Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu



“Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah”
Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau sih bergaul dengan sampah, sampah kan bau dan menjijikkan. Turun derajat bu, ngurusin sampah mah.”
Tentu saja itu tafsiran bebas, walau jika mau jujur, paradigma kita terhadap sampah kan seperti itu. Sedangkannnn …….. jika para penggunjing itu tahu bahwa sampah yang dibuang sia-sia ternyata mengandung nilai yang tinggi, pastilah mereka akan terdiam.

Tulisan ini meneruskan tulisan ini, yang menyinggung tentang pembentukan bank sampah dan jutaan rupiah bisa dihimpun dalam bank sampah dengan perincian sebagai berikut:
Satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun.

Apakah hanya perumahan? Tentu tidak. Justru perkantoran lebih mudah. Setiap anggota akan bertemu dalam waktu yang sama dan tempat yang sama. Hanya diperlukan kesepakatan dalam peraturan-peraturan yang disesuaikan kondisi mayoritas anggota, seperti hari penyetoran, siapa yang mengkoordinir, penentuan fee dan berbagai teknis pelaksanaan lainnya.
Sebelum mencapai kata sepakat, setiap anggota harus paham bahwa tujuan pendirian Bank Sampah bukan semata untuk menghasilkan uang tapi berkontribusi untuk mengurangi sampah yang dihasilkan di rumah tangganya sendiri.

Kesulitan pembentukan Bank Sampah sebetulnya berawal dari peraturan-peraturan yang tercantum dalam profil Bank Sampah sesuai rilis Kementerian Lingkungan Hidup. Juga sosialisasi yang cenderung kaku yang mensyaratkan adanya bangunan dan pengetahuan pengurus Bank Sampah mengenai jenis sampah anorganik yang na’udzubillahi min dzalik banyak pisan.
Karenanya dibutuhkan terobosan yang mempermudah proses tapi tetap menjalankan aktivitas yang penting, seperti pencatatan yang akurat, pembukuan keuangan yang dapat dipertanggung-jawabkan dan laporan secara periodik.
Contoh kasus di pemukiman padat dimana rumah warga saling berdempetan dan untuk beristirahat tidurpun harus bergantian dengan anggota keluarga lain. Maka syarat pengadaan bangunan Bank Sampah akan ditertawakan oleh mereka. Padahal produksi sampah mereka sangat banyak demikian juga warga yang bersedia menjadi relawan, sebelum akhirnya mereka diangkat menjadi pengurus yang mendapat fee atau honor tetap (sesuai kesepakatan).
Karena itu ada 3 hal yang tidak diwajibkan ketika membentuk Bank Sampah. Jika ada ya bagus, tapi jika tidak ada jangan menghalangi pembentukan Bank Sampah, yaitu:
  1. Tidak wajib memiliki bangunan. Pertemuan bisa dilaksanakan dimana saja, termasuk untuk menimbang dan mencatat. Fleksibel dilakukan di teras rumah, di halaman, tergantung kesepakatan.
  2. Tidak wajib memiliki pengetahuan tentang jenis sampah dan harganya. Karena bisa diserahkan ke pengepul/tukang rongsok yang akan datang dengan senang hati untuk membeli sampah anorganik yang telah terpisah. Tidak usah takut terlalu murah, pengepul juga ingin hubungan bisnis yang berkelanjutan.
  3. Tidak wajib mengolah sampah anorganik yang diterima. Karena sesudah dijual ke pengepul, Bank Sampah tidak memiliki tugas memproses sampah. Sayang banyak Bank Sampah yang sekarang beroperasi justru asyik mengolah sampah anorganik hasil setoran anggotanya, sehingga tujuan awal menyosialisasikan gerakan 3 R menjadi gagal. Jika ingin memproses sendiri sampah anorganik, silakan membentuk badan usaha baru yang merupakan sub bisnis Bank Sampah.
Dalam membentuk Bank Sampah, ada yang wajib dipenuhi:
  1. Sumber daya manusia. Yang bertugas sebagai pengurus dan anggota.
  2. Pencatatan yang transparan dan akurat. Di dalam satu buku besar Bank Sampah, pengurus mencatat seluruh setoran nasabah per waktu itu untuk kemudian dipisah sesuai kepemilikan. Setiap nasabah Bank Sampah memiliki satu buku tabungan (dapat dibeli di warung seharga Rp 500), yang dicatat jumlah setoran setiap minggunya. Diakhir periode barulah pengurus merekapitulasi dan membuat laporan.
  3. Membuat strategi meningkatkan omzet dengan menambah anggota, bukan dengan mengolah sampah. Sesuai namanya, Bank Sampah harus senantiasa bertambah anggotanya dengan menggunakan kiat-kiat pemasaran. Bedanya dengan bank konvensional yang meningkatkan nasabah untuk meningkatkan profit, Bank Sampah menambah nasabah untuk meningkatkan manfaat. Penambahan anggota bisa berasal dari teman arisan, teman komunitas tertentu, yang penting mudah mobilitasnya.
Langkah- langkah pelaksanaan
  • Sepakat memilih tiga pengurus utama.
  • Sepakat memisah sampah anorganik di rumah masing-masing, bisa dimasukkan ke kardus bekas atau kantong plastik bekas (keresek) dan diberi nama, sebelum akhirnya dibawa ke pertemuan Bank Sampah.
  • Sepakat bertemu di tempat dan waktu yang ditentukan untuk menyetor sampah anorganiknya. Sebaiknya setiap minggu sekali agar sampah anorganik tidak terlalu menggunung.
  • Sepakat dengan pengepul yang datang untuk menimbang sampah dan bersama menghitung berapa jumlah yang harus dibayar pengepul pada Bank Sampah
  • Pencatatan dengan tertib jumlah penjualan sampah anorganik pada hari itu di buku besar untuk kemudian dipindah ke buku tabungan Bank Sampah milik anggota.
  • Sepakat menyisihkan sekian persen (misalnya 10 %) untuk petugas.
  • Sepakat menyimpan uang penjualan sampah anorganik dalam rekening yang ditentukan bersama.
  • Selesai.
Lha kok cuma itu? Iya, kan sudah saya tulis di awal bahwa membentuk Bank Sampah itu amatlah mudah. Anda memiliki kelompok arisan atau pengajian atau komunitas hobi tertentu dan berminat membentuk Bank Sampah? Silakan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk bertemu dan mengumpulkan sampah anorganik yang berhasil dikumpulkan dari masing-masing rumah tangga. Sudah hanya itu.
Kesepakatan berikutnya adalah apakah uang itu akan ditabung hingga akhir tahun dan dibagikan? Atau akan dibentuk koperasi simpan pinjam? Atau dibentuk badan usaha lainnya? Silakan saja karena itu merupakan hak setiap anggota untuk mengutarakan aspirasinya.
Akhir kata, Bank Sampah merupakan bentuk kewirausahaan sosial yang Indonesia banget. Bermodalkan jumlah penduduk yang banyak dan berniat menyelesaikan masalah yang khas, yaitu sampah. Kewirausahaan sosial seperti ini akan sulit diterapkan di negara maju, yang jumlah penduduknya sedikit dan telah tertata sistem persampahannya. Jadi, daripada kita menunggu aksi pemerintah daerah yang entah kapan akan membereskan permasalahan sampah, mengapa kita tidak bergerak mandiri?
Bukankah hunian yang nyaman karena bebas sampah akan berdampak pada diri kita juga?
Jika ada rupiah dari Bank Sampah, ah itu mah bonus. ^_^.

Share:

6 komentar

  1. da lama pengen bikin, tapi blm sempat belajarnya

    blognya udg sy folow ya mb

    BalasHapus
  2. Di desaku dl pernah ada mba, tapi mandeg, perlu blajar lg ini, tengkyu ya mba,,

    BalasHapus
  3. Mba Maria.. Ini kegiatan yg positif sekali mnurut dipi. Di lingkungan perumahan dipi mmg ada kumpulan ibu pengajian yg jg ibu2 arisan. Kami sdh punya pegawai pmungut sampah yg dibayar utk mngurus sampah. Mungkin nanti bapak pngurus sampah jg bs ditraining untuk tugas nimbang dan urusan dgn pengepul ya. Cuma utk pengepul sy blm ada ide. Maklum perumahan kmi jauh dri jln raya dan nanjak pula.
    Salam,
    Dipi -bandung - www.dipiwarawiri.com

    BalasHapus
  4. kalo ini sih pengurus dan nasabahnya harus sama2 punya komitmen ya harus kompak, tapi boleh di coba nih :D

    diniratnadewi.blogspot.co.id

    BalasHapus
  5. Bank sampah ini yang sekarang sedang digalakkan di lingkungan perumahan2 ya mbak. Di kampungku di Surabaya juga tiap wiken ibu2nya berkumpul memilah sampah. Sebagian dijadikan kerajinan juga. Manfaatnya tersa banget, selain utk edukasi sama bernilai ekonomis TFS :)

    BalasHapus
  6. Pengen bikin, tapi aku ga ikut organisasi apapun di kompleks karena kerja dari pagi pulang malam :(. Trus gimana yaa...

    BalasHapus