampah? Bukankah
dengan bertambahnya nasabah, otomatis omzetpun bertambah?
2. Bagaimana jika ruangan yang sekarang
digunakan akan diambil pihak kelurahan? Bukankah kegiatan operasional bank
sampah akan terguncang mengingat rumah pengurusnya sangat tidak memungkinkan
digunakan sebagai tempat penimbunan sampah anorganik?
3. Bagaimana jika ibu ketua RW pindah
lokasi tempat tinggal? Akan tetap berlangsungkah kegiatan operasional bank
sampah?
Masalah
terbesar pembentukan bank sampah dan penyebab hancur lebur bank sampah umumnya
adalah tidak adanya tokoh sebagai kordinator program, ketiadaan bangunan dan
kesalahan persepsi /kesalahan pemaknaan bank sampah sehingga operasionalnya
tergelincir menjadi mirip pengepul.
Jadi?
NGO,
pejabat pemerintah harus turun tangan dan urun ide untuk membenahi kesalah
kaprahan yang banyak dilakukan bank sampah ini. perlu ditekankan bahwa mereka
mengemban misi mulia sebagai agen perubahan, bukan sekedar menjalankan tugas
pengepul memilah sampah anorganik demi ‘menghidupi’ kegiatan mereka.
Seharusnya
pengurus Bank Sampah fokus menambah jumlah anggota Bank Sampah, mengadakan
pendekatan intens agar nasabah loyal. Termasuk belajar mencatat dengan rapi
hingga diakhir periode bisa menyajikan laporan keuangan dengan benar.
Basecamp
bank sampah Binangkit terletak di jalan Sadang Serang bersebelahan dengan
kantor Gang Serang. Buka hanya setiap Sabtu pagi hingga waktu Dhuhur tiba.
Wrote by Maria G Soemitro