Mengapa Ridwan Kamil Melarang Penggunaan Styrofoam?
Elly Wasliah, Kepala Dispertapa Kota Bandung, berjalan hilir mudik
dengan gelisah. Kebaya putih yang dikenakan tak mengganggu aktivitasnya. Hari
Rabu memang diwajibkan mengenakan baju tradisional dan menggunakan bahasa Sunda
dalam percakapan. Tapi bukan itu yang mengundang perhatian, Elly kebingungan
mendapat panggilan telepon berulang kali dari walikota Bandung Ridwan Kamil
sementara sopir yang bisa mengantarnya ke balai kota, tak kunjung tiba.
Kang Emil, panggilan Ridwan Kamil, memang sering tidak sabar jika
menghadapi situasi yang lelet dan muter-muter. Tidak hanya bawahan,
kawan-kawannya paham betul akan kebiasaannya ini. Jangan heran ketika
memutuskan larangan penggunaan styrofoam di kota Bandung, dia hanya memberikan
waktu 2 minggu, atau tanggal 1 November 2016 harus sudah berlaku.
Larangan yang pastinya membuat pegiat lingkungan menarik napas lega
sekaligus was-was. Apa penyebabnya?
Di antara 7 jenis plastik, styrofoam (PS/polystyrene) termasuk yang
tidak disarankan pemakaiannya untuk wadah makanan. Senyawa styrene akan lepas
dan bermigrasi pada makanan berlemak dan makanan bersuhu tinggi. Dalam jangka
panjang bisa menyebabkan gangguan system syaraf pusat dan meningkatnya risiko
kanker pada manusia. Dekade terakhir ini marak digunakan karena tampilannya
yang putih bersih, tahan air dan harganya murah.
Kang Emil tidak “ngasal” sewaktu menelurkan kebijakan pelarangan
styrofoam untuk semua jenis kegiatan dan usaha di kota Bandung. Banyak
alternatif bahan pengganti seperti kertas, dus/karton, plastik yang bisa
didaurulang, bambu (besek). Mendapatkannya tidak semudah styrofoam tapi hukum
pasar pasti akan berlaku, di mana ada permintaan di situ ada barang. Hanya soal
waktu.
Mereka yang sering mengikuti kegiatan bersih-bersih pantai dan saluran
air pastinya tahu, betapa ribetnya styrofoam. Bukan masalah volume, tapi
jumlahnya yang banyak hanya bisa dibakar. Bahaya pembakaran styrofoam seperti
kita ketahui menghasilkan CO2 dan CFC yang merusak ozon. Kalaupun ada yang
mengklaim bahwa dia bisa mendaurulang, harga keekonomiannya masih terlalu
tinggi dan umumnya tidak marketable.
Sudah 6 tahun yang lalu undang-undang pengelolaan sampah nomor 18
disahkan, kok belum diterapkan juga? Terlebih Kota Bandung memiliki Perda nomor
3 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.
Undang-undang nomor 18 tahun 2008 dikuatkan dengan Perda Nomor 9 tahun 2011
tentang Pengelolaan Sampah, jelas Walikota Bandung salah besar jika tidak
mematuhinya.
Jika mudah, mengapa dipersulit?
Mungkin itu slogan Kang Emil. Sebelum ini warga Kota Bandung dan pendatang
sempat heboh karena penerapan keharusan adanya tempat sampah di kendaraan roda
empat. Padahal undang-undangnya ada, lengkap dengan sanksi bagi mereka yang
mereka melanggar.
Tak heran Jumat, 14 Oktober 2016 kemarin Kang Emil menegaskan pelarangan
berlaku total. Semua jenis kegiatan dan usaha di Kota Bandung dilarang
menggunakan styrofoam. Surat peringatan 3 kali berturut-turut akan dilayangkan
bagi pelaku usaha yang bandel.
“Yang terakhir kita cabut izin usahanya”, kata Kang Emil.
Nah lho. Oh ya mungkin ada pertanyaan, kenapa was-was? Karena seperti
biasanya anak buah sering muter-muter dulu. Larangan penggunaan styrofoam
dijawab Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Kota Bandung dan
Kepala Bagian Hukum Pemkot Bandung dengan rencana pemberlakuan bertahap, dimulai
dari lingkungan pemerintahan dan sekolah-sekolah. Sesudah itu barulah merambah
ke kegiatan usaha.
Memang tidak mudah, pelarangan styrofoam kali ini tidak dikumandangkan
dengan gencar seperti halnya kantong plastik. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pastinya juga adem ayem saja jika tidak disenggol dengan petisi
melalui change.org. Aneh tapi nyata, tumpukan kertas regulasi selama ini dibuat
untuk apa? Milyaran rupiah lho nilainya.
Ah daripada menyalahkan lebih baik mendukung kebijakan menolak styrofoam
karena kita memiliki kekuatan yang sering lupa digunakan yaitu suara konsumen. Sebagai konsumen sering
terlena dengan apa yang diberikan/ditawarkan penjual dan melupakan akibatnya.
Betul?
Elly Wasliah, Kepala
Dispertapa Kota Bandung, berjalan hilir mudik dengan gelisah. Kebaya
putih yang dikenakan tak mengganggu aktivitasnya. Hari Rabu memang
diwajibkan mengenakan baju tradisional dan menggunakan bahasa Sunda
dalam percakapan. Tapi bukan itu yang mengundang perhatian, Elly
kebingungan mendapat panggilan telepon berulang kali dari walikota
Bandung Ridwan Kamil sementara sopir yang bisa mengantarnya ke balai
kota, tak kunjung tiba.
Kang Emil, panggilan Ridwan Kamil, memang sering tidak sabar jika
menghadapi situasi yang lelet dan muter-muter. Tidak hanya bawahan,
kawan-kawannya paham betul akan kebiasaannya ini. Jangan heran ketika
memutuskan larangan penggunaan styrofoam di kota Bandung, dia hanya
memberikan waktu 2 minggu, atau tanggal 1 November 2016 harus sudah
berlaku.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ridwan-kamil-dan-larangan-styrofoam_5805fce3f57e61821e8b456b
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ridwan-kamil-dan-larangan-styrofoam_5805fce3f57e61821e8b456b
Tags:
BandungJuaraBebasSampah
lifestyle
regulasi
Ridwan Kamil
sampah anorganik
solusi limbah
styrofoam
0 komentar