• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

About Me



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




Bandung Zero Waste

Gaya Hidup Nol Sampah untuk Wujudkan Indonesia Bebas Sampah

Pemulung melintas di jl. Taman Pramuka Bandung (dok. Maria Hardayanto)



Air banjir membawa sampah,  selokan penuh berisi sampah,  setiap sudut kota menumpuk sampah. Masalah sampah yang rumit membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama (Ahok) mewacanakan menggaji 2.000 pemilung sebesar dua juta rupiah.

Ini usulan “ajaib” karena antara membayangkan dan mengimplemantasikan jelas dua hal berbeda. Pak Ahok membayangkan pemulung akan mengangkut sampah dan memilah sampah agar pemulung mendapat tambahan pendapatan dari hasil pemilahan sampah. Sayangnya hal tersebut hanya bisa dilakukan di tingkat RT tapi tidak di daerah sebesar DKI Jakarta yang memproduksi sampah 6.000 ton setiap harinya.

Analoginya, seorang pemilik beberapa pohon mangga akan sanggup memanen dan menyortir mangganya  sendiri sebelum dijual kepasar. Tapi pemilik ribuan pohon mangga? O dia perlu beberapa pekerja dengan pembagian tugas yang jelas: memanen, menyortir, mengepak dan mengirim. Semua harus dikerjakan pada suatu waktu agar kualitas buah tetap terjaga hingga di tangan konsumen.

Demikian pula pengerukan sampah, jika pemulung diharuskan mengeruk dan memilah sekaligus? …………… olala bisa marah-marah warga DKI Jakarta karena sampah menumpuk dimana-mana. Memilah sampah membutuhkan waktu lama lho, pak. Dilain pihak kecepatan produksi sampah oleh warga harus seimbang dengan gesitnya bagian pengerukan dan pengangkutan.

Solusinya? Pemberian target pada perusahaan yang bertanggung jawab mengangkut sampah. Apabila tidak mampu mencapai target, harus disiapkan perusahaan swasta lain yang lebih kompeten dan kompetitor tersebut sangat banyak.  Tentunya pak Ahok harus menjamin tidak adanya uang sogokan untuk menjadi rekanan Dinas Kebersihan. Karena uang pelicin menyebabkan biaya operasional menjadi bengkak.

Perusahaan swasta rekanan Dinas Kebersihan tersebut hanya mengeruk sampah. Sedangkan pemilahan dimulai dari hulu, bukan dihilir. Kerjasama dengan perusahaan swasta lainnya adalah yang terbaik. Merekalah yang kelak merekrut para pemulung karena tidak memerlukan pelatihan khusus lagi. Hanya dengan melihat selintas tumpukan sampah anorganik seorang pemulung akan dengan cepat memilah, mana yang bisa dijual untuk direcycle mana yang tidak.

Perusahaan swasta ini kelak bergerak diperumahan-perumahan yang telah mendapat sosialisasi pemisahan sampah. Mereka membagikan tempat sampah khusus ( berwarna tertentu) sesuai kategori sampah. Setiap tiga hari sekali diambil petugas, apabila pemilik rumah lalai maka silakan membuangnya di tempat pembuangan sampah sementara (TPS)  yang telah ditunjuk. Karena itulah sebaiknya penerapan dilakukan langkah demi langkah dan mulai di kawasan menengah keatas yang rapi penataan ruangnya. Sehingga warga yang jorok akan mendapat cibiran dari tetangga.

Bagaimanapun itulah kelebihan warga masyarakat Indonesia yaitu masih takut dicemooh tetangga. Segelintir warga yang acuh tak acuh hanyalah kasuistik.  Salah satu indikator adalah antrian di rumah makan cepat saji atau kasir supermarket. Silakan slonong boy mirip orang primitif, pasti akan banyak dahi mengernyit dan ejekan sambil menutup mulut dibelakang jemari yang dilebarkan, sehingga terdengar jelas ………:D

Penulis mendapat banyak masukan data dan kiriman foto. Salah satunya contoh kiriman rekan @Sondaryani Vagher dari Den Haag Belanda yang memotret khusus. Selain diangkut sampah basahnya setiap 3 hari, Inge (nama panggilan Sondaryani) harus memasukkan sendiri sampah anorganik berdasarkan jenis sampah ke dalam kontainer yang telah ditentukan dan berjarak kurang lebih 20 meter (berjalan kaki 2-5 menit) dari rumahnya.
1356471265284473741
kontainer sampah (dok. Sondaryani Vagher)
Kontainer-kontainer sampah tersebut parkir pada waktu-waktu tertentu selama dua minggu sebelum akhirnya diangkut truk ke markas perusahaan. Mereka jugalah yang mendistribusikan sampah anorganik ke tempat recycle sesuai  jenisnya. Pekerjaan tersebut cukup tepat dikerjakan mantan pemulung. Karena selain digaji, mereka tidak lagi mengaduk-aduk sampah yang kotor dan penuh belatung dari tempat sampah. Tentu saja dengan adanya perusahaan yang bertanggung jawab mekanisme menjadi jelas.  Baik prosedur kepegawaian, honor/gaji hingga job description-nya.

Sebetulnya tanpa diketahui “penguasa kota”, banyak warga yang melihat celah bernilai ini. Mereka menggunakan mobil-mobil tua untuk mengangkut sampah dari pemilik rumah yang tidak mempermasalahkan uang pembayaran sampah. Biasanya biaya perbulan sekitar Rp 100.000 (bisa lebih) sedangkan tukang sampah biasa hanya Rp 2.000 – Rp 15.000.
13564698971290440846
pengusaha dibidang sampah Bandung(dok. Maria Hardayanto)
Mobil sampah ini mengangkut semua sampah dan memilahnya ke dalam keranjang-keranjang bekas buah yang bisa didapat gratis di pasar. Sampahnya tentu saja dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) terpadu, sedangkan hasil pemilahan bisa dijual untuk menambah pendapatan.

Penyelesaian masalah sampah sebenarnya mudah dilakukan apabila pemerintah mau bertindak tegas sejak dari hulu, bekerja bersama masyarakat dengan menyosialisasikan apa yang harus dilakukan mereka. Seperti contoh Inge yang membuang semua sampah basahnya pada tempat sampah khusus, dia hanya mendapat tempah sampah basah (hijau) satu buah karena anggota keluarganya 4 orang. Ada prosedur untuk meminta lebih sehingga mau tidak mau harus  memilah-milah sampah dalam kantong plastik khusus agar memudahkan ketika waktunya harus memasukkan ke dalam container.
13564718911080216558
tempat sampah khusus yg penyediaanya dibatasi petugas kebersihan (dok. Sondaryani Vagher)
Tentu saja perlu dilakukan pula sosialisasi pengomposan dalam bentuk komposter besar yang mampu menampung dedaunan pekarangan dan sampah dapur atau mengompos dalam kotak takakura. Semua pilihan diberikan pada warga, termasuk pembayaran biaya sampah yang lebih besar apabila membuang sampah mebel, barang elektronik dan sampah berukuran besar lainnya. Sekaligus sanksi harus membuang sampah sendiri ke TPS yang letaknya cukup jauh apabila tidak mengeluarkan kotak sampah pada waktunya.

Dengan anggaran sampah sebesar 90 milyar pertahun seharusnya DKI Jakarta bisa melakukan banyak hal dengan terencana dan mengeksekusinya tanpa menimbulkan banyak friksi. Karena warga masyarakat bisa dan mau diedukasi agar bertanggungjawab pada sampahnya. Khususnya melihat fenomena pak Jokowi -Ahok yang masih diatas angin. ……………#semoga tetap begitu.

Sudah lewat waktunya warga masyarakat berperilaku  ibarat raja yang membuang beraneka sampah didepan rumahnya dan tukang sampah dengan merunduk-runduk bagai warga kasta terendah mengumpulkan dan mengangkut sampah mereka. Gaya feodalisme di jaman digital dengan sub konten sampah.

**Maria Hardayanto**

Special thanks to Sondaryani Vagher  dan Ismail Husain yang sudah bersusah payah memotret dan memberi informasi.
1356472363595038387
3 kontainer sampah (dok. Sondaryani Vagher)
1356472440775303222
sampah khusus kaca dan poselein, kristal, lampu (dok. Sondaryani Vagher)
13564725521000464979
kontainer kedua : sampah kertas (dok. Sondaryani Vagher)
13564726401773099105
kontainer ketiga: beragam sampah plastik (dok Sondaryani Vagher
)
Wrote by Maria G Soemitro

Ibu Iriana dan recycle abg dari kertas semen (dok. Sumarti Saelan)

Usai di-publish kompasianer @Sumarti Saelan pada tanggal 19 Desember 2012 pukul 18.40, tercatat  pada 22 Desember 2012 sudah 2.641 orang yang membaca tulisan berjudul : “Ibu Jokowi dan Tas Sak Semennya”

Apa yang menarik dari tulisan berjumlah 255 kata tersebut? Ada banyak kemungkinan. Pertama karena menyangkut nama istri Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik dan setiap gerak langkah/ucapannya membius pembaca. Tak heran wartawan mainstream selalu setia menyajikan berita tentang Jokowi, walaupun ucapannya belum final.

Kemudian diferensiasi dari para ibu pejabat yang biasa menenteng tas branded berharga puluhan juta rupiah, ibu Iriana memilih tas sandang berbahan baku bekas sak semen. Tas tersebut dipercantik dengan syal yang sewarna baju batiknya dan tampak  pede mengikuti Seminar dan Lokakarya Peran Ibu di Era Digital yang diprakarsai ID Kita Kompasiana.

recycle bag dari bekas kemasan kopi (dok. Maria G Soemitro)


Ini sesuatu yang luar biasa. Umumnya ibu pejabat membeli atau bahkan memborong produk daur ulang di pameran yang diresmikannya kemudian seolah melupakan. Belum pernah sekalipun penulis melihat mereka menggunakan tas yang dibelinya, walau hanya sekali. Entah kemana tas dan produk recycle lainnya tersebut. Tentu saja itu hak mereka. Tetapi alangkah baiknya sebagai istri pemimpin, mereka tidak sekedar membeli.

recycle bag dari bekas minyak goreng (dok. Maria G Soemitro)


Dalam tulisannya, mbak Icoel menuturkan bahwa ibu Iriana diberi oleh ibu Veronica Basuki, istri wakil gubernur DKI Jakarta. Dan hebatnya tas tersebut ditenteng dalam pertemuan ibu-ibu pejabat nasional. Banyak manfaat yang didapat apabila seorang istri tokoh bersedia memakai tas daur ulang:
  • Produk daur ulang masih dianggap produk murahan, produk sampah yang tidak layak dijual dengan harga pantas. Calon konsumen tidak peduli bahwa produk daur ulang membutuhkan bahan pembantu mahal agar layak dijual. Pengerjaannyapun jauh lebih sulit daripada tas berbahan baku dalam bentuk lembaran. Sebagai contoh lebih sulit membuat baju bayi dari bekas daster sang ibu dibandingkan membuat baju bayi berbahan baku kain yang baru dibeli. Perlu kreativitas agar baju bayi tersebut tampak indah, perlu bahan pembantu seperti kain flannel, renda atau kancing berwarna-warni.

  • Konsumen lebih memilih tas branded imitasi daripada tas daur ulang karena lebih keren. Mungkin pengaruh infotainment dan sinetron dimana pemainnya berakting sambil membawa tas branded sehingga para pengagumnya ikut membeli walau bukan produk asli. Kondisi demikian dapat digunakan istri tokoh/tokoh perempuan yang memiliki banyak pendukung untuk berkampanye dengan tas daur ulang sehingga menjadi trend fashion baru. Pemakainyapun merasa keren karena tas yang disandangnya mirip tas istri gubernur/ tas tokoh perempuan tersebut.
  • Memicu para pengrajin untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk daur ulang agar produknya benar-benar layak pakai. Karena apabila diperhatikan tas ibu Iriana tidak sekedar tas sak semen. Bahan bakunya sudah dilaminasi, pegangan tas kuat sehingga tidak mudah jebol ketika sedang digunakan. Walau harus diakui, istri seorang gubernur tentunya tidak usah membawa bermacam-macam keperluan seperti ibu rumah tangga lainnya.

  • Sebagaimana diketahui, bahan baku tas daur ulang tidak diperuntukkan untuk tas yang berisi banyak barang. Terkecuali sak semen, umumnya bahan daur ulang berasal dari bekas kemasan plastik makanan. Seperti kemasan mie instan, cemilan, detergent dan lain-lain yang umumnya  berlapis alumunium agar isi produk tetap kering tapi berimbas sulitnya bekas kemasan tersebut didaur ulang. Selain sulit juga mahal sekali. Suatu perusahaan kopi terkenal pernah mengumpulkan bekas sachet produknya dan menyimpan sementara dalam gudangnya. Sayang, tidak melanjutkan lagi karena mengalami banyak kendala.
Tentu saja langkah seperti yang dicontohkan ibu Iriana cukup hingga regulasi diterapkan. Karena telah ada regulasi yang mengatur sampah anorganik dan ditetapkan tahun 2008. Regulasi yang menghabiskan anggaran milyaran untuk membuat  undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah (tingkat I dan tingkat II).

Langkah berikutnya adalah pelaksanaan di lapangan. Contoh produsen kopi diatas menunjukan bahwa pihak swasta/ produsen bersedia bertanggungjawab terhadap bekas kemasan produknya. Yang diperlukan kemudian adalah kemauan baik pemerintah untuk menggandeng pihak swasta lainnya sebagai pengumpul bekas kemasan tersebut dan mencari solusi recycle. Karena proses recycle bisa dilakukan usaha mikro kecil menengah (UMKM), bukankah dengan demikian berarti pak Jokowi menciptakan lapangan kerja baru bagi warganya?

**Maria G. Soemitro**



Dineke Stam pede dengan tas recyclenya (dok. Maria G.Soemitro)
Wrote by Maria G Soemitro


1350946281712044341
greenbag dan kantong plastik Carrefour
Kabar gembira bagi anda pelanggan setia Carrefour karena mulai tanggal 15 Oktober, Carrefour Indonesia mengajak peduli lingkungan dengan cara yang benar.  Kantong plastik tidak lagi digratiskan, tetapi harus dibeli. Kantong plastik dengan label degradasi bag ( dapat terurai dalam waktu dua tahun) dihargai Rp 200/kantong plastik ukuran kecil dan Rp 400/kantong ukuran besar.

Carrefour juga menyarankan pelanggan untuk membeli green bag ( kantong belanja yang dapat digunakan berulangkali lebih lama dari pada kantong plastik) seharga Rp 9.900/buah. Kebijakan tersebut diterapkan serentak di tujuh gerainya yaitu : Carrefour Lebak Bulus, Ambarukmo Yogya, Maguwo Yogya, Srondol Semarang, DP Mall Semarang, Citra Garden Medan dan Medan Fair.

Sebetulnya kebijakan Carrefour sudah didahului beberapa peritel seperti Lotte dan Makro. Tetapi nama Carrefour lebih “bergema” karena strategi pemasarannya yang cukup agresif dengan pemberian potongan harga dan pemasangan iklan secara periodik  di media mainstream.

Bagaimanapun kebijakan ini harus diapresiasi karena seperti yang dikatakan Asisten Deputi Urusan Pengendalian Sampah dan Limbah Domestik Kementerian Lingkungan Hidup, Sony Tribangun Laksono: “Supermarket/minimarket sudah dihimbau untuk tidak menyediakan kantong plastik dan menggantinya dengan kardus bekas. Sayangnya mereka enggan karena peritel kecil masih memberikan kantong plastik”.

Padahal data tahun 2008, sekitar 1 triliun kantong plastik digunakan oleh penduduk dunia dan membawa banyak dampak buruk, diantaranya :
  • Kantong plastik (terbuat dari polyethene/PE) baru bisa terdegradasi ratusan tahun lamanya.

  • Seharusnya dampak buruk bisa diminimalisir dengan menggunakannya berulang kali hingga sobek, tetapi kenyataannya kantong plastik hanya diperlakukan sekali pakai.

  • Kantong plastik sebagai tempat sampah mengakibatkan sampah organik sulit terurai, menimbulkan bau busuk dan gas methan. Adanya gas methan yang terakumulasi inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab longsornya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Leuwigajah dan mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia.

  • Kantong plastik yang berisi sampah ketika dibuang kealiran sungai dan bermuara di laut mengakibatkan matinya biota laut.
Lingkungan hidup dari hulu hingga hilir sudah demikian rusak oleh ulah manusia. Sehingga bukan waktunya mengeluh atau menuduh pemerintah tidak responsive, padahal sungai ditengah kota besar sudah separah ini:
13509463621848925960
sungai di tengah kota Bandung (dok. Yayasan Kontak)
Beberapa inisiatif pemilik toko layak diacungi jempol. Contohnya Satvika Bhoga di Sanur Denpasar Bali. Tanpa takut kehilangan pembeli, pemilik toko tidak menyediakan kantong plastik gratis. Setiap pelanggan yang memerlukan kantong plastik harus membayar Rp 2.000/lembar. Hasilnya 95 % pengunjung membawa membawa tasnya sendiri, walaupun ada saja yang bersedia atau mungkin juga terpaksa membeli kantong plastik.
13509464771367765229
poster
Bagaimana dengan pelaksanaan peraturan baru di Carrefour? Beberapa kawan di milis greenlifestyle menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Verena Puspawardani (WWF Indonesia) menceritakan pengalamannya ke Carrefour Lebak Bulus dan tidak melihat tumpukan kantong plastik yang biasanya tersedia di dekat kasir. Pembeli diajak untuk membeli reusable bag hijau (versi lama) seharga Rp 9.900 atau versi barunya yang lebih murah, berwarna merah, krem, biru seharga Rp 6.900. peraturan baru ini diumumkan lewat banner, announcement di TV dan pengeras suara dari customer service serta edaran yang dipegang staf mereka. Untuk pembelian dalam jumlah banyak, disediakan kardus atau menggunakan troli berisi belanjaan hingga kendaraan mereka.

Sedangkan Yodi yang kebetulan juga ke Carrefour Lebak Bulus melihat kasirnya mendapat omelan pelanggan. Beberapa pelanggan lainnya bermuka masam karena diharuskan membeli kantong plastik.

Lain lagi kisah Rani, dia berkesempatan belanja ke Carrefour BSD  dan melihat ibu-ibu memakai tas pakai ulang (reusable bag) berwarna hijau tetapi isinya adalah barang belanjaan dalam kantong plastik. Carrefour BSD memang tidak termasuk 7 gerai yang terkena kebijakan baru, tetapi niat pelanggan untuk membeli reusable bag seharusnya diapresiasi dan sudah sepatutnya mendapat “keadilan”.

Mengapa ? karena hukum  seharusnya berlaku bagi produsen sampah. Seseorang yang menghasilkan sampah lebih banyak, harus membayar lebih banyak pula dibandingkan yang sedikit nyampah-nya. Awalnya bisa dimulai dari kantong plastik. Seseorang yang terbiasa menggunakan kantong plastik dengan boros harus membayar lebih banyak. Dia harus merasakan akibatnya sejak dini karena umumnya tak seorangpun peduli kelanjutan kisah sampah yang sudah keluar dari pekarangan rumah.

Apakah akan mengakibatkan banjir, tercecer dijalan ketika diangkut tukang sampah atau menggunduk serampangan di TPA hingga menyebabkan longsor dan kematian pemulung. Tak ada yang hirau. ”Pokoknya rumah gue bersih. Titik”.
Demikian juga system persampahan per wilayah. Rumah tangga yang menghasilkan sampah banyak sudah seharusnya membayar lebih banyak pula untuk sampah yang dikeluarkan dari rumahnya. Hal ini memang domain pemerintah daerah termasuk mengelola pembuangan sampah berukuran besar seperti peralatan rumah tangga dan sampah B3 yang beresiko tinggi bagi kesehatan.

Kembali ke peraturan baru Carrefour, beberapa bulan silam penulis ke Carrefour Pekalongan. Usai berbelanja, karena sudah terbiasa penulis mengeluarkan reusable bag yang aslinya berbentuk tas lipat. Anehnya kasir bingung melihat tas tersebut, diselisiknya reusable bag sambil dibolak-balik. Mungkin dipikirnya “tas apa sih ini, kok jelek bener. Nggak ada harganya lagi”. Sesudah penulis menerangkan bahwa kegunaan tas tersebut sama dengan reusable bag bewarna hijau yang berjajar rapi didekatnya, barulah dia paham dan mulai memasukkan barang belanjaan kedalamnya.

Olala Carrefour, rupanya harus memberi pelatihan dulu pada jajaran staf dan karyawannya. Agar peduli lingkungan hidup dari hulu dilakukan juga oleh internal Carrefour, tidak sekedar kampanye. Karena biasanya kampanye tanpa mengerti esensinya hanya akan berumur pendek. Dan semua banner serta selebaran akan berubah menjadi tumpukan sampah. Bukti dosa ekologis Carrefour lainnya.

**Maria Hardayanto**

Sumber data:
  • Saving our planet

  • Satvika Bhoga

  • foto disini dan disini
13509465881338955575
beragam tas belanja (dok Maria Hardayanto)
Yang terpenting bukan jenis tas belanja (biobag atau bukan) tapi sejauh mana kepedulian kita untuk menggunakannya selama mungkin.
http://green.kompasiana.com/polusi/2012/10/23/akhirnya-carrefour-memulai-gebrakan/
Wrote by Maria G Soemitro


13473596371222678024
Pendapatan mereka untuk sesuap nasi hari ini (dok. Ira Oemar)

Pilkada DKI Jakarta diambang pintu, menyusul kemudian pilkada Jabar, pileg dan pilpres. Tanpa berfikir terlalu lamapun kita langsung membayangkan rangkaian kampanye yang itu-itu saja. Bak sinetron para kandidat mendatangi korban bencana alam, pesantren, seniman dan pasar tradisional. Dengan bualan yang sama: “Berjanji meningkatkan kesejahteraan pelaku pasar tradisional!”

Janji gombal karena tanpa langkah nyata.  Ajakan berbelanja ke pasar tradisional berlalu bagai angin surga. Revitalisasi pasar tidak pernah terealisasi. Andaikan terealisasi, maka biasanya  harga sewa kios pasar meroket tajam. Kemudian pedagang mencari solusi sendiri: “Menggelar dagangannya di trotoar pasar!”
Akibatnya bisa diduga, kios-kios pasar yang baru dibangun akan berubah menjadi kios “berhantu”, sedangkan trotoar yang seharusnya bersih berubah kumuh, kotor, becek, penuh sampah seperti foto berikut:

13473592431622407321
sampah pasar tradisional (dok. Ira Oemar)
Bahkan, pedagang makanan pun berjualan di sebelah tumpukan sampah. Ironisnya, pembeli pun tetap mau membeli dan makan di rombong makanan yang digelar di samping tumpukan sampah. Mungkin ini karena budaya kita terhadap nilai-nilai kebersihan belum begitu tertanam, jadi rasa jijik makan di samping tumpukan sampah tak menghalangi keinginan makan di tempat itu.
1347359344342406091
penjual bubur ayam disamping tumpukan sampah (dok. Ira Oemar)
Bayangkan, apa gak jijik berbelanja di pasar, sementara tumpukan sampah yang menunggu dibuang ada di tengah-tengah pasar. Tumpukan sampah aneka macam sisa dagangan basah, lengkap dengan kerumunan lalat terhampar di depan kios-kios pedagang seperti ini.
13473594881006967486
tumpukan sampah di area pasar (dok. Ira Oemar)
Padahal apabila pejabat terpilih amanah dan menepati janjinya maka revitalisasi terstruktur akan membantu pedagang tradisional meningkatkan pelayanannya. Karena sesuai kultur, masyarakat Indonesia sebetulnya senang berbelanja di pasar tradisonal.
Masyarakat Indonesia yang dimaksud adalah pembeli lintas ekonomi. Si kaya dan si miskin. Mereka senang berbelanja ditempat yang penuh keakraban. 

Di pasar tradisonal, pembeli bisa menawar, bercanda dan meminta tambah. Ketika hampir usai berbelanja, apabila pembeli tiba-tiba teringat harus membeli daun bawang dan seledri. Maka dengan nada merayu bisa meminta pedagang sayur:

“Bu, tambah bawang daun seledri dong untuk bonus”

Bukan masalah nilai bawang daun /seledri seharga Rp 500 – Rp 1.000, tapi nilai  hubungan cair yang terjalin antara  pedagang dan pembeli di pasar tradisional tidak dapat diketemukan di pasar swalayan. Coba saja minta bawang daun/seledri pada pegawai supermarket. Bisa-bisa dikira “wong kenthir” (orang gila;pen)

Agar hubungan cair terjaga, pemerintah daerah selaku pelayan masyarakat seharusnya memperhatikan beberapa hal berikut ketika merevitalisasi pasar :
  1. Secara periodik diadakan tera ulang gratis pada semua timbangan pedagang. Agar pembeli semakin nyaman berbelanja. Beberapa timbangan yang tidak akurat hanya dikerjakan beberapa oknum. Tidak bisa disama ratakan.

  2. Jangan menetapkan harga sewa kios yang tak terjangkau. Masa sih enggan meningkatkan kesejahteraan pedagang kecil yang telah menghabiskan waktu hampir 18 jam perhari di pasar?. Daripada dana hibah habis untuk keroyokan tidak jelas, apa salahnya  digunakan untuk membangun kios pasar?

  3. Memfasilitasi tim kerja  professional yang bertanggung jawab terhadap operasional pasar. Kota Bandung membentuk Perusahaan Daerah (PD) Pasar dengan tujuan serupa, Tetapi mungkin karena terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) yang notabene tidak terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) maka hasilnya “memble”. Mereka lebih senang duduk-duduk dibelakang meja daripada mengkoordinir pedagang pasar. Satu unit kerja independen akan lebih efektif. Untuk sementara mereka bisa mendapat tunjangan pemerintah sebelum akhirnya mampu  berdiri sendiri karena memperoleh pendapatan dari pedagang kios dan hasil olah sampah.

  4. Pembagian kios pasar berdasarkan  sampah yang dihasilkan. Misalnya kios buah dan sayuran satu barisan tersendiri karena sampah yang dihasilkan adalah sampah organik. Sedangkan kios kelontong dan berbagai bahan makanan kering biasanya menghasilkan sampah anorganik. Sampah anorganik akan menberikan penghasilan bagi tim independen tersebut demikian juga sampah organik. Sampah organik yang langsung dikompos di area pasar  memiliki banyak keuntungan:  efektif dan efisiensi waktu, area pasar menjadi bersih karena sampah segera ditangani. Pembeli dan pedagang merasa nyaman. Perubahan lifestylepun terbentuk.
1347360621990764900
pasar bersih bukan impian (dok. Maria Hardayanto)
Los pasar untuk daging dan ikanpun bisa terpisah dalam bentuk seperti ini :
1347360550638682013
los daging dan ikan (dok. Maria G. Soemitro)

Nyaman bukan? Mengurangi serbuan lalat dari arah los daging dan ikan ke arah los buah-buahan dan barang dagangan lainnya seperti tahu dan kelapa parut.
13473607321395441875
komposter di area pasar (dok. Maria G. Soemitro)
Solidaritas sosial terjalin, perekonomian meningkat hanyalah salah dua dari keuntungan adanya pasar tradisional. Jadi mengapa revitalisasi pasar dikerjakan setengah hati? 
Mengapa kepala daerah seolah tega melihat rakyatnya hidup berkubang sampah yang bau, kotor dan menjijikkan. Atau jangan-jangan memang tidak ada niatan para kepala daerah untuk mengangkat mereka agar hidup lebih sejahtera?

Jangan-jangan kesengsaraan dan ketidak berdayaan diperlukan untuk ditengok setiap 5 tahun sekali?

Atau jangan-jangan kita sedang memilih penguasa bukan memilih pemimpin?

Ah masak sih?
Hasil Kolaborasi Maria G. Soemitro dan Ira Oemar
untuk Weekly Photography Challenge 21

Foto sampah pasar by Ira Oemar  : Pasar Kranggot Kota Cilegon, diambil pagi hari ketika pasar sedang ramai pembeli dan pedagang.
Foto pasar bersih by Maria G. Soemitro : Pasar Podosugih Kota Pekalongan, diambil siang hari tatkala pasar mulai sepi dan lantai dipel kembali.
Wrote by Maria G Soemitro












Gambar di atas adalah foto kawat penghubung antar kios di belakang pasar Cihaurgeulis Kota Bandung. Dipenuhi lalat, menunjukkan betapa kumuh dan joroknya pasar yang berjarak sekitar 1 km dari Gedung Sate, Pusat Pemerintahan Provinsi Jawa-Barat. Tidak hanya lalat beterbangan, belatung mengintai dari tumpukan sampah pasar dan serakan sampah memenuhi bagian belakang pasar hingga trotoar.


sampah di trotoar sampah
Pembangunan PLTSa sebetulnya hanya teknis pengolahan sampah. Semua cara pengolahan sampah adalah baik apabila dikerjakan dengan benar dan disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis kota tersebut.

Sangatlah keliru apabila berpikir bahwa uang akan menyelesaikan segalanya. Mengapa uang proyek yang digelontorkan dari APBD tidak digunakan untuk sosialisasi berupa pelatihan-pelatihan pengelolaan sampah dan penyediaan sarana? Pengelolaan sampah harus dimulai di tingkat hulu, awal sampah berasal. Pembenahan sistem juga diperlukan agar lifestyle penduduk berubah. Sarana  disediakan sehingga tidak ada sampah seenaknya dibuang seperti ini:
13392781571547642378
sampah kemasan di jalan Dago
Atau ada yang membuang bekas kotak rokok:
13392769171322277332
sampah di jalan Dago
Pemulung yang kebetulan lewat jalan Dago Kota Bandung mungkin akan memungut sampah jenis ini:
13392769891807005297
sampah kemasan di jalan Dago
Tapi yang jelas, sampah berlapis alumunium akan terlewat begitu saja:
13392770761999355319
sampah kemasan di jalan Dago (dok. Maria Hardayanto)
atau sampah seperti ini :
13392771781339831823
sampah kemasan di jalan Dago
Hingga berakhir di saluran air:
1339277382289864437
sampah di saluran air
Atau dibakar secara perseorangan:
1339277454660154814
membangkar sampah
Ada juga yang membuat seremoni “aneh”, karena topi organis yang manis berubah menjadi topi sampah sesudah dipasang bekas kemasan plastik. Umurnyapun dipastikan hanya selama seremoni berlangsung. Sesudah itu? Ya nyampahlah …….
13392775761851397865
sampah sebagai penghias caping warga, tanya: kenapa?
Kota Bandung sebetulnya sudah mengeluarkan peraturan daerah nomor 09 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah. Sayangnya penitik beratan tugas masih berada dipundak PD Kebersihan. Aneh memang, mengingat seharusnya ada pemerataan tugas dan kewajiban antara pemerintah , perumahan, kantor dan pihak swasta (produsen). Tanpa pembagian tugas dan sanksi yang jelas serta pelaksanaan sungguh-sungguh maka kota yang bersih dan mendukung kualitas hidup warganya , hanya sekedar angan.Penghargaan Adipura hanya mimpi belaka.
Bandung Lautan Sampah jilid 2 ditahun 2013 adalah keniscayaan. Apabila sebagaibangsa, kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan. Raihan Adipura hanyalah targetdemi sekedar menaikkan gengsi semata. Seberapapun banyaknya uang digelontorkan untuk “membeli” Adipura tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan sampah. Sesederhana itu kok sebetulnya …….. ^_^
**Maria G. Soemitro*
*
Wrote by Maria G Soemitro

1338880328664728491
Jejaring pembuatan bekas kemasan plastik: Pengumpulan, Pemisahan, Pelatihan hingga Pameran yang dikunjungi Menteri Lingkungan Hidup. (dok. Maria G. Soemitro)

“Bisa diekspor!”
“Pahlawan lingkungan yang kreatif”
Kalimat-kalimat di atas mungkin sering kita dengar dan baca di media mainstream sehubungan limbah kemasan plastik yang kini marak dikreasikan ibu-ibu rumah tangga. Mereka dianggap telah melestarikan lingkungan dengan kiprahnya. Tulisan penulis terbarupun menyolek kisah bekas kemasan plastik ini, yaitu : “Perempuan dan Sosial Entrepreneurship” serta “Yani dan Erna, Dua Pelatih Handal Penyandang Disabilitas”.

Apabila kedua tulisan tersebut dibaca dengan seksama dapat disimpulkan bahwa tidak ada aksi heroik disitu. Yang ada adalah gerakan perubahan lifestyle sehinggabekas kemasan tidak dinamakan limbah oleh pelatih dan anggota komunitas karena selain bisa digunakan lagi, bekas kemasan diperlakukan dengan apik dalam wadah terpisah. Tidak tercampur sampah organik yang menimbulkan bau tak sedap.
Para ibu rumah tangga “terpaksa” mengambil alih tanggung jawab produsen penghasil bekas kemasan plastik yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai pasal 15 Undang-Undang no 18 tahun 2008, yaitu :
“Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.
Dikatakan “terpaksa” karena pengelolaan bekas kemasan plastik tidaklah mudah. Membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sering diluar kemampuan pembuat kerajinan plastik. Untuk memperjelas, penulis membagi bekas kemasan menjadi 3 macam:
  1. Bekas kemasan plastik berbagai ukuran. Biasanya dipungut pemulung/ tukang rongsok karena mudah dijual misalnya bekas tempat shampoo, sabun, kosmetik dan pewangi. Sedangkan ukuran sachetnya tidak diutak-utik mungkin malas mengurusi sampah yang kecil dan kotor. Proses membersihkan sampah sachet tidak sepadan dengan harganya. Bekas kemasan bewarna-warni ini diolah menjadi biji plastik bermutu rendah untuk kemudian diproses lagi menjadi kantung plastik hitam dan sedotan warna-warni yang murah harganya.

  2. Kemasan plastik tebal bekas minyak goreng, saus, kecap, margarine dan lain lain yang umumnya tebal dan sulit dibersihkan sehingga berakhir di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) atau sungai. Serupa dengan nomor (1), bekas kemasan plastik ini sesungguhnya masih bisa direcycle tapi umumnya pemulung memilih mengumpulkan sampah kantung plastik (keresek) di TPA karena harganya relative lebih tinggi daripada sampah kemasan plastik. Selain itu tidak semua pengepul menerima. Penyebabnya simple banget, berhubungan dengan produsen pengolah sampah plastik yang ogah menerima karena dia harus membayar pegawai untuk membersihkannya. Bisa dibayangkan berapa lama seorang pegawai harus membersihkan sampah bekas kemasan kecap atau margarine yang berlepotan dan bau?! Please deh……… lingkaran pemulung, pengepul dan produsen plastik adalah lingkaran bisnis yang mengutamakan keuntungan …….mereka jelas nggak mau rugi dan nggak peduli urusan lingkungan. Lha wong pembuat masalah sampah adalahprodusen dan konsumen, bukan mereka. Pemikiran yang logis bukan?

  3. Bekas kemasan plastik berlapis alumunium. Jenis kemasan ini banyak sekali dipakai produsen untuk menjamin produknya tetap kering. Misalnya camilan/snack berbagai merk, kopi (ragamnya banyak sekali) dan detergent. Bekas kemasan plastic berlapis alumunium sangat “jahat” karena biaya recyclenya amat sangat mahal. Bahkan produsen kemasan antiseptic bermerk Tetrapak, memilih merecycle menjadi atap warna warni daripada memisahkan unsur alumunium dengan plastiknya. Sebagaimana diketahui perusahaan Tetrapak adalah perusahaan internasional yang menguasai pangsa pasar kemasan antiseptik terbesar di Indonesia dan selama ini konsisten menjalankan kewajibannya menampung bekas kemasannya untuk kemudian diproses menjadi produk baru (lihat: Atap Bergaransi Seumur Hidup) Bekas Kemasan Plastik inilah yang biasanya dikreasikan ibu-ibu rumah tangga karena tidak ada pihak yang bersedia merecycle.
Jadi gimana dong? Kita kan tetap memerlukan produk-produk berkemasan plastic. Ada beberapa kiat yang penulis rangkum dari “wikipedia zero waste” ^_^, ini dia:
  1. Sebelum membeli produk berkemasan plastik, cobalah tanyakan pada diri sendiri: “Apakah produk ini memang kita butuhkan?” “Adakah produk lain yang tidak berkemasan?” “Apakah bekas kemasannya bisa didaurulang?” Sebagai contoh santan dalam kemasan antiseptik, bukankah kita bisa membeli butiran kelapa utuh atau yang telah diparut di pasar? Lebih murah, lebih segar, lebih enak santannya serta tidak menimbulkan sampah kemasan plastik. Bekas parutannyapun dapat menjadi kompos yang berguna bagi tanaman.

  2. Pilihlah kemasan beling/kaca daripada kemasan plastik. Waktu urai kaca memang cukup lama (1 juta tahun), tapi sampahnya berpeluang besar untuk di-reuse. Baik digunakan kembali oleh produsennya maupun sebagai bahan baku gelas yang artistik, bahkan pecahan gelaspun bisa disulap menjadi aneka kerajinan.

  3. Pilihlah produk berkemasan besar. Pernahkah mencoba membandingkan harga produk (misalnya shampoo) dalam kemasan besar dengan harga per sachet. Ada beberapa item dimana harga produk berukuran besar lebih murah tetapi ada juga beberapa yang hampir sama dengan produk kemasan sachet. Sebetulnya itu hanyalah kelihaian produsen memasarkan barang. Kitalah yang harus cerdas memilih mengingat kemasan sachet sangat kecil kemungkinannya direcycle sehingga akan menambah dosa ekologis kita. Coba deh hitung, misalnya kita memulai keramas dengan shampoo dalam kemasan sachet sejak usia 15 tahun hingga berumur 70 tahun, setiap minggu kita 3 x cuci rambut maka dalam setahun akan ada 156 pcs sampah sachet. Sedangkan ketika menutup mata untuk selamanya, kita akan mewariskan sampah sachet sebanyak: 55 x 156 pcs = 8.580 pcs. Belum termasuk sampah kemasan lainnya yang jumlahnya pasti buanyakkkkkk sekali dan baru akan hancur ribuan tahun kemudian.Bayangkan satu lapangan sepak bola yang berisi sampah bekas kemasan plastik kita!!

  4. Apabila kita mau menelisik lebih dalam, pembelian barang dalam kemasan sebetulnya bisa diminimalisir. Bukankah cemilan dalam kemasan sebetulnya hanya “sampah” belaka? Kacang tanah dan kacang bogor yang kita kukus lebih menyehatkan dan enak dibandingkan kacang tanah dalam kemasan apalagicemilan jadi-jadian yang hanya sekedar “menggelembungkan” tepung terigu dan menambah perasa dengan embel-embel sudah diberi tambahan vitamin. Mengapa tidak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran saja? Lebih jelas kandungan vitamin dan mineralnya. Lebih karuan manfaatnya. Bahkan susu dalam kemasanpun sebetulnya hanya akal-akalan produsen. (Silakan baca: Susu Penyebab Penyakit Jantung Koroner)

  5. Jika tidak terhindarkan, guntinglah dengan benar, jangan asal sobek dan disimpan dengan apik agar tidak memakan tempat. Oh iya jangan lupa, bagian dalam kemasam harus disiram air panas/air sabun agar sisa-sisa isi kemasan terbuang. Karena pengelolaan bekas kemasan yang apik selain membantu meringkas penyimpanan juga tidak akan menimbulkan bau tak sedap walaupundisimpan selama berbulan-bulan. Kemudian carilah sentra-sentra pendaur-ulang bekas kemasan plastik untuk disetorkan.

  6. Ingin membuat lomba daur ulang bekas kemasan sebagai ajang Lomba 17 Agustus-an, Lomba hari Lingkungan Hidup, Lomba Hari Bumi atau sekedar ingin berkreativitas? Tekankan pada kegunaan dan lamanya produk recycle tersebut digunakan. Coret saja hasil remeh temeh seperti baju recycle atau rumbai-rumbai bekas kemasan plastik karena seusai perlombaan bisa dipastikan semuanya akan menghuni tong sampah. Tentu saja hal ini berbeda dengan kostumbeberapa peserta laga Piala Dunia yang menggunakan jersey “ramah lingkungan” , hasil recycle 13juta sampah botol plastik yang diolah menjadi polyester . Karena selain botol plastik tidak mengandung alumunium, tidak belepotan sisa makanan juga biaya pembuatannya ……….hmmm tinggi buangettt…………
13388810421371765644
kecuali sampah kertas plastik sabun mandi, berbagai bekas kemasan plastik ini dapat direcycle (dok. Maria Hardayanto)
1338881237267512526
bahan baku beraneka ragam sampah plastik dari TPA menghasilkan kerek dan sedotan murah (dok. Maria Hardayanto)

Tanggung jawab produsen terhadap bekas kemasan plastik dirasakan mutlak dan tidak bisa ditunda karena selain tingginya ongkos recycle juga  ada banyak kondisi miris yang disebabkan bekas kemasan, antara lain:
  • Sering terjadi “kecelakaan” di sentra pembuatan kerajinan bekas kemasan plastik. Salah satu contohnya ketika seorang “pakar” pembuat kerajinan di jalan Taman Sari Bandung mendapat pesanan tas bekas kemasan plastik dari seorang ekspatriat. Sayangnya dia tidak membuat jejaring untuk mengumpulkan bekas kemasan plastik seperti yang dilakukan penulis yaitu menampung dari ibu-ibu pengajian dan anak-anak sekolah. Sehingga tanpa berpikir panjang dia membeli sekitar 16 buah refill pewangi ukuran 900 ml, menuangkan isinya kedalam ember dan menjahit bekas kemasan plastiknya. Bagaimana nasib ribuan ml refill pewangi? Terpakai sedikit , sisanya dibuang karena wangi dan tekstur cairan pewangi telah berubah. Sang pakar telah salah mengartikan recycle bekas kemasan plastik. Maklum, orientasinya bisnis bukan pelestarian lingkungan hidup.
  • Yang lebih menyedihkan adalah apabila bekas kemasan plastik berakhir di TPA atau di sungai dan dimakan binatang. Binatang  besar (misalnya sapi) maupun kecil ( burung dan invertebrata). Binatang besar akan mengeluarkan sampah plastik bersamaan dengan kotorannya. Sedangkan binatang yang lebih kecil akan mati, tetapi fisik sang plastik tetap, tidak hancur. Hal ini berkaitan dengan hukum kekekalan materi dimana bekas kemasan plastik tidak akan berubah kecuali kita bakar. Dan ketika membakar sampah, biasanya kita membakarsampah lainnya juga. Sehingga racun dioksin dan furan akan melayang-layang terhisap siapapun. Menebarkan aroma bencana baru yaitu gangguan kesehatan mulai dari kanker hingga kematian.
Banyak pertimbangan seseorang membeli produk dalam kemasan kecil. Diantaranya karena praktis. Penjual minuman kopi dan minuman 3 in 1 menyukai produk kemasan ini karena mudah menghitung harga jualnya. Tetapi ……………..sesudah memahami njlimetnya masalah sampah bekas kemasan plastik ini, apakah kita akan tetap semena-mena membeli dan membuangnya? Semuanya tentu terserah kita, yang memiliki uang untuk membeli produk berkemasan plastik sekaligus menanggung dosa ekologisnya. Setuju? ^_^
**Maria G. Soemitro**
Sumber data:
  • Kompas.com
  • http://repository.ipb.ac.id/
  • Kompasiana.com
13388814241956720275
Yayasan Kontak (sub perusahaan Tetrapak) mengumpulkan kemasan dalam wadah khusus, mengolahnya menjadi atap bergaransi seumur hidup (kiri atas) dok. Yayasan Kontak

Wrote by Maria G Soemitro

“Yurrrr…… sayur bu ………sayurrrrr……”.

Suara pedagang sayur memecah keheningan kompleks, membuat saya bergegas  mematikan kompor dan keluar rumah. Hari ini harus masak karena kemarin si bungsu mengeluh bosan  dengan lauk-pauk yang tersaji di meja makan. Penyebabnya mungkin akhir-akhir ini saya sering membeli makanan matang, demi kepraktisan.

Pedagang sayur yang semanis gula jawa, rupanya sudah berhenti di depan rumah ibu Selsa, tetangga samping rumah. Seperti biasa ibu Selsa selalu membawa wadah sendiri untuk berbelanja. Tidak mau menerima kantung plastik (keresek). “Ah, kantung plastik sesampainya  di rumah biasanya langsung dibuang. Karena mau disimpan, menuh-menuhin rumah. Tapi kalau langsung dibuang, nambahin sampah kota, baunya itu lhoo……”, kata bu Selsa.
1347797671568324453
wadah belanja, mengurangi keresek (dok. Maria Hardayanto)
Upz, saya lupa…………….segera saya masuk ke dalam kembali untuk mengambil wadah belanjaan.  Barang  yang terlihat dan terdekat adalah panci kosong bekas merebus air, maka jadilah sang panci saya bawa untuk emm…………, belanja apa ya?

“Pagi bu Selsa, belanja apa nih? Saya bingung, mau masak yang mudah aja untuk anak-anak.  Punya ide bu? Setiap melihat barang dagangannya bu Nani ini saya selalu bingung. Semua pingin tapi ngga nyambung”.

“Sayur lodeh dengan bacem tempe gimana? Cepat kan, paling lama hanya sejam”.
“Oiya, saya punya bumbu dan santan instan untuk sayur lodeh. Boleh juga idenya, mbak Selsa”.
“Wah saya nggak pernah menggunakan bumbu dan santan instan bu Maria. Perasaan lebih enak bumbu buatan sendiri deh. Aman lagi, kita nggak tahu yang serba instant mengandung zat pengawet nggaknya. Membuat bumbu sendiri nggak nyampah, harganya juga lebih murah kan?”.

Sejenak saya termangu mendengar ucapan mbak Selsa. Duh iya yah…………Selain lebih mahal, tidak ada jaminan bumbu instan menggunakan bahan segar dan tanpa zat pengawet. 

Juga bekas kemasan bumbu instan yang pastinya akan menimbulkan sampah sulit terurai.  Apabila 30 juta ibu rumah tangga di Indonesia menggunakan bahan instan setiap harinya maka berapa jumlah sampah yang terkumpul?  Sebaliknya  bahan makanan berkemasan dihindari,  berapa timbulan sampah yang bisa dikurangi?
1347805901457892004
bumbu asli vs bumbu instant (dok. Maria Hardayanto)
Sampah bekas kemasan bahan masakanpun umumnya tidak dapat direcycle. Penanganan pasca dibuang ke TPS menjadi sulit karena sisanya mencemari bekas kemasan lainnya. Juga mudah bau. Akibatnya berantai, pengepul malas mengurusi sampah seperti ini. Produsen pembuat biji plastik enggan karena biaya produksi tidak seimbang dengan harga jual biji plastik kemasan bekas.

“Minta resep sayur lodehnya dong mbak Selsa. Sewaktu arisan kemarin, sayur lodehnya buatan mbak Selsa kan? Ajarin dong ……”, rayu saya. Karena sayur lodeh mbak Selsa benar-benar enak. Setiap pertemuan dengan agenda makan-makan, mbak Selsa selalu didaulat untuk memasak. Rahasianya mungkin karena selalu menggunakan bahan dan bumbu segar, bukan instan.

“Lho sama dengan yang lain. Tapi kalau penasaran yuk kita masak bareng. Di rumah saya atau di rumah ibu Maria?”.
“Podo wae (sama saja) mbak. Tapi kayanya di rumah mbak Selsa aja deh.Persediaan bumbu ditempat saya nggak komplit. Kan biasanya pakai bumbu instan”, jawab saya seraya menyeringai tanda berbuat salah.

Siang itu pun kami masak bareng. Bu Selsa menunjukkan bumbu-bumbu sayur lodeh, yaitu bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, kencur :
1347798059612082127
bumbu sayur lodeh (dok. Selsa Rengganis)
Juga sayuran yang diperlukan: kacang panjang, terong, labu siam,
13477982421834997120
bahan baku sayur lodeh (dok. Selsa Rengganis)
Seperti biasa kami meracik bumbu, menggongsonya (menumis) agar harum dan tidak berbau mentah kemudian memasukkan air.  Satu persatu sayuran masuk dan yang terakhir santan hasil memarut yang ternyata tidak lama.

Hasilnya?  


Mmmm………harummmmm. Rasanya benar-benar top markotop. Sayang sayur lodeh saya belum jadi. Bedanya saya memasukkan tahu kuning ke sayur lodeh karena keluarga saya sangat menyukai tahu.

Tapi yang terpenting, hari ini saya sudah mengurangi sampah. Khususnya sampah anorganik karena sampah organik mudah terurai di tanah. Tapi sampah anorganik seperti bekas kemasan bisa dipastikan hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan baru terurai ratusan tahun kemudian. Wah, warisan untuk anak cucu dong?

Pasti anak cucu kita akan ngomel: “Warisan kok sampah!” :P

Hasil Kolaborasi Maria G. Soemitro dan Selsa Rengganis
untuk Weekly Photo Challenge: Foto Kolaborasi
Wrote by Maria G Soemitro


1298358240281446269
Ilustrasi/Admin (shutterstock)
Ratusan ribu komputer usang dan ponsel dibuang begitu saja di TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) diseluruh dunia, sebagian lain  dibakar di insinerator atau diproses ulang di pabrik tembaga.

Data produsen elektronik mengungkapkan bahwa angka daur ulang mereka sangat rendah. Para produsen perangkat keras computer (PC) hanya melakukan  8,8 - 12,4 persen daur ulang. Sedangkan tingkat daur ulang produsen ponsel lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 2 - 3 persen.

Sebetulnya berapa banyak sampah elektronik (e-wastes) kita ?
Berdasarkan data UNEP, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan, sampah elektronik meningkat sebanyak 40 juta ton per tahun. Diantaranya adalah sampah komputer bekas  yang  melonjak dibandingkan tahun 2007  dari 200 persen ke 400 persen di Afrika Selatan dan Cina, bahkan di India melambung hingga 500 persen.

UNEP juga mencatat bahwa Amerika Serikat adalah produsen limbah elektronik terbanyak mencapai 3 juta ton. Sedangkan posisi kedua diduduki Cina dengan jumlah 2,3 juta ton.

Studi yang dipublikasikan Jurnal Lingkungan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebutkan setiap tahunnya negara berkembang membuang 200 - 300 juta sampah  perangkat komputer . Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga mencapai angka 400 - 700 juta sampah komputer pada tahun 2030. Penyebabnya adalah meningkatnya kepemillikan komputer dan peralatan elektronik lainnya. Pada saat yang sama, penemuan-penemuan baru di bidang teknologi terus berkembang, membuat masyarakat ingin memilikinya dan menyingkirkan barang elektronik yang masih dapat digunakan.

Padahal sebagaimana kita ketahui, semua barang elektronik diproduksi dengan design for obselency or design for the dump atau dirancang untuk segera usang lalu dibuang. Material yang digunakanpun  sebagian besar berbahaya  (tantalum=blood mineral), terbuat dari bahan tahan api (BFR), anti lengket  yang karsinogenik  dan ditambang dari tempat-tempat sensitif dan rawan konflik. Untuk memisah-misahkannnyapun dibutuhkan bahan kimia tertentu.

Menurut Advisor Bali Fokus dan Koordinator Indonesia Toxics-Free Network,  Yuyun Ismawati , Indonesia mengimpor beberapa komponen elektronik bekas dari luar negeri (terutama Amerika Serikat) untuk dirakit menjadi produk baru lalu di ekspor. Padahal dalam Basel Convention, komponen bekas ( e-waste ) yang dikirim ke Indonesia itu termasuk dalam “daftar barang haram”.  Amerika Serikat memang  bukan peserta  Konvensi Basel sehingga” merasa tidak bersalah “, sedangkan walaupun Indonesia adalah peserta Konvensi Basel, tidak bisa menolak dengan alasan economic development.

Pabrik-pabrik perakit barang elektronik yang menggunakan e-wastes sebagai raw material dari produk rakitan mereka, terdapat di Batam, Semarang dan Surabaya. Mulai dari televisi, AC, dan mesin cuci kita terlibat dalam ekspor dan impor.
Lebih jauh Yuyun Ismawati mengungkapkan, masalah yang masih sering diperdebatkan dalam e-waste (sampah elektronik) adalah kapan suatu produk disebut sebagai sampah dan kapan disebut sebagai komoditi. Negara pengirim (eksportir)  mempunyai bargaining  power lebih besar dalam menyatakan sampah yang dikirim sebagai komoditi meskipun dalam peraturan mereka dan konvensi yang berlaku barang tersebut adalah e-wastes.

Seharusnya pihak pabean dan Kementerian Lingkungan Hidup  peduli, sensitif dan tanggap sehingga barang bermasalah (e-wastes) tersebut dicegat di pelabuhan dan langsung dikembalikan ke Negara asal. Menurut data UNEP 2005, tiap tahunnya produk elektronik yang terbuat dari e-wastes mencapai angka 20 - 50 juta ton di seluruh dunia.

Sebetulnya Konvensi Basel, sebuah konvensi prakarsa PBB diselenggarakan  di Basel, Switzerland  pada akhir tahun 1980 sudah merancang regulasi mengenai pengetatan pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup. Pada saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel berjumlah 172 negara peserta  dan  membentuk  The Conference of the Parties disingkat COP ,  diketuai Gusti Muhammad Hatta ,  Menteri Lingkungan Hidup RI sebagai Presiden COP 9 hingga 2011.

Konvensi ini dilakukan karena semakin mahalnya biaya pengolahan sampah elektronik yang dihasilkan industry negara-negara maju  sehingga berdampak pada pencarian solusi biaya murah dengan menjadikan sampah elektronik sebagai sumber nafkah negara-negara miskin melalui perdagangan/pembuangan limbah berbahaya beserta turunannya.

Gusti Muhammad Hatta sebagai Presiden COP 9 Konvensi Basel mengharapkan terjadinya keseimbangan tanggung  jawab dengan porsi berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Mengingat Indonesia mempunyai sekitar 20.000 titik rawan penyelundupan yaitu pelabuhan-pelabuhan yang sangat rawan dijadikan tempat pembuangan limbah elektronika ataupun limbah  berbahaya lain dari negara-negara maju.

Suatu keniscayaan  menjadikan Indonesia sebagai  tempat sampah negara-negara maju seperti yang dialami negara berkembang lainnya. Kita hanya dapat berharap kebijaksanaan pemerintah yang tidak sekedar bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan banyak hal , khususnya lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Sedangkan sebagai individu, Yuyun Ismawati menyarankan perubahan kesadaran individu. Dengan merubah lifestyle , misalnya jangan mengganti-ganti gadget hanya karena bosan. Laporan Apple terbaru di China pembuatan ponsel dikerjakan oleh forced labor dan child labor (buruh anak) hingga ada kasus buruh pabrik elektronik yang bunuh diri karena stress berat.
Jadi, yang punya gadget mohon bisa diapik-apik  ya ……

Solusi pembuangan sampah elektronik di Indonesia memang belum jelas. Walaupun hukum yang mengatur pengelolaan sampah  sudah lama terbit, yaitu Undang-undang no. 18 tahun 2008 yang dengan jelas menyebutkan :

Pasal 15 :
Produsen wajib mengelola kemasan dan /atau baarng yang diproduksinya  yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Dan pasal 23 :
(1)  Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab  Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Yang dimaksud sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan / atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus (Pasal 1.2)Masalahnya Kementerian Lingkungan Hidup belum membuat  peraturan pemerintah yang akan memandu kerja pihak pengelola sampah elektronik. Padahal minimal tahun 2009 peraturan pemerintah tersebut sudah terbit. Jadi bagaimana kita bisa berharap pada instansi dibawahnya yaitu BPLHD dan BPLH kota ?

Gusti Muhammad Hatta berkelit bahwa walaupun PP belum dibuat, tetapi BPLHD dan BPLH Kota dapat membuat Perda (Peraturan Daerah) karena  berbekal “semangat otonomi daerah.”
Tapi kembali kita harus kecewa, karena BPLHD dan BPLH Kota enggan membuat Perda yang ditakutkan akan bertabrakan isinya dengan PP (Peraturan Pemerintah).  Padahal sebagaimana kita ketahui pembuatan Perda memerlukan biaya milyaran rupiah.
Jadi bagaimana dong ?

Cara termudah membuang sampah elektronik  di Indonesia adalah menjual/memberikan ke pemulung yang akan memretelinya.
Ada solusi lain yaitu  mengembalikan ke produsennya melalui perwakilan-perwakilan mereka. Yuyun Ismawati pernah melakukan dan menanyakan proses pembuangannya pada outlet Nokia Denpasar Bali. Apa kata mereka ? Ternyata sampah tersebut tetaplah diangkut oleh tukang sampah !

Hmmm……  apa dan bagaimanapun kontroversi yang menyertai, kita sebagai konsumen memang tidak punya banyak pilihan. Kerjakan saja  sesuai kemampuan kita.

113 Setuju ?
Wrote by Maria G Soemitro
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




LATEST POSTS

  • Rumah Kompos Di Antapani
    Rumah Kompos Bina Usaha Sejahtera (dok Maria G. Soemitro) Tulisan ini merupakan sequel dari dari : “Sekali Tepuk Dua Tempat” ...
  • 5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan
           5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan “Say no to Plastics” Demikian bunyi  banner yang kerap bersliweran di ha...
  • Stop Tayangan OVJ, atau Ganti Property !
    Anak anak tertawa Ibu ibu tertawa Para bapak juga tertawa Gara gara aksi Sule, Azis, Nunung, Andre dan Parto Bercanda...
  • Belajar Dari Pak Herry, Newbie di Persampahan
      lapak pak Herry Manisnya   bisnis persampahan nampaknya menarik minat pak Herry 3 tahun silam. Sebagai newbie, dia tak segan-...
  • Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu
    “Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah” Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau si...
  • International Plastic Bag Free Day, Emang Gue Pikirin........ ??
    Maukah Anda Berdiet Kantung Plastik? Hari Bebas Kantung Plastik Sedunia tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal  3 Juli 2011 . Tah...
  • Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro) Yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan disini t...
  • Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities
    source:abnamro.com Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di A...
  • Kisah Absurd Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    kantung plastik ramah lingkungan (dok. Maria Hardayanto) “Hai air, jangan banjir dulu ya………. Aku belum hancur nih. Waktu ur...
  • Kesejahteraan Pemulung Yang Terabaikan
    dok. Yayasan Kontak Indonesia Pemulung dinobatkan sebagai pahlawan lingkungan? Sudah sangat sering didengungkan. Khususnya karena...

Advertisement

Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
Maria G Soemitro
Lihat profil lengkapku

Waspada, Gagal Paham Ecobrick!

   sumber: azocleantech.com   Waspada, Gagal Paham Ecobrick! Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengiri...

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 22 (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 28 (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 28 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 10 (1)
  • ►  2018 (2)
    • ►  April (2)
      • ►  Apr 18 (1)
      • ►  Apr 09 (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (2)
      • ►  Nov 23 (1)
      • ►  Nov 17 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 19 (1)
    • ►  Mei (3)
      • ►  Mei 20 (1)
      • ►  Mei 11 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Oktober (4)
      • ►  Okt 09 (4)
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 25 (2)
  • ►  2015 (61)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 14 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
    • ►  Agustus (8)
      • ►  Agu 18 (1)
      • ►  Agu 11 (2)
      • ►  Agu 09 (2)
      • ►  Agu 02 (1)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (16)
      • ►  Jul 31 (1)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 25 (1)
      • ►  Jul 19 (3)
      • ►  Jul 18 (2)
      • ►  Jul 15 (2)
      • ►  Jul 13 (2)
      • ►  Jul 07 (3)
      • ►  Jul 05 (1)
    • ►  Juni (16)
      • ►  Jun 30 (2)
      • ►  Jun 29 (2)
      • ►  Jun 28 (2)
      • ►  Jun 25 (2)
      • ►  Jun 24 (2)
      • ►  Jun 11 (1)
      • ►  Jun 10 (1)
      • ►  Jun 09 (1)
      • ►  Jun 06 (1)
      • ►  Jun 04 (1)
      • ►  Jun 03 (1)
    • ►  Mei (5)
      • ►  Mei 14 (2)
      • ►  Mei 03 (2)
      • ►  Mei 01 (1)
    • ►  April (1)
      • ►  Apr 24 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
    • ►  Februari (12)
      • ►  Feb 22 (1)
      • ►  Feb 21 (1)
      • ►  Feb 16 (2)
      • ►  Feb 11 (2)
      • ►  Feb 10 (1)
      • ►  Feb 09 (1)
      • ►  Feb 06 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
      • ►  Feb 03 (2)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 21 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
  • ▼  2012 (20)
    • ▼  Desember (2)
      • ▼  Des 29 (2)
        • Kisah Sampah Perkotaan
        • Ibu Iriana Sebagai Duta 3R
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 27 (1)
        • Acungkan Jempol Untuk Carrefour!
    • ►  September (5)
      • ►  Sep 21 (1)
        • Sampah Pasar Tradisional, Gampang-gampang Susah
      • ►  Sep 20 (3)
        • Sampah Dibalik Lensa
        • Limbah Anorganik, Sungguhkah Menguntungkan?
        • Warisan Kok Sampah ....... ^^
      • ►  Sep 07 (1)
        • Bingung Buang Sampah Elektronik?
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (1)
      • ►  Jul 29 (1)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 25 (1)
    • ►  Mei (2)
      • ►  Mei 18 (1)
      • ►  Mei 17 (1)
    • ►  Maret (4)
      • ►  Mar 19 (2)
      • ►  Mar 17 (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 29 (1)
      • ►  Feb 14 (1)
  • ►  2011 (15)
    • ►  Oktober (2)
      • ►  Okt 13 (2)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 04 (2)
    • ►  Juli (2)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 09 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 31 (1)
    • ►  April (5)
      • ►  Apr 10 (1)
      • ►  Apr 07 (2)
      • ►  Apr 05 (1)
      • ►  Apr 03 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 16 (2)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 21 (1)
  • ►  2010 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 29 (3)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 12 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 26 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 05 (1)
  • ►  2009 (4)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 23 (2)
      • ►  Des 04 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 16 (1)

Label

3 R adipura B3 BandungJuaraBebasSampah bank sampah barang bekas BebasSampahId biodigester biogas debat ilmuwan ecobrick energi Environmental Sustainability Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik industri kreatif Iriana Jokowi kantong plastik kantung plastik keresek KESEJAHTERAAN lifestyle MASA DEPAN CERAH pengepul pengomposan PERENCANAAN KEUANGAN pernak pernik photography pilah sampah ramah lingkungan regulasi reparasi Reverse Vending Machine Ridwan Kamil sampah anorganik sampah organik solusi limbah sosok styrofoam SUN LIFE zero waste

Translate

Laman

  • Halaman Muka
  • green planet
  • Kaisa Indonesia

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Copyright © 2016 Bandung Zero Waste. Designed by OddThemes & Blogger Templates