Sampah Organik Jadi Biogas? Kenapa Ngga?



Forum whatsapp grup (WAG) “Bandung Juara Bebas Sampah” (BJBS)  sedang gundah gulana.  Untuk menyelesaikan sampah Sungai Citarum, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil berketetapan membangun 50 titik insinerator atau alat membakar sampah. (sumber) Dukungan penuh sudah didapat dari pemerintah pusat.

Bak Makan Buah Simalakama
Sebagai forum yang selalu mendukung pembangunan berkelanjutan, BJBS bukannya ngga paham. Apa yang sedang dialami kang Emil, panggilan Ridwan Kamil, bak makan buah simalakama. Agar sampah tidak mengalir ke lautan, Sungai  Citarum harus dikeruk.  Sekarang setiap harinya,  ekskavator mengangkat sampah dan sedimen sebanyak   100 kg-150 kg. Jumlah sampah akan bertambah jika pemerintah pusat sudah mengirimkan ekskavator bantuan.

Apa yang harus dilakukan dengan sampah hasil pengerukan?

Sungguh suatu dilema yang membuat kepala puyeng. Solusi termudah memang dibakar. Karena itulah Kang Emil mengajukan 50 titik pembakaran sampah.

 Sayangnya, aktivitas membakar sampah  berarti melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Bunyi pasal 29 ayat 1 butir g : "Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah".

Pastinya ada yang mendasari regulasi tersebut. Greeneration  Indonesia  yang digawangi  para alumni Teknik Lingkungan ITB menyatakan setidaknya ada 7  bahaya membakar sampah, yaitu:
  1. Gas buang dari proses pembakaran berpotensi mencemarkan lingkungan karena kandungan bahan beracun seperti substansi dioksin
  2. Gas buang merupakan pembawa sebagian besar CO2 penyebab pemanasan global
  3. Abu yang tersisa dari pembakaran mencapai 20% dari sampah yang dibakar ini termasuk juga kategori limbah B3, penggunaan insinerator tidak menjadi alternatif untuk landfill, namun justru dibutuhkan landfill khusus untuk limbah B3.
  4. Unsur merkuri akan trelepas ke udara dalam bentuk uap yang terbawa pada gas buang.
  5. Berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak dilengkapi degan pengolahan gas buang. Pembakaran sampah yang mengandung bahan atau limbah kimia akan melepaskan kandungan kadmium, timbal atau bahan-bahan yang berpotensi sebagai pencemar lingkungan.
  6. Diperlukan peralatan pengolah gas buang yang basah setelah proses pembakaran karena gas yang basah ini akan dapat merusak atau sebagia gas destruktif apabila lepas ke udara, oleh karena itu dihitung sebagai tambahan biaya dalam pemakaian incenerator
  7. Berpotensi pencemar emisi partikulat karena kandungan abu yang besar.
Ah, kita tinggalkan sejenak Kang Emil yang sedang berpening ria. Karena  apapun risikonya, kecenderungan membakar sampah selalu dilakukan. Terlebih di luar daerah, kawasan yang tidak tersentuh pembuangan sampah terorganisir. Timbunan sampah nampak di sepanjang jalan, di lahan kosong dan di saluran air.

Padahal jika dirancang dengan benar, alih-alih menjadi masalah, sampah organik  berpotensi sebagai bahan baku penghasil energi terbarukan.

Sedangkan sampah anorganik bisa diproses menjadi material sejenis. Plastik  diolah menjadi biji plastik. Kertas menjadi lembaran kertas lagi. Demikian pula dengan material  hasil tambang.

Energi Terbarukan
Adalah bakteri metanogen yang berjasa melepaskan biogas untuk memasak. Ketika sampah organik dimasukkan ke biodigester maka bakteri metanogen dengan senang hati akan melakukan fermentasi atau proses metanisasi.

Proses fermentasi terjadi tanpa oksigen (anaerob). Biogas yang dihasilkan  terdiri dari beberapa macam gas, yaitu  metana (55-75%), karbon dioksida (25-45%), nitrogen (0-0.3%), hydrogen (1-5%), hidrogen sulfida (0-3%), dan oksigen (0.1-0.5%). Persentase terbesar, metan merupakan  gas ini mudah terbakar dan dapat disamakan kualitasnya dengan gas alam setelah dilakukan pemurnian terhadap gas metan.

Banyak keuntungan diperoleh jika rumah tangga di Indonesia mengolah sampahnya menjadi gas metan: 
  • Mengurangi ketergantungan.  LPG yang digunakan sebagian besar rumah tangga di Indonesia, tidak saja merupakan energi fosil yang cadangannya semakin tipis, juga merupakan  beban pemerintah.  Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah Indonesia  mengimpor 60 % dari total kebutuhan,  25.000 metrik ton per hari (sumber)
  • Secara periodik, pemerintah terpaksa menaikkan harga LPG. Pastinya memberatkan masyarakat miskin, terlebih masyarakat pedalaman, mereka harus membayar 2 x lipat. Sementara energi terbarukan yang berasal dari sampah dapat diperoleh gratis. Selama manusia menghasilkan sampah,  bakteri metanogen dengan setia akan memproduksi biogas.
  • Solusi sampah organik.  60 - 70 % sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia merupakan sampah organik.  Penggunaannya sebagai energi terbarukan akan menyelesaikan sebagian masalah sampah di Indonesia.
  • Solusi pemanasan global. Tanpa dikoordinir menjadi biogas untuk memasak, maka gas metan akan menjadi bagian gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Penggunaan biogas sebagai bahan bakar, sudah dimulai di Kota Bandung sejak tahun 2016. Dipopulerkan oleh Arifin Panigoro yang menghibahkan 100 biodigester sampah,  Kini, hanya beberapa yang masih beroperasi. Penyebabnya sederhana, pengguna masih belum terbiasa memisah sampah, sehingga sering ditemukan sampah anorganik dalam tabung biodigester.

Energi Muda dan Pembangunan Keberlanjutan
Dengan slogan Energi Muda,  Koaksi  Indonesia bergerak untuk percepatan energi terbarukan di Indeonesia.  Koaksi  Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang memiliki agenda pembangunan berkelanjutan di seluruh Nusantara.

Ketika masalah dipetakan, ada sampah yang tak kunjung habis dibahas namun belum juga memperoleh  titik temu. Ada  banyak inovasi energi  terbarukan, diantaranya menjadikan sampah sebagai bahan baku biogas.  Maka terlihat ada banyak ruang kosong.

Masyarakat belum teredukasi perihal sampah. Gagap memperlakukan sampah modern yang baru muncul seabad silam, sementara berjuta tahun sebelumnya , bumi aman dan tentram. Tidak mengenal keresek, botol bekas air mineral, terlebih styrofoam.

Kaum muda kerap menjadi ikon pembaruan.  Ketika sampah dan energi  menjadi fokus mereka, berbondong-bondong anak muda lain meniru. Menganggap sebagai trend bergengsi.

“Gue ngga nyampah lho”

“Sampah gue jadi nyala api. Bikin emak happy masak di dapur”.

Teknologi digital bisa banget membuat terobosan. Perekrutan relawan untuk kampanye memisah sampah hingga pelosok tanah air. Serta aplikasi yang menghubungkan tempat penyedia biodigester, mereka yang membutuhkan serta tim yang mengedukasi pengguna biodigester.


Sehingga sungai – sungai di Indonesia tidak akan mengalami  nasib sama seperti Sungai Citarum. Tetap jernih dan menjadi sumber penghidupan. Sementara masyarakat tidak lagi mengeluh dengan kelangkaan LPG atau kenaikan harga LPG. Di dapurnya bertengger dengan anteng, kompor gas metan yang mendapat aliran biogas dari biodigester berisi sampah rumah tangga.


·    

Share:

0 komentar