Pak Jimbo dan Istrinya Yang Ramah
Nyesss,
dingin menyejukkan ………
Itulah
yang saya rasakan ketika mengunjungi lapak pak Jimbo dan istrinya. Sesudah
menerima aroma curiga di pasar besi bekas jalan Cikaso dan tersandung-sandung
tersasar dalam cuaca yang terik nian di jalan Awibitung dan Asep Berlian, maka
sungguh asyik bertemu pasangan setengah
tua yang menekuni bisnis barang bekas ini.
Saling
bahu membahu mereka bekerja. Bapak Jimbo menerima setoran sampah anorganik, menimbang
dan menentukan harga. Sedangkan ibu Jimbo bertugas membayar sesuai jumlah uang
yang disebutkan suaminya.
Sambil
menunggu penjual dan pembeli sampah anorganik , pak Syahroni memilah-milah
sampah. Tumpukan buku bekas catatan sekolah dipisahkan dari plastiknya.
Lembaran kertas bertinta dipisahkan dari lembaran kertas yang masih kosong
putih. Demikian pula map-map kertas yang harus dipisahkan dari besi
penjepit. Cukup apik karena sisa sampah
dikumpulkan dalam satu wadah, tidak
dibuang sembarangan. Sehingga area lapak pak Jimbo ini cukup resik untuk ukuran
pengepul barang bekas.
Istri
pak Jimbo bercerita bahwa dia sudah menerapkan pemisahan sampah. Hanya sampah
organik dan sampah anorganik yang tidak bisa didaur-ulang yang dibuangnya ke
tempat sampah.
Wah,
hanya tinggal selangkah nih. Jika seluruh warga sudah memisah sampahnya maka pemerintah
kota cukup menyosialisasikan composting atau biodigester atau biopori. Agar
sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) bisa diminimalisir.
Penanganan
sampah organik sebetulnya jauh lebih mudah dibanding sampah anorganik. Karena
bisa dikatakan tidak ada biaya tambahan dalam pengolahannya. Contohnya komposter kotak takakura, hanya diperlukan
sejumlah uang untuk pembelian kotak yang berlaku seumur hidup. Tidak diperlukan
biaya tambahan seperti transpor dan bahan pembantu lainnya.
Tidak
demikian halnya dengan proses pengolahan sampah anorganik. Dibutuhkan biaya
transportasi untuk mengangkut sampah anorganik dari satu titik ke titik yang
lain, bahkan meliputi banyak titik lokasi. Belum lagi biaya produksi yang
meliputi upah, bahan bakar minyak, biaya perawatan mesin dan biaya lainnya
untuk mengolah sampah anorganik hingga menjadi produk baru. Rantai panjang yang
menimbulkan jejak ekologis baru yang membebani baru.
Ah,
kembali ke laptop. Ups ke pasangan pak Jimbo yang ramah dan menyuguhi saya
segelas air putih dalam gelas keca berbentuk piala. Hmmmm, sungguh nikmat
rasanya. Bukan saja karena saya haus setelah berpanas-panas ria menempuh
perjalanan cukup jauh. Juga karena lega mendapat suguhan segelas air tanpa
sampah. Terimakasih Ibu Jimbo.
Lapak
bapak dan ibu Jimbo termasuk unik karena tidak tampak di jalan utama, menjorok
ke dalam Gang Cendrawasih III di area jalan Syahroni. Jalan Syahroni sendiri
sebetulnya cukup mudah diketemukan, merupakan deretan jalan di sepanjang Ahmad
Yani satu alur. Terletak di depan Balai Besar Keramik, area PKL melimpah
disini. Katanya mereka berjualan sejak tahun 1980. Sehingga silakan bertanya
lokasi jalan Syahroni maka setiap penghuni kawasan tersebut akan dengan senang
hati menunjukkannya.
0 komentar