Latar Belakang ...................

Berdasarkan pemikiran konservatifl, pastinya tidak terbayang kemungkinan seseorang meninggal karena sampah, bahkan tertimbun sampah ?!

Tapi itulah yang terjadi di Bandung pada tanggal 21 Februari 2005, berpuluh orang meninggal terkena timbunan sampah yang longsor di TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) Leuwi Gajah.

Mungkin ada yang berkomentar bahwa itu cara mati konyol, tapi saudara-saudara kita tersebut sedang berjuang mencari nafkah dan kalaupun mereka tahu resiko pekerjaan mereka adalah kematian, toh mereka memang tidak punya pilihan.

Kematian karena tertimbun sampah memang terdengar dramatis, tapi ada bau kematian yang tiap hari mereka hirup tanpa mereka sadari.
Yaitu asap yang yang mengepul dari timbunan sampah berasal dari sampah plastic dan sampah B3 berupa racun dioksin, racun styrene dan beragam racun lainnya.
Asap beracun yang mengepul setiap hari ! Setiap saat !
Asap tersebut terpaksa mereka hisap karena harus mengais rezeki, asap yang meracuni denyut kehidupan mereka dan merenggut kehidupan mereka secara perlahan.

Ketika para pengais rezeki terpaksa menghirup sampah beracun, sebetulnya apakah kita bisa berbuat sesuatu ?
Jawabnya : Bisa ! Bahkan sangat bisa ! Karena sangat mudah memisahkan sampah organic dengan sampah anorganik.
Masalahnya hanya kemauan dan aksi atas pemahaman sampah organic yang mudah terurai dialam sehingga dapat dijadikan kompos,
sedangkan sampah anorganik membutuhkan ribuan tahun hingga tak terhingga lamanya bahkan menimbulkan racun yang membahayakan jiwa sehingga membutuhkan penanganan khusus.
Jadi yang diperlukan adalah kesepakatan semua pihak untuk seiya sekata tidak mendzalimi alam dan yang lebih menyedihkan : "Mendzalimi Saudara Sendiri" !

Berawal dari pemikiran tersebut, kami memisahkan sampah organic dan anorganik.
Sampah organic dengan mudah dapat kita kumpulkan untuk dijadikan kompos.
Sampah plastic bening, tetrapak, kaleng, kertas (alumunium dan dus) diberikan ke pemulung.
Styrofoam sebisa mungkin kita hindarkan karena tidak dapat terurai dialam.
Masalah yang kemudian timbul adalah sampah bekas kemasan dan sampah kresek (tas plastik bekas belanja).
Karena sampah-sampah tersebut tidak mungkin dikompos, pemulung menolak karena nilai jualnya rendah sekali bahkan hanya beberapa pengepul yang mau menerima.

Beruntung kami berkenalan dengan Konus (Konservasi Alam Nusantara) yang menunjuk ibu Iyom Rochaeni sebagai perempuan kreatif yang mau mengajari kerajinan daur ulang sampah bekas kemasan.

Maka kamipun mengadakan pelatihan perdana.
Bekerja-sama dengan anggota majelis taklim Az-Zahra, siswa-siswi SMP Taruna Bakti, SMPN 14 dan SMPN 7 yang bersedia mengumpulkan bekas kemasan sebagai bahan baku, kami mengundang ibu Iyom sebagai pelatih dan mengajak para penyandang cacat dibawah naungan BILIC (Bandung Independent Living Centre), serta ibu-ibu rumah tangga lainnya yang bersedia dilatih untuk memproduksi kerajinan bekas kemasan.

Pemasaran masih diseputar pameran karena hasil hasil produksi belum banyak.
Keinginan memproduksi lebih banyak pastinya ada, karena makin banyak sampah bekas kemasan yang dijadikan barang kerajinan maka umur bekas kemasan tersebut bertambah, dan otomatis akan berkurang pula sampah anorganik yang dibuang ke TPA.

Apabila hasil produksi sudah cukup banyak tentunya kami berani menawarkan produk tersebut ke pasar swalayan sebagai tas belanja pengganti keresek yang keberadaannya semakin meresahkan.

Sistem operasional yang mungkin adalah adanya PokJa-PokJa sebagai Kelompok Kerja disetiap daerah yang akan menyetorkan hasilnya, karena dengan system sentralisasi seperti sekarang biaya transportasi yang timbul besar sekali.

Biaya-biaya transportasi tersebut meliputi biaya pengangkutan bahan baku (bekas kemasan), biaya transportasi pekerja mengambil bahan baku dan menyetorkan hasilnya serta biaya pengiriman barang jadi ke tempat lokasi penjualan.

Biaya –biaya yang timbul lainnya adalah biaya pembelian bahan pelengkap seperti bahan pelapis, list tas, ritsluiting, benang dan jarum.

Sampah bekas kemasan akhirnya memang bisa menjadi bahan baku suatu proses produksi. Penanganannya yang tidak mudah dan penambahan bahan pelengkap menjadikan hasil akhir proses produksi mempunyai nilai jual karena mendapat nilai tambah.

Share:

0 komentar