Adipura, dan Lika-Liku Meraihnya
Jangankan penghargaan Adipura
yang pernah diraih pada 1987, 1989, 1992, 1993, 1996 dan 1997. Kota Bandung
malah pernah dinobatkan sebagai Kota Terkotor di tahun 2005.
Bagaimana rasanya tinggal di kota yang dijuluki Kota
Terkotor? Duh, pingin tutup muka rasanya. Malu! Anugerah yang ngga banget jika
tidak mau dikatakan menyakitkan. Penyebabnya bisa dituduh bahwa sampah gagal
kirim ke Leuwigajah yang kala itu mengalami tragedy longsor dan mengakibatkan
ratusan orang meninggal dunia.
Tapi sebetulnya sih salah warga Bandung juga. Seperti
yang saya tulis disini,
sampah yang hancur dalam waktu seminggu jangan dicampur sampah berumur ratusan
tahun. Jadi deh keluar gas metan yang mencari-cari celah dibalik gundukan
sampah yang kian lama kian meninggi. Hingga akhirnya duarrrrrr……, gunung sampah
buatan manusiapun longsor, mengakibatkan bencana kemanusiaan.
Bencana yang dibuat manusia sendiri, seperti banjir
dan tanah longsor. Karena itu sebesar apapun usaha Kota Bandung untuk kembali
meraih Adipura, berakhir gagal lagi dan gagal lagi. Banyak faktor penyebab,
salahsatunya adalah minimnya partisipasi warga. Warga tidak pernah dilibatkan.
Hingga akhirnya Ridwan Kamil terpilih sebagai Walikota Bandung Adipuramasa
jabatan 2013 – 2018. Banyak yang menaruh harapan Kota Bandung akan kembali
menjadi Kota Kembang di masa kepemimpinannya.
Ya, apa sih yang kurang dari pak Emil, nama panggilan
Ridwan Kamil. Sosok ini tidak hanya diganjar banyak penghargaan tapi rajin
blusukan sebelum memutuskan naik panggung kontestasi pilkada Kota Bandung.
Berbekal Blackberry, mengenakan jacket hijau tentara, duduk lesehan, dia
mendengarkan masalah sampah yang dipaparkan Ketua Forum Hijau Bandung, Mohamad
Bijaksana Junerosano (kala itu) dan menuliskannya di twitter. Khas pak Emil
banget. Sehingga bisa diprediksi bahwa sosok tersebut paham masalah jauh
sebelum terpilih sebagai Walikota Bandung. Kemudian merancang tujuan
peningkatan indeks kebahagiaan warga. Jadi tujuan lain (meningkatnya kesehatan,
pendidikan, perekonomian, lingkungan hidup) hanyalah raihan antara untuk menuju
target utama yaitu meningkatnya indeks kebahagiaan.
Jelas untuk
meraih keberhasilan pak Emil ngga bisa sendirian, dia butuh pendukung. Baik
komunitas yang sudah ada maupun kolaborasi yang baru muncul sehubungan dengan
keberpihakan terhadap arah kemajuan yang ingin diraih.
Bandung Juara Bebas Sampah di BCCF, di Jalan
Purnawarman 70 Bandung
Salah satunya adalah Bandung Juara Bebas Sampah
(BJBS), suatu kolaborasi lintas lembaga. serta individu-individu yang peduli
Kota Bandung. Mereka mengumpulkan data, berdiskusi, mencari solusi-solusi.
Hasil diskusi BJBS silakan dibawa ke kesatuan kerjanya (PD Kebersihan, BPLH)
atau malah anggota BJBS meminta data dari instansi yang bersangkutan.
Komunikasi intens terjalin melalui grup WhatsApp (WA) dan setiap bulan bertemu
di tempat yang dijanjikan. Padahal, duh dulu sulit banget mencari data, kita
harus melalui beberapa meja, menerangkan panjang lebar sebelum akhirnya
memperoleh informasi yang dibutuhkan. Sekarang cukup buka percakapan di WA ,
^_^
Walaupun kolaborasi ini berhasil mengumpulkan sejumlah
dana yang berasal dari kocek pribadi anggota serta ada 2 administrasi yang
mengelola data, tidak ada buah karya yang langsung dihasilkan BJBS. Karena
anggotanya sepakat membuat aksi dan mencari dana mandiri untuk membiayainya.
Contohnya pembuatan peta persampahan Kota Bandung, BebasSampahID, bukan hasil
karya BJBS walau dikerjakan anggota BJBS. Termasuk diantaranya GPS (Gerakan
Pungut sampah), #1000tumbler dan acara nol sampah ( zero waste event) sewaktu
nonton bareng Persib yang dikomandoi BDGcleanaction.
#1000tumbler pengganti air minum kemasan
Dari sini kita bisa melihat polanya bahwa BJBS
mengedukasi warga agar perilakunya berubah. Karena akar masalah sampah terbesar
adalah perilaku warga, sebesar apapun usaha pemerintah daerah, jika warganya
ngga punya kesadaran ya mirip menebar garam ke lautan, ngga ada hasilnya. Tentu
saja kampanye perubahan perilaku ini harus seiya sekata dengan gerak pemerintah
kota, sehingga tak heran pak Emil mengarahkan setiap satuan kerjanya untuk
melakukan gerakan pungut sampah (GPS), agar peduli akan kebersihan daerah
kerjanya, lokasi tempat tinggalnya dan tidak geuleuh (jijik) pada sampahnya
sendiri. Dengan harapan akan menular pada yang selama ini ngga peduli.
![]() |
Gerakan Pungut Sampah |
Tidak itu saja, pemerintah kota juga aktif
mengeksekusi peraturan daerah Kota Bandung K3 (Ketertiban, Kebersihan dan
Keindahan) tahun 2005, ya perda tahun 2005 baru ditegakkan pada tahun 2014
salah satunya menyatakan setiap kendaraan roda 4 wajib membawa tong sampah.
Nampaknya sepele, hanya tong sampah, tapi justru tanpa tong sampah maka edukasi
menjadi sulit dilakukan. Contohnya ada anak yang mau buang sampah melalui
jendela angkutan umum, dengan adanya tong sampah, kita bisa bilang: eits jangan
buang ke jalan nak, buang kesini ya nak, sambil menunjuk tong sampah dalam
angkot.
setiap kendaraan roda 4 harus menyiapkan tong sampah,
termasuk angkot
Kampanye perubahan perilaku (green lifestyle) sudah
dilakukan, kemudian gimana dong dengan sampah-sampah yang bertaburan di
jalan-jalan dan gorong-gorong? Gerakan GPS kan ngga mungkin bisa melakukan
semuanya. Membersihkan jalan dan gorong-gorong? Alamak, habis dong waktu untuk
kebersihan kota. Untuk itu pak Ridwan Kamil membentuk pasukan kebersihan yang
bertulisan punggung “ Bantu Kami Membuat Bandung Bersih” . Profesi ini pernah
ditolak pengemis/gelandangan yang ogah diberi honor Rp 1, 3 juta per bulan,
mereka menuntut Rp 5 juta. Hmmm …… :)
penyapu jalan
di Kota Bandung
Selain armada pembersih jalan yang berasal dari SKPD
terkait, setiap kecamatan dan kelurahan memiliki pasukan juga, mereka
membersihkan sampah di tanah-tanah kosong/terlantar , gorong-gorong dan
jalan-jalan yang menjadi lokasi kesayangan warga untuk buang sampah. Para
pekerja kelurahan (10 orang) dan kecamatan (10 orang) umumnya berasal dari
pengangkut sampah RT, sehingga mereka memiliki dobel penghasilan, yaitu dari
warga dan kelurahan/kecamatan. Setiap RW juga memiliki sator (sepeda motor yang
dimodifikasi untuk mengangkut barang) agar memudahkan pak RW membersihkan
areanya. Komplit kan?
pasukan kebersihan di setiap kelurahan dan kecamatan
Ada beberapa kriteria penilaian fasilitas kota yang
dibenahi yaitu jalan, taman kota, hutan kota, pertokoan, perkantoran, sekolah,
terminal, stasiun, rumah sakit dan pasar. Nah penilaian pasar sering banget
membuat Kota Bandung jatuh tanpa harapan. Ya iyalah, pasarnya seperti ini, dari
jauhpun udah dicoret deh:
pasar Cihaurgeulis yang menjijikkan (before)
Ridwan Kamil merangkul pedagang pasar dengan manisnya
agar mereka merasa memiliki. Diterapkan peraturan agar tidak boleh berjualan di
trotoar, diberi tanaman bambu di sepanjang batas parkir. Perubahan positif
pedagang pasar disambut pihak kelurahan dengan menghibahkan conblock bekas
kantor kelurahan, sehingga eng ing eng ….., jadi seperti ini. Lumayanlah ……^_^
pasar Cihaurgeulis setelah bebenah (after)
Pasar Cihaurgeulis diatas hanya dipermak
penampilannya, belum direvitalisasi, mungkin menunggu anggaran turun. Bisa
dipahami betapa gembiranya Ridwan Kamil beserta satuan tugasnya ketika menerima
anugerah Adipura.
Penghargaan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan
hidup harus diperjuangkan bersama warga kota, tidak sekedar prestise. Jika
tidak, akan menjadi bumerang. Kota kumuh nan kotor kok mendapat penghargaan?
Tidak demikian halnya dengan Kota Bandung yang bergerak ke arah perubahan
menjadi lebih indah dan resik. Di beberapa area memang masih terlihat sampah,
tapi setahu saya kota-kota peraih Adipura lainnya masih belum terbebas
sepenuhnya dari sampah. Bahkan warga kotanya tidak semilitan Kota Bandung dalam
mengkampanyekan perubahan green lifestyle.
Bener ngga? ^_^
0 komentar