Ibu Yati Dan Kerajinan Limbah Kopi
Pemirsa televisi yang setia pasti sudah akrab dengan
kerajinan kemasan plastik atau limbah sachet bekas kopi atau lebih sering
disebut kerajinan limbah kopi. Di Kota Bandung, perintis kerajinan limbah kopi adalah
almarhum Ibu Iyom, seorang perempuan paruh baya yang bersama 2 orang temannya
mendapat kesempatan belajar membuat kerajinan tersebut dari Pusdakota Surabaya,
yaitu Ibu Jajang dan Ibu Eti. Mereka tinggal di kawasan Taman Sari dan bongkarannya.
Ada yang rancu dengan pemahaman kerajinan limbah
kopi. Banyak yang menganggap bahwa hasil kerajinan limbah kopi sangat
menguntungkan secara financial. Karena itu banyak yang mendramatisir kisah ini,
baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa tahun silam hasil kerajinan
ini dengan mudah kita temui di gerai-gerai supermarket ternama, merupakan hasil
kerjasama beberapa LSM , produsen
penghasil limbah sachet dan supermarket tersebut. Hasilnya? Sayang sekali
sangat menyedihkan, karena:
- Stigma bahwa kerajinan ini berbahan baku sampah, benda yang harus dijauhi, dibuang atau minimal disingkirkan jauh-jauh. Lha ini kok digunakan sebagai bahan baku tas, males dong. Limbah kopi memang sampah tapi sejak awal sachet kemasan (mayoritas kopi) diperlakukan berbeda dengan sampah umumnya yaitu langsung dipisah dari kopi dan dimasukkan kardus/kantong plastik/keresek.
- Hasil kerajinan sampah haruslah murah. Sementara pengerjaan kerajinan limbah sachet memakan waktu. Perajin harus membersihkan (mencuci dan mengeringkannya) dari sisa kopi/ minuman lainnya. Juga harus membeli bahan baku tambahan seperti bahan pelapis dan retsleting. Bahkan pada beberapa kasus, perajin harus membeli/memberi sejumlah uang pada mereka yang mau berbaik hati menyetorkan limbah kopi pada perajin.
- Rangkaian panjang proses produksi limbah kopi membuat harganya menjadi mahal, kalah bersaing dengan produk non limbah yang lebih murah yang lebih fashionable dan tidak membuat pemakainya ‘jatuh merk”.
- Pada beberapa kasus kerajinan limbah mudah robek, karena bahan baku limbah kopi didesain/diproduksi untuk mewadahi kopi bukan untuk bahan baku tas/dompet/tempat tisu dan beragam kerajinan limbah kopi lainnya.
Menyikapi lika liku perjuangan Ibu Iyom dan Ibu
Jajang yang kesulitan memasarkan produknya,
sekitar tahun 2011, saya pernah berguru pada ibu dosen seni rupa ITB
yang cantik, Nedina Sari. Hasil diskusi dengan mahasiswa/i ibu Nedina, disimpulkan bahwa hasil karya
haruslah dalam bentuk multi fungsi sehingga bisa memicu lebih banyak kreativitas.
Selain itu pelaku kerajinan harus
berproduksi karena cinta pada kegiatan tersebut, bukan sekedar mengejar
keuntungan semata. Mirip seniman patung yang berkreasi dengan sepenuh hati. Dia
fokus menghasilkan karya terbaik, tidak peduli hasil karyanya tidak dibeli. Sesuai
pepatah : “duit mah nuturkeun”, atau kurang lebih rezeki akan datang jika kita
tekun, focus dan ikhlas berkerja.
Terbiasa bekerja dengan kreativitas akan membuat
perajin menghasilkan karya tidak ‘asal jadi”, juga tidak terpaku pada bahan
baku yang biasa digunakan. Seniman patung kayu akan fleksibel berkarya dengan
bahan lain seperti batu , tanah. Demikian juga perajin limbah kopi, dia bisa
berkarya dengan menggunakan bahan baku selain limbah kopi, karena suatu saat
bahan limbah yang tidak terbarukan ini pasti habis dari muka bumi.
Untuk menuju kompetensi itu, para perajin limbah
kopi haruslah mendapat latihan yang diinisiasi badan pengelola lingkungan hidup
(BPLH) dan produsen penghasil limbah
kopi. Karena produsen limbah sachet kemasan harus bertanggung jawab terhadap sampah produksinya. Sesuai ayat 15 UU 18 tahun 2008
tentang pengelolaan sampah, produsen bertanggung jawab terhadap sampah
produksenya yang tidak bisa diurai di alam. Alam tidak bisa mengurai limbah sachet
yang berlapis alumunium , solusinya hanya dibakar yang tentu saja menimbulkan
bencana lingkungan lain. Kerajinan limbah kopipun hanya memperpanjang usia
limbah, tidak melenyapkannya.
Salah satu
pelaku kerajinan limbah kopi yang melabuhkan asa terlalu tinggi adalah ibu
Yati, seorang istri buruh bangunan. Menyadari suaminya kerap menganggur
sementara asap dapur harus mengebul, maka Ibu Yati mempelajari kerajinan limbah
kopi secara otodidak. Setelah mahir merangkai limbah kopi menjadi beragam
kerajinan, ibu Yati mempelajari seni merajut kantong plastik (keresek) menjadi
beragam karya: dompet, tas, gantungan kunci, tempat tisu dan lain lain. Sayang,
nasibnya sama dengan ribuan pelaku kerajinan limbah kopi lainnya. Hasil
karyanya mangkrak, sepi pembeli, akhirnya iapun hanya memfokuskan diri sebagai
pelatih.
sebagian hasil karya anak didik Ibu Yati |
Pertimbangan focus sebagai pelatih juga disebabkan
rumahnya yang sempit, hanya seluas 3 x 4 meter, harus dihuni keluarga dengan 5
anak. Sehingga bahan produksi limbah kopi harus mengalah, demikian juga bahan
bakunya. Bahkan akhir-akhir ini Ibu Yati memilih menjadi pelatih dan hanya
membuat kerajinan limbah kopi berdasarkan pesanan.
Ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya di kawasan
Sekemirung 42 C, RT 03 RW 10, ibu Yati menemui saya dengan secangkir teh hangat
karena selain ngirit, penyajian minuman dalam cangkir tidak menghasilkan sampah
dan mmm…….. lebih sopan ya? Betul ngga?
Ibu Yati didepan rumahnya |
0 komentar