Bunga-bunga Sampah di Kota Bandung
Gambar
di atas adalah foto kawat penghubung antar kios di belakang pasar
Cihaurgeulis Kota Bandung. Dipenuhi lalat, menunjukkan betapa kumuh dan
joroknya pasar yang berjarak sekitar 1 km dari Gedung Sate, Pusat
Pemerintahan Provinsi Jawa-Barat. Tidak hanya lalat beterbangan, belatung mengintai dari tumpukan sampah pasar dan serakan sampah memenuhi bagian belakang pasar hingga trotoar.
Kota
Bandung rupanya tidak jera. Sesudah mengalami Bandung Lautan Sampah di
tahun 2005 hingga dianugerahi “penghargaan” kota terkotor, tidak ada
kemajuan yang signifikan. Penyebabnya adalah karena tidak ada perubahan
system pengelolaan sampah. Sistem kumpul, angkut dan buang seperti yang
dilakukan selama ini jelas menyulitkan PD Kebersihan. Kesulitan sumber daya manusia, kurangnya kendaraan pengangkut sampah, uang retribusi sampah yang “berceceran” dan tidak memenuhi target hingga banyaknya warga kota yang enggan membayar retribusi.
Sayangnya
semua permasalahan yang sulit terurai bagai benang kusut tidak membuat
semua pihak terkait saling introspeksi. Bahkan arahnya makin salah
ketika walikota Bandung bertekad meraih Adipura dengan
membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebagai satu-satunya
solusi. Warga tentu saja menolak karena tidak ada garansi bahwa
pembangunan akan bebas dari korupsi.
PLTSa tidak pernah disosialisasikan dengan benar, tidak pernah diyakinkan dengan gamblang bahwa racun dioksin dan furan sebagai hasil pembakaran sampah PLTSa tidak
akan meracuni penduduk kota Bandung yang mendiami cekungan danau purba.
Belum lagi masalah limbah B3nya belum pernah dibahas dengan jelas akan
diapakan. Tidak ada maket, tidak ada transparansi. Jadi jangan salahkan
warga yang marah.
Pembangunan PLTSa sebetulnya hanya
teknis pengolahan sampah. Semua cara pengolahan sampah adalah baik
apabila dikerjakan dengan benar dan disesuaikan dengan kondisi sosial,
ekonomi, budaya dan geografis kota tersebut.
Sangatlah
keliru apabila berpikir bahwa uang akan menyelesaikan segalanya.
Mengapa uang proyek yang digelontorkan dari APBD tidak digunakan untuk
sosialisasi berupa pelatihan-pelatihan pengelolaan sampah dan penyediaan
sarana? Pengelolaan sampah harus dimulai di tingkat hulu, awal sampah
berasal. Pembenahan sistem juga diperlukan agar lifestyle penduduk
berubah. Sarana disediakan sehingga tidak ada sampah seenaknya dibuang
seperti ini:
Atau ada yang membuang bekas kotak rokok:
Pemulung yang kebetulan lewat jalan Dago Kota Bandung mungkin akan memungut sampah jenis ini:
Tapi yang jelas, sampah berlapis alumunium akan terlewat begitu saja:
atau sampah seperti ini :
Hingga berakhir di saluran air:
Atau dibakar secara perseorangan:
Ada juga yang membuat seremoni “aneh”, karena topi organis yang manis berubah menjadi topi sampah sesudah dipasang bekas kemasan plastik. Umurnyapun dipastikan hanya selama seremoni berlangsung. Sesudah itu? Ya nyampahlah …….
Kota Bandung sebetulnya sudah mengeluarkan peraturan daerah nomor 09 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah. Sayangnya penitik beratan tugas masih berada dipundak PD Kebersihan. Aneh memang, mengingat seharusnya ada pemerataan tugas dan kewajiban antara pemerintah , perumahan, kantor dan pihak swasta (produsen). Tanpa pembagian tugas dan sanksi yang jelas serta pelaksanaan sungguh-sungguh maka kota yang bersih dan mendukung kualitas hidup warganya , hanya sekedar angan. Penghargaan Adipura hanya mimpi belaka.
Bandung Lautan Sampah jilid 2 ditahun 2013 adalah keniscayaan. Apabila sebagai bangsa, kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan. Raihan Adipura hanyalah target demi sekedar
menaikkan gengsi semata. Seberapapun banyaknya uang digelontorkan untuk
“membeli” Adipura tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan sampah.
Sesederhana itu kok sebetulnya …….. ^_^
**Maria G. Soemitro**
Tags:
pernak pernik
photography
0 komentar