Sampah Dapur Untuk Memasak? Why Not?
![]() |
tabung berisi sampah (kiri), kompor gas metan (kanan) |
“Hanya
orang bodoh yang ngga mau pakai biogas”, kata ibu Nano. “Apa sulitnya coba?
Hanya misahin sampah dapur, besoknya
masukin ke tabung biogas, udah hanya
itu. Gas untuk memasak tersedia setiap hari.
Saya masih pakai gas elpiji, tapi biogas ini menolong sekali, bikin
hemat”.
Saya
mengangguk menyetujui kata-kata ibu Nano. Alih-alih menjadi masalah, sampah
organik di perumahan Griya Cempaka Arum ini adalah sumberdaya, penghasil gas
metan yang digunakan untuk memasak makanan. “Saya dulunya juga bingung.
Malah takut bau, karena itu biogas disimpan di belakang rumah. Eh ngga taunya gampang kok dan ngga bau sama sekali”, kata ibu Nano
melanjutkan dengan penuh semangat.
Semua
nampak mudah. Ada 2 tempat sampah yang disediakan ibu Nano di dapurnya yang
menyatu dengan ruang makan. Satu tempat
sampah disiapkan untuk dirinya dan anggota keluarga yang membuang sampah
organik hari ini, seperti sampah dapur
dan sisa makanan. Sedang tempat sampah lainnya berisi hasil penampungan sampah
organik kemarin, isinya agak berair
namun belum berbau menyengat.
![]() |
pemisahan sampah |
Sampah
organik kemarin inilah yang dibawanya sambil mengajak saya melihat peralatan
biodigester di pekarangan belakang. Disana ada 2 drum, besar dan kecil. Dengan
berjinjit, ibu Nano memasukkan sampahnya ke dalam drum besar. Hasil pemrosesan
akan masuk drum kecil yang terletak di samping
drum besar. Ada kran terpasang di drum kecil yang mengalirkan cairan
berwarna keruh. “Ini pupuk cair”, kata ibu Nano, “Katanya bisa dijual kalo
hasil produksi berlebihan, saya sih masukin
lagi ke drum besar. Supaya ngga repot cari air, simpel kan?”
Saya
kembali mengangguk. Seharusnya bersamaan dengan sampah organik, dimasukkan juga
sejumlah cairan untuk membantu pemrosesan sampah organik. Tapi ibu Nana
mengambil jalan pintas dengan memasukkan kembali cairan hasil proses
biodigester, sehingga praktis. Manajemen waktu harus diterapkan seorang ibu
rumah tangga agar bisa menyelesaikan aktivitas dengan cepat, mudah dan
menyenangkan.
Selain
drum, nampak pipa menuju dapur ibu Nana. Pipa tersebut berakhir pada semacam
papan indikator hasil proses
biodigester. Mirip thermometer berukuran besar, bedanya ada dua pipa bening
yang menampilkan cairan penanda adanya bahan baku siap pakai. “ Hampir ngga
pernah kosong. Paling kalo kelihatan tinggal sedikit saya pindah masak pake elpiji”, jelas ibu Nana sambil
mendemontrasikan penggunaan kompor biodigester. Harus menggunakan korek api. Selain
itu tidak ada yang berbeda. Api yang dihasilkan berwarna kebiruan, mirip kompor
dengan tabung elpiji.
Tidak
hanya ibu Nana, di perumahan Griya Cempaka Arum Kota Bandung ada sekitar 6
orang pengguna biodigester, hibah dari pengusaha Arifin Panigoro untuk Kota
Bandung pada tahun 2015 silam. Pemilik Medco Grup tersebut berjanji akan menambah
jumlahnya jika program100 biodigester pertama berjalan dengan sukses.Sayang, harapannya
tidak berjalan mulus. Tidak seperti pengguna biodigester di Griya Cempaka Arum,
pengoperasian di lokasi lain tidak berjalan sesuai rencana.
Ahmad
Saparudin yang tinggal di jalan Manglayang
begitu antusias ketika mendengar ada pembagian biodigester secara
cuma-cuma. Tidak hanya tergiur hasil biodigester berupa gas metan untuk
memasak, keberadaan biodigester juga merupakan solusi sampah yang selama ini
membuat keluarganya pusing tujuh keliling. Di kawasan tempat tinggalnya tidak
ada petugas kebersihan yang mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah.
Penyebabnya mungkin karena terletak berbatasan dengan kabupaten Bandung dan
kondisi tanah yang curam dan terjal.
Warga umumnya membawa sampah ke jalan besar hingga
bertemu TPS (tempat pembuangan sampah) atau dibuang ke lahan kosong untuk
dibakar. Karena itu tawaran biodigester dipandang Ahmad sebagai solusi agar
kelak bisa digunakan kerabat serta tetangga jika dia berhasil dengan sukses.
Sayang,
biodigester yang dioperasikan Ahmad
sering mengalami masalah , diantaranya air yang membludak keluar dari kran.
Sangat merepotkan. Sehari-hari Ahmad
dibantu ibunya, ibu Titi dalam mengoperasikan biodigester. Tidak seperti ibu
Nano, bersamaan dengan memasukkan sampah organik, ibu Titi juga memasukkan air
yang baru diambilnya dari sumur. Sehingga produksi air sisa proses biodigester
menjadi berlimpah ruah, bahkan sesudah dimasukkan ke sejumlah jerigen, air tetap
tak tertampung. Tak
heran para tetangga berujar sinis: “Barabe geuning biodigester teh? Hoream ah”
yang terjemahannya kurang lebih adalah: “Ternyata repot ya biodigester? Malas
ah”.
Bermacam
cara telah dipraktekkan ibu Titi, diantaranya mengurangi frekwensi asupan
sampah organik. Awalnya tiap hari kini hanya dua hari sekali. Hasilnya tentu
juga berkurang. Hanya sekitar sejam penggunaan setiap harinya. Sangat jauh
dibanding kompor di rumah ibu Nano yang tidak hanya digunakan untuk menjerang
air tapi juga untuk mengolah sejumlah masakan.
Penggunaan biodigester memang tidak bisa
disamakan dengan kompor elpiji yang cukup menggerakkan jemari akan mengeluarkan
api, siap untuk digunakan. Bahan baku elpiji merupakan hasil pabrikasi
sedangkan kompor biodigester harus menunggu olahan sampah organik yang sangat
tergantung pada ragam dan jumlah sampah yang tentu saja berkaitan dengan cara
pandang serta gaya hidup penggunanya.
Ketika
penggunaan biodigester skala rumah tangga sulit, bisa dibayangkan biodigester
lainnya yang disimpan di balai RW seperti terjadi di Bumi Panyileukan kelurahan
Cipadung Kidul Kota Bandung. Disini, petugas keamananlah yang menjalankan
operasional sehari-hari. Sampah organik didapat dari warga sekitar dan hasilnya digunakan untuk
memasak mi instan dan menjerang air di malam hari.
Nampak
lancar, sayangnya warga menolak kemungkinan penggunaan biodigester di rumah
masing-masing dengan alasan pekarangannya sempit. Jawaban yang mengada-ada
karena Bumi Panyileukan merupakan pemukiman tertata, setiap rumah memiliki
pekarangan. Sempit tapi cukup untuk menyimpan biodigester. Stigma negatif bahwa
sampah itu kotor, bau dan bisa menimbulkan penyakit, masih melekat kuat.
Tapi
bahkan kasus Bumi Panyileukan lebih baik dibanding tempat lain seperti di RW 07 Citarip Barat Kelurahan Kopo. Disini bapak
Ayi, ketua RW 07 merasa terpaksa menerima biodigester karena mendapat instruksi
dari lurah setempat. Uji coba biodigester yang ditempatkan di dalam ruangan
balai RW akhirnya terhenti dengan alasan tidak ada biaya bagi pengelola
biodigester. Ya, alih-alih bermanfaat
bagi masyarakat, biodigester berubah menjadi beban bagi ketua RW.
Dan
yang paling menyedihkan adalah biodigester yang ditolak keberadaannya oleh
warga perumahan di Jatihandap Kecamatan Mandalajati Kota Bandung. Penyebabnya
sepele tapi fatal akibatnya. Enceng dan
Wawan sebagai petugas kebersihan enggan memisah sampah sehingga alih-alih
menghasilkan gas metan, biodigester berubah menjadi tempat sampah raksasa.
Menghadapi
ketersediaan bahan baku energi yang semakin menipis, PLN sebagai pemasok energi
listrik sudah harus berhadapan dengan sumber daya baru dan terbarukan yang
mahal seperti energi surya dan panas bumi, nampaknya Pertamina juga harus mulai
mempertimbangkan mengambil alih pengadaan biodigester sebagai solusi energi
yang berkelanjutan. Berikut alasannya:
Jika
membandingkan jumlah kalkulasi harga kompor dan pembelian isi gas LPG dengan
harga biodigester sebesar Rp 10 juta per buah maka akan ditemukan harga yang
berimbang bahkan lebih murah karena ketersediaan sampah organik melimpah ruah
sedangkan harga gas LPG semakin bertambah mahal, ketersediaannya di bumipun terbatas jumlahnya.
Jaringan
yang dimiliki Pertamina memungkinkan untuk menyosialisasikan secara meluas dan
cepat. Terbukti konversi minyak tanah ke gas LPG bisa berlangsung sukses.
Pengguna biodigester ternyata harus mendapat sosialisasi terus menerus, tidak
bisa mengandalkan cara pendekatan per proyek seperti sekarang.
Pertamina
bisa lebih fokus dan leluasa dalam menyediakan LPG bagi rakyat miskin dan
industri karena golongan menengah keatas mempunyai alternatif lain selain gas
LPG.
0 komentar