Akhirnya, Teka Teki Itu Terjawab ........



 
lapak Bapak Sihotang

Akhirnya teka teki mengapa pemulung kesulitan menjawab hasil pulungannya terjawab sudah. Sebetulnya ketika mewawancarai teh Tita, pengepul yang jelita, saya berhasil menemukan sebagian jawabannya . Tapi Bapak Sihotang pemilik lapak di jalan Cigadung Raya Timur nomor 73 melengkapinya. 

Menurut detektif bebassampahID yang mengawali  survey,  Bapak Sihotang termasuk galak dan curiga lho. Dengan setengah mengusir, teman kami tersebut terpaksa pergi karena pintu lapaknya ditutup. Persis nasib saya ketika mengunjungi lapakIbu Hindun di Cikaso.

Ternyata eh ternyata Bapak Sihotang sangat ramah. Apakah mungkin karena beliau mengenal saya sebagai tetangganya? Entahlah. Toh tidak ada larangan menyurvey tetangga. Jadi? Lanjutttt……… ^_^

Menurut Bapak Sihotang, ada 2 penyebab mengapa beliau enggan menerima hasil temuan pemulung.


  • Sampah anorganik yang dikumpulkan pemulung umumnya bau dan kotor. Maklumlah mereka memungut dari selokan yang mungkin  sudah bercampur kotoran hewan/kotoran manusia juga dari tong sampah yang telah terkontaminasi sampah makanan basi. Sementara Bapak Sihotang sangat sungkan jika tetangga menjadi tidak nyaman akan keberadaannya. Maklumlah rumah tinggal dan lapaknya berdekatan dengan masjid dan pesantren Al Ikhwan, Cigadung Bandung.

  • Bapak Sihotang pernah tanpa sengaja menerima barang hasil curian. Rupanya seorang pemulung ‘khilaf’ mengambil tangga lipat terbuat dari alumunium yang lalai disimpan pemiliknya. Si pemilik mendatangi Bapak Sihotang seraya marah-marah dan menuduh bapak Sihotang menadah barang curian. Tentu saja Bapak Sihotang merasa terhina dan sejak itu enggan menerima setoran pemulung, hanya mau menerima sampah anorganik/barang rongsokan dari tukang rongsok yang mayoritas dikordinir olehnya.

Usaha jual beli sampah anorganik/ barang rongsokan memang nampaknya berlimpah rupiah. Karena itu penduduk dari luar kota Bandung berdatangan untuk mengais rupiah. mereka berpikir cukup memulung sampah bisa didapat rupiah untuk menutupi kebutuhan hidup. Ternyata tidak sesederhana itu, tidak sembarangan sampah bisa diterima pengepul.

Mereka yang ulet, jujur dan cerdik (umumnya petani di daerahnya) bermodalkan sedikit uang mendapat pinjaman tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan dari pengepul seperti Bapak Sihotang. Juga mendapat pinjaman gerobak sampah. Hubungan saling menguntungkan antara pengepul dan tukang rongsok. Karena sungkan, peminjam grobak dorong tentunya hanya menjual ke Bapak Sihotang , tidak ke pengepul lainnya.

 Hasil pengumpulan /pembelian sampah dari rumah ke rumah dibeli dengan harga yang berfluktuasi sesuai waktu. Misalnya harga kertas bekas  Rp 300 – Rp 2.000, harga sampah plastik Rp 500 – Rp 2.000 , sampah besi  Rp 1. 500 – Rp 10.000 (alumunium) , Rp 50.000 (tembaga), sedangkan sampah botol hanya Rp 300 . 

Harga sampah anorganik inilah yang menjadi trik jitu Bapak Sihotang menolak membeli sampah anorganik yang dijual pemulung. Sampah besi seharga Rp 5.000 akan ditawar Bapak Sihotang Rp 1.000 saja, sehingga pemulung tersebut marah –marah  dan mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan menjurus SARA.  “Ya, itu risiko usaha”, kata bapak Sihotang dengan suara etnis Bataknya yang khas.

Karena itu ada baiknya kita TIDAK berasumsi semua  sampah akan diambil pemulung sehingga dengan enteng kita membuang sampah sembarangan. Tidak memedulikan sampah yang dibuang akan  memenuhi jalan raya dan selokan-selokan air, sementara itu kalaupun diambil pemulung, tidak semua pengepul mau membeli sampah temuannya.

Jalan keluarnya? Jika tidak bisa meminimalisir sampah , sebaiknya pisahkan sampah sejak sampah diproduksi. Kumpulkan sampah anorganik dalam suatu wadah untuk diberikan ke tukang sampah, tukang rongsok atau ikut serta komunitas bank sampah (rinciannya silakan baca disini). Bukankah bumi ini milik kita bersama? Karena itu hayuk lestarikan bersama. Setuju?

tumpukan sampah anorganik yang berjajar rapi


Ribetnya ngurus sampah yang dibuang ngawur seperti ini

Share:

2 komentar