Untuk
mengakhiri tugas sebagai surveyor bebassampahID,
saya berharap bisa menemukan titik lokasi pengomposan dan bank sampah. Tapi
ternyata susah banget menemukan, seolah mengamini kesimpulan awal saya bahwa
kedua titik lokasi tersebut kurang peminat. Mungkin stigma sampah hanyalah
barang kotor, menjijikkan yang harus dibuang jauh-jauh, membuat pengelola sampah
mengalami resistansi cukup berat.
Beberapa
waktu lalu, saya bekerja sama dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk
mengedukasi agar mereka belajar memilah sampah dan membawa sampah anorganiknya
untuk ditabung. Tentu saja targetnya bukan berlomba-lomba nyampah tapi mengajak mereka konsisten memisah sampah sejak dari
awal sampah itu dihasilkan. Anak yang paling rajin akan mendapat penghargaan
sebagai Juara Peduli Lingkungan. Dan bisa diduga, halangan awal adalah anak-anak merasa malu membawa
sampah anorganik ke sekolah. Takut dicemooh.
Nah,
bagaimana mau menyelesaikan masalah sampah jika orang tua serta anak-anak enggan
bersentuhan dengan sampah anorganik? Bagaimana lingkungan mau bersih jika ngga peduli sampah?
Berkaitan
dengan kepedulian akan sampah anorganik, ada data sampah anorganik yang
spesifik yang berasal dari telepon genggam/telepon seluler. Menurut data Dirjen
Postel, dalam periode 2006-2010 pertumbuhan rata-rata per tahun pengguna
seluler di Indonesia adalah 31,9% per tahun. Hingga akhir 2010 jumlah pelanggan selular mencapai 211 juta.
Ada
barang pasti ada sampah (e- waste) dan
pengelolaan sampah ponsel hingga
kini belum ada tindakan yang tegas. Walaupun Undang-undang pengelolaan sampah
nomor 18 tahun 2008 dengan jelas menetapkan bahwa produsenlah yang bertanggung
jawab pada limbah produksinya, karena telepon genggam mengandung tembaga serta
berbagai bahan lain yang mengandung racun.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang
mengalami peningkatan penjualan komputer tertinggi di dunia, nampaknya sudah
harus memiliki standar sendiri untuk mengatasi urusan limbah beracun akibat
e-waste ini. Beberapa negara Asia, sudah menetapkan batas masuknya produk
elektronik yang menghasilkan limbah beracun. Standar ini mengadopsi dari
peraturan Uni Eropa bernama RoHS (Restriction
of Hazardous Substance) yang disepakati sejak Februari 2003 silam.
Dalam peraturan RoHS ini, enam substansi
yang dibatasi penggunaannya dalam berbagai produk elektronik karena dinilai
berbahaya adalah: Timbal (Pb), Air Raksa (Hg), Kadmium (Ca), Krom Heksavalen
(Cr6+) Polybrominated biphenyls (PBB), Polybrominated diphenyl eter (PBDE).
Negara-negara lain selain kelompok Uni
Eropa banyak yang sudah menetapkan batasan RoHS mereka sendiri, misalnya Cina,
Korea Selatan dan lain sebagainya. Setiap produsen wajib mencantumkan nilai
kandungan enam substansi berbahaya tersebut dalam setiap produk elektronik
mereka dan wajib untuk diberitahukan kepada konsumen.
Lalu
apa yang bisa dilakukan oleh konsumen? Setidaknya ada tiga hal yang bisa
dilakukan.
- Mengembalikan sampah produk (sampah elektronik/e-waste) kepada produsennya.
- Jagalah keawetan perangkat elektronik. Semakin banyak produk yang bisa diperpanjang usianya maka jumlah sampah elektronik akaan berkurang.
- Tekanan terhadap pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah teknis pembuangan sampah elektronik .
Berkaitan
dengan keawetan produk elektronik khususnya telepon genggam atau telepon
seluler, beberapa waktu lalu saya ke pusat jual beli telepon seluler bekas
terbesar di kota Bandung yaitu Bendung Electronic City (BEC). Wow disana
berderet puluhan kios bertuliskan reparasi/service. Wah bisa seharian disini,
karena itu saya mendatangi customer service yang memberi saran agar saya ke
lantai 3 ke Mitra Care atau ke Java Telecom.
Mitra
Care ternyata hanya menerima 3 merek ponsel ternama, ok ke Java Telecon saja
yang menerima semua jenis merek ponsel, terlebih reparasi dilakukan disitu pula. Jadi narasumber bisa
menerangkan dengan contoh seperti ini:
Spare
parts kecil-kecil ini konon adalah emas
hitam, hasil tambang dengan menggunakan pekerja dibawah umur agar pemilik
tambang bisa menekan upah buruh. Walaupun banyak produsen ponsel yang membantah
tapi mereka tidak dapat mengingkari bahwa sampah elektronik mengancam
kelangsungan mahluk yang hidup di bumi.
Nah
jika kita sayang bumi, yuk gunakan ponsel selama mungkin. Ponsel yang rusak
bisa direparasi di tempat seperti Java
Telecon yang memberi garansi 2 minggu. Buka sejak pukul 10.00 hingga pukul
22.00. nomor teleponnya 022 –
4222992 lantai 3 BEC jalan Purnawarman 13 Bandung. Atau bisa juga ke service
center sesuai merk gadget yang dimiliki dengan mendatangi tempat-tempat service
disini ……, met hunting :)
sumber:
Wrote by Maria G Soemitro