Kisah Sampah Perkotaan

Pemulung melintas di jl. Taman Pramuka Bandung (dok. Maria Hardayanto)



Air banjir membawa sampah,  selokan penuh berisi sampah,  setiap sudut kota menumpuk sampah. Masalah sampah yang rumit membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama (Ahok) mewacanakan menggaji 2.000 pemilung sebesar dua juta rupiah.

Ini usulan “ajaib” karena antara membayangkan dan mengimplemantasikan jelas dua hal berbeda. Pak Ahok membayangkan pemulung akan mengangkut sampah dan memilah sampah agar pemulung mendapat tambahan pendapatan dari hasil pemilahan sampah. Sayangnya hal tersebut hanya bisa dilakukan di tingkat RT tapi tidak di daerah sebesar DKI Jakarta yang memproduksi sampah 6.000 ton setiap harinya.

Analoginya, seorang pemilik beberapa pohon mangga akan sanggup memanen dan menyortir mangganya  sendiri sebelum dijual kepasar. Tapi pemilik ribuan pohon mangga? O dia perlu beberapa pekerja dengan pembagian tugas yang jelas: memanen, menyortir, mengepak dan mengirim. Semua harus dikerjakan pada suatu waktu agar kualitas buah tetap terjaga hingga di tangan konsumen.

Demikian pula pengerukan sampah, jika pemulung diharuskan mengeruk dan memilah sekaligus? …………… olala bisa marah-marah warga DKI Jakarta karena sampah menumpuk dimana-mana. Memilah sampah membutuhkan waktu lama lho, pak. Dilain pihak kecepatan produksi sampah oleh warga harus seimbang dengan gesitnya bagian pengerukan dan pengangkutan.

Solusinya? Pemberian target pada perusahaan yang bertanggung jawab mengangkut sampah. Apabila tidak mampu mencapai target, harus disiapkan perusahaan swasta lain yang lebih kompeten dan kompetitor tersebut sangat banyak.  Tentunya pak Ahok harus menjamin tidak adanya uang sogokan untuk menjadi rekanan Dinas Kebersihan. Karena uang pelicin menyebabkan biaya operasional menjadi bengkak.

Perusahaan swasta rekanan Dinas Kebersihan tersebut hanya mengeruk sampah. Sedangkan pemilahan dimulai dari hulu, bukan dihilir. Kerjasama dengan perusahaan swasta lainnya adalah yang terbaik. Merekalah yang kelak merekrut para pemulung karena tidak memerlukan pelatihan khusus lagi. Hanya dengan melihat selintas tumpukan sampah anorganik seorang pemulung akan dengan cepat memilah, mana yang bisa dijual untuk direcycle mana yang tidak.

Perusahaan swasta ini kelak bergerak diperumahan-perumahan yang telah mendapat sosialisasi pemisahan sampah. Mereka membagikan tempat sampah khusus ( berwarna tertentu) sesuai kategori sampah. Setiap tiga hari sekali diambil petugas, apabila pemilik rumah lalai maka silakan membuangnya di tempat pembuangan sampah sementara (TPS)  yang telah ditunjuk. Karena itulah sebaiknya penerapan dilakukan langkah demi langkah dan mulai di kawasan menengah keatas yang rapi penataan ruangnya. Sehingga warga yang jorok akan mendapat cibiran dari tetangga.

Bagaimanapun itulah kelebihan warga masyarakat Indonesia yaitu masih takut dicemooh tetangga. Segelintir warga yang acuh tak acuh hanyalah kasuistik.  Salah satu indikator adalah antrian di rumah makan cepat saji atau kasir supermarket. Silakan slonong boy mirip orang primitif, pasti akan banyak dahi mengernyit dan ejekan sambil menutup mulut dibelakang jemari yang dilebarkan, sehingga terdengar jelas ………:D

Penulis mendapat banyak masukan data dan kiriman foto. Salah satunya contoh kiriman rekan @Sondaryani Vagher dari Den Haag Belanda yang memotret khusus. Selain diangkut sampah basahnya setiap 3 hari, Inge (nama panggilan Sondaryani) harus memasukkan sendiri sampah anorganik berdasarkan jenis sampah ke dalam kontainer yang telah ditentukan dan berjarak kurang lebih 20 meter (berjalan kaki 2-5 menit) dari rumahnya.
1356471265284473741
kontainer sampah (dok. Sondaryani Vagher)
Kontainer-kontainer sampah tersebut parkir pada waktu-waktu tertentu selama dua minggu sebelum akhirnya diangkut truk ke markas perusahaan. Mereka jugalah yang mendistribusikan sampah anorganik ke tempat recycle sesuai  jenisnya. Pekerjaan tersebut cukup tepat dikerjakan mantan pemulung. Karena selain digaji, mereka tidak lagi mengaduk-aduk sampah yang kotor dan penuh belatung dari tempat sampah. Tentu saja dengan adanya perusahaan yang bertanggung jawab mekanisme menjadi jelas.  Baik prosedur kepegawaian, honor/gaji hingga job description-nya.

Sebetulnya tanpa diketahui “penguasa kota”, banyak warga yang melihat celah bernilai ini. Mereka menggunakan mobil-mobil tua untuk mengangkut sampah dari pemilik rumah yang tidak mempermasalahkan uang pembayaran sampah. Biasanya biaya perbulan sekitar Rp 100.000 (bisa lebih) sedangkan tukang sampah biasa hanya Rp 2.000 – Rp 15.000.
13564698971290440846
pengusaha dibidang sampah Bandung(dok. Maria Hardayanto)
Mobil sampah ini mengangkut semua sampah dan memilahnya ke dalam keranjang-keranjang bekas buah yang bisa didapat gratis di pasar. Sampahnya tentu saja dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) terpadu, sedangkan hasil pemilahan bisa dijual untuk menambah pendapatan.

Penyelesaian masalah sampah sebenarnya mudah dilakukan apabila pemerintah mau bertindak tegas sejak dari hulu, bekerja bersama masyarakat dengan menyosialisasikan apa yang harus dilakukan mereka. Seperti contoh Inge yang membuang semua sampah basahnya pada tempat sampah khusus, dia hanya mendapat tempah sampah basah (hijau) satu buah karena anggota keluarganya 4 orang. Ada prosedur untuk meminta lebih sehingga mau tidak mau harus  memilah-milah sampah dalam kantong plastik khusus agar memudahkan ketika waktunya harus memasukkan ke dalam container.
13564718911080216558
tempat sampah khusus yg penyediaanya dibatasi petugas kebersihan (dok. Sondaryani Vagher)
Tentu saja perlu dilakukan pula sosialisasi pengomposan dalam bentuk komposter besar yang mampu menampung dedaunan pekarangan dan sampah dapur atau mengompos dalam kotak takakura. Semua pilihan diberikan pada warga, termasuk pembayaran biaya sampah yang lebih besar apabila membuang sampah mebel, barang elektronik dan sampah berukuran besar lainnya. Sekaligus sanksi harus membuang sampah sendiri ke TPS yang letaknya cukup jauh apabila tidak mengeluarkan kotak sampah pada waktunya.

Dengan anggaran sampah sebesar 90 milyar pertahun seharusnya DKI Jakarta bisa melakukan banyak hal dengan terencana dan mengeksekusinya tanpa menimbulkan banyak friksi. Karena warga masyarakat bisa dan mau diedukasi agar bertanggungjawab pada sampahnya. Khususnya melihat fenomena pak Jokowi -Ahok yang masih diatas angin. ……………#semoga tetap begitu.

Sudah lewat waktunya warga masyarakat berperilaku  ibarat raja yang membuang beraneka sampah didepan rumahnya dan tukang sampah dengan merunduk-runduk bagai warga kasta terendah mengumpulkan dan mengangkut sampah mereka. Gaya feodalisme di jaman digital dengan sub konten sampah.

**Maria Hardayanto**

Special thanks to Sondaryani Vagher  dan Ismail Husain yang sudah bersusah payah memotret dan memberi informasi.
1356472363595038387
3 kontainer sampah (dok. Sondaryani Vagher)
1356472440775303222
sampah khusus kaca dan poselein, kristal, lampu (dok. Sondaryani Vagher)
13564725521000464979
kontainer kedua : sampah kertas (dok. Sondaryani Vagher)
13564726401773099105
kontainer ketiga: beragam sampah plastik (dok Sondaryani Vagher
)

Share:

1 komentar

  1. mengunjungi blog yang bagus dan penuh dengan informasi yang menarik adalah merupakan kebahagiaan tersendiri.... teruslah berbagi informasi

    BalasHapus