• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

About Me



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




Bandung Zero Waste

Gaya Hidup Nol Sampah untuk Wujudkan Indonesia Bebas Sampah


Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro)

Yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan disini terbuat dari singkong, ubi kayu yang biasa kita olah menjadi combro, singkong Thailand dan cemilan lain. Sebuah acara talk show yang digawangi Deddy Corbuzier menayangkannya pada akhir Maret 2017, disusul Metro TV dalam acara siang hari tanggal 4 April 2017. Di kedua acara tersebut, sang penemu kantong plastik ramah lingkungan menampilkan kemampuan kantong plastik meluruh tercampur air kemudian dengan mudah bisa diminum. Mirip pertunjukkan sulap.

Baca juga: Mengapa Ridwan Kamil melarang penggunaan styrofoam?

Topik kantong plastik ramah lingkungan bukanlah sesuatu yang baru, biasanya mengemuka ketika ada suatu gerakan massif menolak kantong plastik. Tahun ini muncul karena ada laporan Jambeck et al, yang menuduh Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Juga regulasi pemerintah yang lamban untuk mengurangi pemakaian kantong plastik setelah secara serentak dilarang penggunaannya di ritel modern per Februari 2016.

Tahun 2010, ritel modern dipenuhi kantong plastik ramah lingkungan ecoplas yang terbuat dari campuran tepung singkong dan oxium, kantong plastik dengan tambahan zat aditif yang berfungsi mempercepat penguraian plastik dengan bantuan oksidasi,thermal dan fotodegradasi. Kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan tersebut digelontorkan untuk menjawab kampanye Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) yang diinisiasi Greeneration Indonesia (GI).

Ah, mari kita bahas tentang si kantong plastik yang terbuat dari singkong saja dulu. Tulisan berikutnya barulah membahas lainnya. Kebetulan, pada tahun 2011 saya berkesempatan mengunjungi pabrik yang memproduksi kantong plastik terbuat dari singkong. Kepala produksi berkisah bahwa Paris Hilton menggunakan plastik yang sama tapi berukuran kecil untuk memungut dan membuang kotoran hewan peliharaannya. Tentu saja ketika dibuang diharapkan tidak mencemari bumi, walau persentase campuran tepung singkong sangat sedikit.

biji plastik yang telah dicampur ekstrak singkong (Maria G Soemitro)

Pada kesempatan itu juga ditayangkan video lokasi penanaman singkong ditanam di suatu daerah Jawa Barat. Singkong dipanen dan dikirim ke pabrik untuk proses pembuatan kantong plastik ramah lingkungan. Seorang teman rombongan berbisik:”Ini peluang bagus agar rakyat kita tidak usah ke luar negeri dan menjadi buruh mingan disana. Cukup di Indonesia, tanam singkong!”. Wah, benarkah demikian? Ditambah iming-iming penggunaan singkong yang lebih banyak seperti di awal kisah, maka nampaknya petani Indonesia bakal sejahtera, tidak perlu tanam tanaman holtikultura seperti cabai yang rentan hama.

Sayangnya, jangankan bermimpi tanam singkong untuk kantong plastik. Kini, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam bentuk tepung tapioca, Indonesia harus mengimpor singkong dari Vietnam. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih mengimpor singkong pada tahun 2016 sebanyak 12.530 ton atau US$ 2,2 juta, (sumber)

Nah, apa yang terjadi jika Indonesia juga membutuhkan singkong untuk kantong plastik? Mungkin kran impor akan tak tertahankan mengingat betapa borosnya penggunaan kantong plastik. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan singkong sebagai kantong plastik tidaklah sesederhana membalikkan tangan. Lebih lanjut bahkan akan menimbulkan ancaman pada:

Ketahanan pangan

Pilih pangan atau kantong plastik? Tentu saja pangan bukan? Pangan merupakan kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar, jumlahnya harus mencukupi dan singkong merupakan salah satu bahan makanan pokok bagi suku tertentu, contohnya suku Cireundeu. Juga merupakan bahan makanan subtitusi beras. Ketika suatu kelompok masyarakat kehabisan beras maka mereka akan mencari singkong sebagai pengganti.

Maka situasi menjadi tidak lucu dan sangat aneh jika di suatu lokasi singkong ditanam untuk memenuhi kebutuhan kantong plastik, sementara di belahan bumi lain atau bahkan di provinsi lain di Indonesia, anggota masyarakatnya kelaparan, nyaris busung lapar.

Energi terbarukan

Seperti diketahui, energi fosil yang berasal dari minyak bumi hanya akan bertahan hingga 70 tahun, padahal jumlah kendaraan bermotor berlipat ganda dalam 30 tahun kedepan. (sumber). Untuk mengantisipasinya Indonesia yang kaya akan energi terbarukan harus memanfaatkan semaksimal mungkin. Salah satu bahan baku energi terbarukan yang mudah dan murah proses produksinya adalah singkong. Keseluruhan hasil panen singkong bisa digunakan, mulai dari kulit hingga ampas/limbah tepung tapioka.

Singkong juga unggul, jika dibandingkan dengan rata-rata kandungan alkohol yang hanya mencapai 70 persen pada bahan bakar yang ada sekarang, maka bioetanol (kandungan alkohol dari singkong) bisa mencapai 96 persen. (sumber). Manfaat penggunaan bioetanol lainnya adalah pengurangan subsidi secara signifikan dan mampu mengurangi polusi udara karena bioetanol bersifat ramah lingkungan.

Perilaku bijak lingkungan

Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) terbentuk setelah muncul pemahaman bahwa untuk mengurangi sampah dibutuhkan perubahan perilaku. Anggota masyarakat harus bijak menggunakan kantong plastik dengan menggunakannya berulang kali. Jangan sekali pakai agar minyak bumi sebagai bahan baku kantong plastik, tidak terbuang percuma.

Dengan adanya kantong plastik ramah lingkungan, anggota masyarakat dimanjakan dan dibuat terlena dengan anggapan : “ah, tidak apa-apa membuang sembarangan kantong plastik ramah lingkungan, toh akan hancur dengan sendirinya”. Mereka tidak mempedulikan apakah isi kantong plastik yang dibuang adalah sampah organik atau sampah anorganik yang berarti tetap akan menimbulkan masalah sampah. Mereka juga tidak peduli bahwa untuk memproduksi kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan membutuhkan sumber daya alam lainnya.

Jadi masihkah kita ikut terseret sesat pikir kantong plastik ramah lingkungan hanya karena bisa berfoya-foya menggunakan kantong plastik sekali pakai?



Wrote by Maria G Soemitro
biodigester di perumahan GCA Bandung (dok Maria G Soemitro)

Biodigester sampah? Betul, merupakan instalasi tempat bakteri metanogen bersemayam yang dengan senang hati  akan mengolah sampah organik  menjadi  biogas. Bisa dibayangkan berapa banyak masalah perkotaan dapat  terselesaikan dengan adanya biodigester sampah? Sampah berserakan hilang, kota bersih dan resik. Diganti biogas untuk memasak makanan di dapur serta slurry untuk pupuk berkebun.

Baca juga: Mengapa Ridwan Kamil Melarang Penggunaan Styrofoam?

Terlebih bagi Kota Bandung,  kota yang pernah mendapat julukan Bandung Lautan Sampah dan mendapat predikat Kota Terkotor pada tahun 2006. Sungguh tepat sasaran ketika pada  tahun  2015, suatu perusahaan energi menyalurkan corporate social responsibility (CSR)-nya, yaitu  100 buah biodigester yang diharapkan dapat mengolah sampah Kota Bandung menjadi energi.

Paling tidak ada 4 manfaat yang bakal diperoleh:

1.   Reduksi sampah
Sebanyak 1.600 ton sampah diproduksi penduduk Kota Bandung.  PD Kebersihan hanya mampu mengangkut 1.200 ton ke TPA, sisanya berceceran  di jalan, lahan kosong dan aliran air. Tidak saja menyebabkan banjir tapi juga  mencemari air. udara dan tanah. Andaikan program biodigester sukses dilaksanakan maka masalah sampah akan tertangani.
Pengguna biodigester wajib memisah sampah sehingga masalah sampah selesai sejak di hulu. Sampah organik masuk biodiogester, sampah anorganik bisa dijual ke pengepul/bank sampah.

2.   Target  energi  baru terbarukan (EBT)
Hingga akhir tahun 2016, capaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 7,7 %, sementara menurut target pada tahun 2025 harus mencapai 23 %. Dengan adanya geliat warga masyarakat dan pihak swasta dalam mengimplementasikan EBT maka akan terjadi percepatan dalam kurun waktu  8 tahun ini. (sumber)

3.   Target  penurunan emisi GRK
Pada KTT Perubahan Iklim 2015, Presiden Jokowi  menegaskan komitmen Indonesia, yaitu  mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 % pada tahun 2030 sebagai upaya mengatasi perubahan iklim. Kontribusi Indonesia tersebut diharapkan dapat  mendorong terciptanya kesepakatan mengikat demi membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat celcius.
Dengan dikelolanya limbah organik menjadi biogas, maka program biodigester turut berpartisipasi dalam mewujudkan tekad pemerintah tersebut.

4.   Penghematan
Paling tidak ada 2 penghematan yang diperoleh pemerintah yaitu subsidi elpiji  dan biaya kelola sampah.  Setiap tahunnya Kota Bandung menganggarkan Rp 137 milyar untuk operasional  (sumber).  Alokasi tertinggi untuk biaya pengangkutan sampah dari  tempat pembuangan sampah sementara (TPS)  ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Sedangkan untuk subsidi energi, karena  Pertamina harus memberikan subsidi Rp 5.750, sementara jatah Kota Bandung sebanyak  90.000 tabung gas 3 kg/hari. Maka subsidi yang dihemat bisa mencapai  Rp 1,5 milyar per hari atau Rp 46,5 miyar per bulan. Jumlah yang lumayan banyak bukan?



Sebetulnya masih banyak manfaat lain biodigester, diantaranya bagi warga sendiri yaitu penghematan anggaran gas rumah tangga. Juga ada hasil sampingan biodigester berupa slurry yang  bisa digunakan sebagai  pupuk pada aktivitas urban farming/berkebun di area perkotaan.

Sayangnya program 100 biodigester bisa dianggap 'gagal'. Pada akhir tahun 2015, saya mengikuti survei biodigester, dan menemukan  hanya beberapa orang yang dengan senang hati  mau meneruskan. Sisanya menolak. Di beberapa lokasi, instalasi biodigester  tidak berfungsi dan dipreteli. Bahkan seorang Ketua RW di suatu kawasan padat penduduk,  bersikeras meminta agar instalasi dibawa pergi. Bak meminta dibersihkannya lokasi dari gundukan sampah.

Banyak yang menjadi penyebab, tapi 2 hal penting ini rupanya dilupakan oleh pihak yang bertanggung jawab membagikan biodigester pada warga masyarakat.

  1. Biodigester berbeda dengan kompor elpiji. Pemakai biodigester  harus memahami bahwa terdapat bakteri metanogen di dalam instalasi yang harus diperlakukan sebagai mahluk hidup. Artinya jika 'binatang peliharaan' ini tidak diperlakukan dengan benar, tidak diberi  makan dan minum cukup, maka mereka akan sakit, sekarat dan mati.Beda halnya dengan kompor gas elpiji yang  tidak akan bereaksi walau diabaikan selama  berbulan-bulan.
  2. Minimnya kesadaran memisah sampah. Apa jadinya jika pembalut perempuan dan popok bayi masuk biodigester? Tentunya akan menghambat proses terjadinya biogas. Bakteri metanogen yang seharusnya hanya mendapat asupan sampah organik akan terganggu aktivitasnya. Inilah yang terjadi pada beberapa biodigester.  Akibat  pengguna tidak disiplin dalam memisah sampah maka beberapa instalasi mengalami masalah seperti  air slurry yang tiba-tiba membanjir atau bahkan tidak munculnya gas metan yang bisa dikonversi menjadi nyala api kompor.
dimulai dari pemisahan sampah hingga asap biru dari kompor (dok. Maria G Soemitro)


Jelaslah kesalahan terulang. Para pemangku kebijakan hanya memperhatikan soal teknis, abai pada pendekatan psikologi sosial yang jauh lebih penting. Umumnya pendekatan sosial kurang menarik, karena membutuhkan kesabaran dan waktu bertahun-tahun, tidak dapat dipatok selesai dalam satu periode.

Baca juga : Adipura dan Lika Liku Meraihnya




Agar kesalahan tidak terulang, program serupa harus memperhatikan beberpa faktor berikut:

  • Komunitas

Bersosialisasi dan beradaptasi dalam kelompok merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia. Atas dasar itu pula muncul grup-grup reuni, komunitas pecinta lingkungan, komunitas pecinta batik serta banyak komunitas lain.

Daripada menyebar biodigester ke seluruh penjuru Kota Bandung,  alangkah baiknya pembagian diarahkan pada satu komunitas dan kelompok-kelompok lain disekitarnya. Sehingga memudahkan jika ada pengguna yang memgalami masalah. Antar anggota komunitas akan memberikan dorongan untuk menggunakan biodigester dengan maksimal.
Salah satunya temuan Ibu Nana yang memisah sampah secara simpel dan praktis. Sampah organik baru dimasukkan ke biodigester ketika sudah berair tapi belum mengelurkan bau menyengat. Perlakuan yang konsisten dan rutin akan membuat bakteri metanogen  nyaman memproduksi  biogas secara teratur.

  • Buku petunjuk

Setiap peralatan hasil pabrikasi umumnya mendapat buku petunjuk pemakaian.  Demikian pula seharusnya dengan biodigester sampah. Seharusnya ada manual book, termasuk didalamnya larangan  dan yang wajib dilakukan.
Mungkin penyebabnya karena instalasi biodigester baru diujicobakan di Kota Bandung, sehingga data yang dikumpulkan  belum cukup.

  • Hotline

Sewaktu biodigester disebar di Kota Bandung,  ada  yayasan yang bertugas mendampingi dan bertanggung jawab terhadap penyebaran biodigester. Namun entah mengapa laporan kerusakan biodigester  tak kunjung digubris.
Seharusnya disiapkan hotline khusus sebagai pelayanan program biodigester. Petugas akan menjawab masalah-masalah di lapangan setelah berkoordinasi dengan para pakar dan petugas lapangan.

salah satu biodigester yang mangkrak (dok. Maria G Soemitro)

Walau penyebabnya  berbeda, Dalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji pada tahun 2009, kebijakan kenaikan harga minyak tanah dan pembatasan distribusinya berhasil memaksa pengguna beralih ke elpiji.  

Demikian juga ketika terjadi kelangkaan elpiji. Warga masyarakat bersedia mencari gas 3 kg ke seluruh penjuru kota agar dapurnya tetap ngebul. Sehingga sebetulnya muncul momentum pengenalan dan sosialisasi biodigester.
Jika tidak terkendala distribusi, pastinya warga masyarakat dengan senang hati menggunakan biodigester. Walau harus 'terpaksa'  memisah sampah demi mendapatkan nyala api yang dibutuhkan.

Akhirnya keberhasilan program energi baru terbarukan (EBT) sangat bergantung pada tekad kuat penyelenggara negara. Apakah peduli pada potensi penghematan subsidi elpiji yang demikian besar, serta solusi sampah menjadi energi.  Atau sebaliknya menina bobokan dengan elpiji yang murah harganya walaupun harus berhutang.




Wrote by Maria G Soemitro
tabung berisi sampah (kiri), kompor gas metan (kanan)


“Hanya orang bodoh yang ngga mau pakai biogas”, kata ibu Nano. “Apa sulitnya coba? Hanya misahin sampah dapur, besoknya masukin ke tabung biogas, udah hanya itu. Gas untuk memasak tersedia setiap hari.  Saya masih pakai gas elpiji, tapi biogas ini menolong sekali, bikin hemat”.

Saya mengangguk menyetujui kata-kata ibu Nano. Alih-alih menjadi masalah, sampah organik di perumahan Griya Cempaka Arum ini adalah sumberdaya, penghasil gas metan yang digunakan untuk memasak makanan. “Saya dulunya juga bingung. Malah  takut bau, karena itu  biogas disimpan di belakang rumah. Eh ngga taunya gampang kok dan ngga bau sama sekali”, kata ibu Nano melanjutkan dengan penuh semangat.
Semua nampak mudah. Ada 2 tempat sampah yang disediakan ibu Nano di dapurnya yang menyatu  dengan ruang makan. Satu tempat sampah disiapkan untuk dirinya dan anggota keluarga yang membuang sampah organik hari ini,  seperti sampah dapur dan sisa makanan. Sedang tempat sampah lainnya berisi hasil penampungan sampah organik  kemarin, isinya agak berair namun belum berbau menyengat.

pemisahan sampah 

Sampah organik kemarin inilah yang dibawanya sambil mengajak saya melihat peralatan biodigester di pekarangan belakang. Disana ada 2 drum, besar dan kecil. Dengan berjinjit, ibu Nano memasukkan sampahnya ke dalam drum besar. Hasil pemrosesan akan masuk drum kecil yang terletak di samping  drum besar. Ada kran terpasang di drum kecil yang mengalirkan cairan berwarna keruh. “Ini pupuk cair”, kata ibu Nano, “Katanya bisa dijual kalo hasil produksi berlebihan, saya sih masukin lagi ke drum besar. Supaya ngga repot cari air, simpel kan?”

Saya kembali mengangguk. Seharusnya bersamaan dengan sampah organik, dimasukkan juga sejumlah cairan untuk membantu pemrosesan sampah organik. Tapi ibu Nana mengambil jalan pintas dengan memasukkan kembali cairan hasil proses biodigester, sehingga praktis. Manajemen waktu harus diterapkan seorang ibu rumah tangga agar bisa menyelesaikan aktivitas dengan cepat, mudah dan menyenangkan.

Selain drum, nampak pipa menuju dapur ibu Nana. Pipa tersebut berakhir pada semacam papan indikator  hasil proses biodigester. Mirip thermometer berukuran besar, bedanya ada dua pipa bening yang menampilkan cairan penanda adanya bahan baku siap pakai. “ Hampir ngga pernah kosong. Paling kalo kelihatan tinggal sedikit saya pindah masak pake elpiji”, jelas ibu Nana sambil mendemontrasikan penggunaan kompor biodigester. Harus menggunakan korek api. Selain itu tidak ada yang berbeda. Api yang dihasilkan berwarna kebiruan, mirip kompor dengan tabung elpiji.

Tidak hanya ibu Nana, di perumahan Griya Cempaka Arum Kota Bandung ada sekitar 6 orang pengguna biodigester, hibah dari pengusaha Arifin Panigoro untuk Kota Bandung pada tahun 2015 silam. Pemilik Medco Grup tersebut berjanji akan menambah jumlahnya  jika program100  biodigester pertama  berjalan dengan sukses.Sayang, harapannya tidak berjalan mulus. Tidak seperti pengguna biodigester di Griya Cempaka Arum, pengoperasian di lokasi lain tidak berjalan sesuai rencana.




Ahmad Saparudin yang tinggal di jalan Manglayang  begitu antusias ketika mendengar ada pembagian biodigester secara cuma-cuma. Tidak hanya tergiur hasil biodigester berupa gas metan untuk memasak, keberadaan biodigester juga merupakan solusi sampah yang selama ini membuat keluarganya pusing tujuh keliling. Di kawasan tempat tinggalnya tidak ada petugas kebersihan yang mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah. Penyebabnya mungkin karena terletak berbatasan dengan kabupaten Bandung dan kondisi tanah yang curam dan terjal.

 Warga umumnya membawa sampah ke jalan besar hingga bertemu TPS (tempat pembuangan sampah) atau dibuang ke lahan kosong untuk dibakar. Karena itu tawaran biodigester dipandang Ahmad sebagai solusi agar kelak bisa digunakan kerabat serta tetangga jika dia berhasil dengan sukses.

Sayang,  biodigester yang dioperasikan Ahmad sering mengalami masalah , diantaranya air yang membludak keluar dari kran. Sangat merepotkan.  Sehari-hari Ahmad dibantu ibunya, ibu Titi dalam mengoperasikan biodigester. Tidak seperti ibu Nano, bersamaan dengan memasukkan sampah organik, ibu Titi juga memasukkan air yang baru diambilnya dari sumur. Sehingga produksi air sisa proses biodigester menjadi berlimpah ruah, bahkan sesudah dimasukkan ke sejumlah jerigen, air tetap tak tertampung. Tak heran para tetangga berujar sinis: “Barabe geuning biodigester teh? Hoream ah” yang terjemahannya kurang lebih adalah: “Ternyata repot ya biodigester? Malas ah”.

Bermacam cara telah dipraktekkan ibu Titi, diantaranya mengurangi frekwensi asupan sampah organik. Awalnya tiap hari kini hanya dua hari sekali. Hasilnya tentu juga berkurang. Hanya sekitar sejam penggunaan setiap harinya. Sangat jauh dibanding kompor di rumah ibu Nano yang tidak hanya digunakan untuk menjerang air tapi juga untuk mengolah sejumlah masakan.

 Penggunaan biodigester memang tidak bisa disamakan dengan kompor elpiji yang cukup menggerakkan jemari akan mengeluarkan api, siap untuk digunakan. Bahan baku elpiji merupakan hasil pabrikasi sedangkan kompor biodigester harus menunggu olahan sampah organik yang sangat tergantung pada ragam dan jumlah sampah yang tentu saja berkaitan dengan cara pandang serta gaya hidup penggunanya.

Ketika penggunaan biodigester skala rumah tangga sulit, bisa dibayangkan biodigester lainnya yang disimpan di balai RW seperti terjadi di Bumi Panyileukan kelurahan Cipadung Kidul Kota Bandung. Disini, petugas keamananlah yang menjalankan operasional sehari-hari. Sampah organik didapat dari  warga sekitar dan hasilnya digunakan untuk memasak mi instan dan menjerang air di malam hari.

Nampak lancar, sayangnya warga menolak kemungkinan penggunaan biodigester di rumah masing-masing dengan alasan pekarangannya sempit. Jawaban yang mengada-ada karena Bumi Panyileukan merupakan pemukiman tertata, setiap rumah memiliki pekarangan. Sempit tapi cukup untuk menyimpan biodigester. Stigma negatif bahwa sampah itu kotor, bau dan bisa menimbulkan penyakit, masih melekat kuat.

Tapi bahkan kasus Bumi Panyileukan lebih baik dibanding tempat lain seperti di  RW 07 Citarip Barat Kelurahan Kopo. Disini bapak Ayi, ketua RW 07 merasa terpaksa menerima biodigester karena mendapat instruksi dari lurah setempat. Uji coba biodigester yang ditempatkan di dalam ruangan balai RW akhirnya terhenti dengan alasan tidak ada biaya bagi pengelola biodigester. Ya, alih-alih bermanfaat  bagi masyarakat, biodigester berubah menjadi beban bagi ketua RW.

Dan yang paling menyedihkan adalah biodigester yang ditolak keberadaannya oleh warga perumahan di Jatihandap Kecamatan Mandalajati Kota Bandung. Penyebabnya sepele tapi fatal akibatnya.  Enceng dan Wawan sebagai petugas kebersihan enggan memisah sampah sehingga alih-alih menghasilkan gas metan, biodigester berubah menjadi tempat sampah raksasa.

Menghadapi ketersediaan bahan baku energi yang semakin menipis, PLN sebagai pemasok energi listrik sudah harus berhadapan dengan sumber daya baru dan terbarukan yang mahal seperti energi surya dan panas bumi, nampaknya Pertamina juga harus mulai mempertimbangkan mengambil alih pengadaan biodigester sebagai solusi energi yang berkelanjutan. Berikut alasannya:

Jika membandingkan jumlah kalkulasi harga kompor dan pembelian isi gas LPG dengan harga biodigester sebesar Rp 10 juta per buah maka akan ditemukan harga yang berimbang bahkan lebih murah karena ketersediaan sampah organik melimpah ruah sedangkan harga gas LPG semakin bertambah mahal, ketersediaannya di bumipun  terbatas jumlahnya.

Jaringan yang dimiliki Pertamina memungkinkan untuk menyosialisasikan secara meluas dan cepat. Terbukti konversi minyak tanah ke gas LPG bisa berlangsung sukses. Pengguna biodigester ternyata harus mendapat sosialisasi terus menerus, tidak bisa mengandalkan cara pendekatan per proyek seperti sekarang.

Pertamina bisa lebih fokus dan leluasa dalam menyediakan LPG bagi rakyat miskin dan industri karena golongan menengah keatas mempunyai alternatif lain selain gas LPG.

Last but not least, penggunaan sampah organik sebagai energi berarti mengurangi salah satu masalah besar yaitu produksi sampah yang semakin banyak seiring pertambahan jumlah penduduk. Sekitar 60 % sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia adalah sampah organik, dengan adanya biodigester, masalah tersebut terselesaikan. Bahkan pengguna biodigester mendapat manfaat tambahan yaitu cairan pupuk yang sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah
Wrote by Maria G Soemitro


“Tuh lihat, ngga ada asap rokok kan? Padahal kita lagi nobar PERSIB lho?”

 Caption dan foto nan keren tersebut dikirim oleh Hani Soemarno dari Cikapundung River Spot. Suatu ruang publik yang dulu bernama Cikapundung Timur dan disulap dalam rangka menyambut Konferensi Asia Afrika pada bulan April 2015 silam. Foto menunjukkan penyelenggaraan nonton bareng (nobar) Persib yang tertib tanpa sampah. Padahal biasanya acara acara keriuhan nobar identik dengan sampah cemilan, plastik minuman serta ceceran sekam dan puntung rokok.

Bagaimana dan siapa yang berhasil membuat acara nobar menjadi area zero waste? Adalah Bdg Cleanaction, sekelompok relawan anak muda pembaharu Kota Bandung yang percaya bahwa perubahan bisa terjadi jika digaungkan terus menerus baik offline maupun online. Dan perubahan mendesak yang perlu dilakukan adalah perubahan cara pandang dan kebiasaan terhadap sampah.

Sampah menjadi masalah karena adanya kesalahan paradigma dalam masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa sampah harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh. Mau kemana, terserah. Sebagai penghasil sampah, mereka tak peduli. Hingga suatu kali kelak masalah sampah bak bom yang mencapai titik kulminasi. Duarrrrr………rusaklah lingkungan, nyawa masyarakat terancam. Persis seperti kasus Leuwigajah yang memakan 143 korban jiwa. Kala itu penyesalan sia-sia belaka. Nyawa tak mungkin kembali, kerusakan lingkungan sulit diperbaiki.

Bdg Cleanaction mengenalkan pengurangan sampah dengan cara happy dan di tempat-tempat vital. Seperti ketika nonton bareng (nobar) persib di Cikapundung River Spot, Bdg Cleanction menyediakan kawasannya sekaligus cemilan dan tentu saja dengan syarat. Ini dia syaratnya:


nobar bersyarat tidak merokok dan buang sampah pada tempatnya

Karena mengajukan syarat, anggota Bdg Cleanaction pun konsekuen menyiapkan dan memelihara lokasi nobar agar selalu kinclong, berikut penampakannya.


bersih-bersih area nobar
 Selain menetapkan wilayah zerowaste (zona bebas sampah) dalam setiap even yang diselenggarakannya , ratusan relawan Bdg Cleanaction juga aktif dalam Gerakan pungut sampah ( GPS). GPS masif dilakukan pada acara-acara yang ramai didatangi publik seperti nobar di Cikapundung River Spot, di kawasan Car Free Day dan ruang publik lainnya. Mereka mengajak anggota masyarakat lain untuk mau bersama-sama memungut sampah. Nah, jika sampah orang lainpun dipungut diharapkan yang bersangkutan tidak nyampah sembarangan bukan?



Gerakan Pungut Sampah (GPS)
Tujuannya sederhana agar warga masyarakat peduli sampah. Menjaga habitatnya. Lingkungan hidupnya. Bagaimana sampah akan tertangani jika semua orang cuek, tidak peduli dan hanya main tunjuk pada pemerintah kota sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah.
Kampanye lainnya adalah #1000tumbler yang dilakukan secara secara massif di ruang-ruang publik. Symbol #1000 tumbler dimaksudkan agar warga masyarakat khususnya kaum muda merasa kece jika menggunakan tumbler, tidak takut dianggap jadul bahkan dianggap trendy lifestyle.  


#1000tumbler
Kampanye #1000tumbler sebetulnya bertujuan agar warga mau mengurangi konsumsi air minuman dalam kemasan (AMDK). Tapi sungguh tidak mudah menghentikan kebiasaan praktis ini walau terbukti pengelolaan sampah kemasan sangat sulit dan meninggalkan jejak ekologis yang panjang. Karena itu digunakanlah kampanye #1000 tumbler agar warga masyarakat khususnya anak muda menggunakan tumbler dan otomatis tidak mengonsumsi AMDK. Cara keren mengubah lifestyle bukan?

Dalam setiap kampanyenya, Bdg Cleanaction melakukan dengan cara menyenangkan, mudah dan murah yaitu melalui kegiatan di ruang-ruang publik dan dunia maya. Siapapun bisa diretweet asalkan menunjukkan foto sedang melakukan GPS dan atau #1000tumbler.

Perlahan tapi pasti, sedang terjadi perubahan di Kota Bandung. Di mulai dari komunitas-komunitas yang peduli Kota Bandung. Khusus masalah sampah mereka bergabung dalam Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), bertemu sebulan sekali di ruang-ruang publik yang memungkinkan seperti di ruang Bandung Creative City Forum (BCCF) ini. Mudah diakses dan gratis asal mendaftar ke pengelola untuk mencari jadwal yang kosong.


Bandung Juara Bebas Sampah di BCCF, Jalan Purnawarman 70 Bandung
 Selain Bdg Cleanaction dengan gerakannya, beberapa kelompok lainnya yaitu IATL ITB, Greeneration Indonesia dan YPBB membuat peta persampahan Kota Bandung, yang bernama BebasSampahID. Peta tersebut ditujukan bagi warga masyarakat yang mulai tergerak memisah sampah agar bisa mengakses titik –titik lokasi dimana sampah bisa disalurkan. Juga membantu warga yang ingin mencari informasi bagaimana cara berpartisipasi mengelola sampah. membahas peta Bebas Sampah ID di Eco Camp

Selain gerakan pembaharuan diatas, sebetulnya telah banyak gerakan-gerakan yang dilakukan warga masyarakat Kota Bandung. Diantara gerakan positif itu ada yang bertumbangan seperti forum hijau Bandung (FHB) yang diadakan sebulan sekali di ruang-ruang publik Kota Bandung untuk berbagi dan mencari solusi beragam masalah Kota Bandung. Kemudian ada Ngobras (Ngobrol Bareng Santai) yang memperbincangkan beragam masalah mulai darii krisis air, krisis pangan hingga perubahan iklim yang merupakan keniscayaan.


Dari sekian banyak kegiatan yang menggunakan ruang publik, beberapa masih teguh melaksanakan aktivitasnya, seperti Komunitas Cikapundung Bersih. Menggunakan daerah aliran sungai (DAS) untuk berkegiatan, mereka berhasil membangun tempat salat dan urban farming dengan swadaya. Mereka sadar perubahan lingkungan harus diusahakan, jika pemerintah kota mau memberi maka harus disesuaikan dengan kebutuhan karena merekalah yang paling memahami habitatnya, kebutuhannya.



Komunitas Cikapundung Bersih di DAS Cikapundung
Menarik disimak bahwa gerakan perubahan lifestyle sebetulnya terpicu dari ketidak nyamanan warga kota terhadap habitatnya. Pada ruang tumbuh dan tempatnya berkarya. Mereka resah melihat kesemrawutan PKL, jalan-jalan macet dan banjir cileuncang (banjir akibat membludaknya air kotor dari saluran air) tatkala hujan tiba. Dan dari sekian banyak masalah, yang bisa mereka kerjakan adalah bersama-sama membuat perubahan lifestyle.Sehingga sungguh tepat apa yang ditulis Ridwan Kamil, Walikota Bandung masa bakti 2013 – 2015 yaitu:

“Kekuatan Bandung terbesar ada pada aset kualitas manusianya. Inilah kekuatan Bandung di masa depan. Inilah tiket bersaing global. Jangan sampai ribuan orang-orang kreatif dan pintar ini selalu pergi ke Jakarta atau Singapura setelah mereka lulus sekolah di Bandung, Mereka harus diakomodasi untuk berbisnis dan berkarir di Bandung. Mereka harus distimulasi untuk mencintai kota Bandung”

Penggalan tulisan Ridwan Kamil pada tanggal 8 Sepetember 2011 tersebut menggambarkan bagaimana warga masyarakat Kota Bandung membutuhkan lingkungan kondusif untuk berkarya dan membuat perubahan. Dan perubahan apapun demi kemajuan Kota Bandung harus diapresiasi serta didukung dalam semangat kolaborasi . Demi menuju kota yang lestari. Karena dalam suatu kota terdapat ekosistem yang saling membutuhkan, tidak ada yang mampu hidup sendiri.    


Sumber foto: - dokumen pribadi - Bdg Cleanaction  


Wrote by Maria G Soemitro



Jangankan penghargaan Adipura yang pernah diraih pada 1987, 1989, 1992, 1993, 1996 dan 1997. Kota Bandung malah pernah dinobatkan sebagai Kota Terkotor di tahun 2005.

Bagaimana rasanya tinggal di kota yang dijuluki Kota Terkotor? Duh, pingin tutup muka rasanya. Malu! Anugerah yang ngga banget jika tidak mau dikatakan menyakitkan. Penyebabnya bisa dituduh bahwa sampah gagal kirim ke Leuwigajah yang kala itu mengalami tragedy longsor dan mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia.

Tapi sebetulnya sih salah warga Bandung juga. Seperti yang saya tulis disini, sampah yang hancur dalam waktu seminggu jangan dicampur sampah berumur ratusan tahun. Jadi deh keluar gas metan yang mencari-cari celah dibalik gundukan sampah yang kian lama kian meninggi. Hingga akhirnya duarrrrrr……, gunung sampah buatan manusiapun longsor, mengakibatkan bencana kemanusiaan.

Bencana yang dibuat manusia sendiri, seperti banjir dan tanah longsor. Karena itu sebesar apapun usaha Kota Bandung untuk kembali meraih Adipura, berakhir gagal lagi dan gagal lagi. Banyak faktor penyebab, salahsatunya adalah minimnya partisipasi warga. Warga tidak pernah dilibatkan. Hingga akhirnya Ridwan Kamil terpilih sebagai Walikota Bandung Adipuramasa jabatan 2013 – 2018. Banyak yang menaruh harapan Kota Bandung akan kembali menjadi Kota Kembang di masa kepemimpinannya.

Ya, apa sih yang kurang dari pak Emil, nama panggilan Ridwan Kamil. Sosok ini tidak hanya diganjar banyak penghargaan tapi rajin blusukan sebelum memutuskan naik panggung kontestasi pilkada Kota Bandung. Berbekal Blackberry, mengenakan jacket hijau tentara, duduk lesehan, dia mendengarkan masalah sampah yang dipaparkan Ketua Forum Hijau Bandung, Mohamad Bijaksana Junerosano (kala itu) dan menuliskannya di twitter. Khas pak Emil banget. Sehingga bisa diprediksi bahwa sosok tersebut paham masalah jauh sebelum terpilih sebagai Walikota Bandung. Kemudian merancang tujuan peningkatan indeks kebahagiaan warga. Jadi tujuan lain (meningkatnya kesehatan, pendidikan, perekonomian, lingkungan hidup) hanyalah raihan antara untuk menuju target utama yaitu meningkatnya indeks kebahagiaan.

 Jelas untuk meraih keberhasilan pak Emil ngga bisa sendirian, dia butuh pendukung. Baik komunitas yang sudah ada maupun kolaborasi yang baru muncul sehubungan dengan keberpihakan terhadap arah kemajuan yang ingin diraih. 



Bandung Juara Bebas Sampah di BCCF, di Jalan Purnawarman 70 Bandung
Salah satunya adalah Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), suatu kolaborasi lintas lembaga. serta individu-individu yang peduli Kota Bandung. Mereka mengumpulkan data, berdiskusi, mencari solusi-solusi. Hasil diskusi BJBS silakan dibawa ke kesatuan kerjanya (PD Kebersihan, BPLH) atau malah anggota BJBS meminta data dari instansi yang bersangkutan. Komunikasi intens terjalin melalui grup WhatsApp (WA) dan setiap bulan bertemu di tempat yang dijanjikan. Padahal, duh dulu sulit banget mencari data, kita harus melalui beberapa meja, menerangkan panjang lebar sebelum akhirnya memperoleh informasi yang dibutuhkan. Sekarang cukup buka percakapan di WA , ^_^

Walaupun kolaborasi ini berhasil mengumpulkan sejumlah dana yang berasal dari kocek pribadi anggota serta ada 2 administrasi yang mengelola data, tidak ada buah karya yang langsung dihasilkan BJBS. Karena anggotanya sepakat membuat aksi dan mencari dana mandiri untuk membiayainya. Contohnya pembuatan peta persampahan Kota Bandung, BebasSampahID, bukan hasil karya BJBS walau dikerjakan anggota BJBS. Termasuk diantaranya GPS (Gerakan Pungut sampah), #1000tumbler dan acara nol sampah ( zero waste event) sewaktu nonton bareng Persib yang dikomandoi BDGcleanaction.



#1000tumbler pengganti air minum kemasan
Dari sini kita bisa melihat polanya bahwa BJBS mengedukasi warga agar perilakunya berubah. Karena akar masalah sampah terbesar adalah perilaku warga, sebesar apapun usaha pemerintah daerah, jika warganya ngga punya kesadaran ya mirip menebar garam ke lautan, ngga ada hasilnya. Tentu saja kampanye perubahan perilaku ini harus seiya sekata dengan gerak pemerintah kota, sehingga tak heran pak Emil mengarahkan setiap satuan kerjanya untuk melakukan gerakan pungut sampah (GPS), agar peduli akan kebersihan daerah kerjanya, lokasi tempat tinggalnya dan tidak geuleuh (jijik) pada sampahnya sendiri. Dengan harapan akan menular pada yang selama ini ngga peduli. 

Gerakan Pungut Sampah


Tidak itu saja, pemerintah kota juga aktif mengeksekusi peraturan daerah Kota Bandung K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) tahun 2005, ya perda tahun 2005 baru ditegakkan pada tahun 2014 salah satunya menyatakan setiap kendaraan roda 4 wajib membawa tong sampah. Nampaknya sepele, hanya tong sampah, tapi justru tanpa tong sampah maka edukasi menjadi sulit dilakukan. Contohnya ada anak yang mau buang sampah melalui jendela angkutan umum, dengan adanya tong sampah, kita bisa bilang: eits jangan buang ke jalan nak, buang kesini ya nak, sambil menunjuk tong sampah dalam angkot.



setiap kendaraan roda 4 harus menyiapkan tong sampah, termasuk angkot
Kampanye perubahan perilaku (green lifestyle) sudah dilakukan, kemudian gimana dong dengan sampah-sampah yang bertaburan di jalan-jalan dan gorong-gorong? Gerakan GPS kan ngga mungkin bisa melakukan semuanya. Membersihkan jalan dan gorong-gorong? Alamak, habis dong waktu untuk kebersihan kota. Untuk itu pak Ridwan Kamil membentuk pasukan kebersihan yang bertulisan punggung “ Bantu Kami Membuat Bandung Bersih” . Profesi ini pernah ditolak pengemis/gelandangan yang ogah diberi honor Rp 1, 3 juta per bulan, mereka menuntut Rp 5 juta. Hmmm ……  :)



 penyapu jalan di Kota Bandung
Selain armada pembersih jalan yang berasal dari SKPD terkait, setiap kecamatan dan kelurahan memiliki pasukan juga, mereka membersihkan sampah di tanah-tanah kosong/terlantar , gorong-gorong dan jalan-jalan yang menjadi lokasi kesayangan warga untuk buang sampah. Para pekerja kelurahan (10 orang) dan kecamatan (10 orang) umumnya berasal dari pengangkut sampah RT, sehingga mereka memiliki dobel penghasilan, yaitu dari warga dan kelurahan/kecamatan. Setiap RW juga memiliki sator (sepeda motor yang dimodifikasi untuk mengangkut barang) agar memudahkan pak RW membersihkan areanya. Komplit kan? 



pasukan kebersihan di setiap kelurahan dan kecamatan
Ada beberapa kriteria penilaian fasilitas kota yang dibenahi yaitu jalan, taman kota, hutan kota, pertokoan, perkantoran, sekolah, terminal, stasiun, rumah sakit dan pasar. Nah penilaian pasar sering banget membuat Kota Bandung jatuh tanpa harapan. Ya iyalah, pasarnya seperti ini, dari jauhpun udah dicoret deh:




pasar Cihaurgeulis yang menjijikkan (before)
Ridwan Kamil merangkul pedagang pasar dengan manisnya agar mereka merasa memiliki. Diterapkan peraturan agar tidak boleh berjualan di trotoar, diberi tanaman bambu di sepanjang batas parkir. Perubahan positif pedagang pasar disambut pihak kelurahan dengan menghibahkan conblock bekas kantor kelurahan, sehingga eng ing eng ….., jadi seperti ini. Lumayanlah ……^_^



pasar Cihaurgeulis setelah bebenah (after)
Pasar Cihaurgeulis diatas hanya dipermak penampilannya, belum direvitalisasi, mungkin menunggu anggaran turun. Bisa dipahami betapa gembiranya Ridwan Kamil beserta satuan tugasnya ketika menerima anugerah Adipura.

Penghargaan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup harus diperjuangkan bersama warga kota, tidak sekedar prestise. Jika tidak, akan menjadi bumerang. Kota kumuh nan kotor kok mendapat penghargaan? Tidak demikian halnya dengan Kota Bandung yang bergerak ke arah perubahan menjadi lebih indah dan resik. Di beberapa area memang masih terlihat sampah, tapi setahu saya kota-kota peraih Adipura lainnya masih belum terbebas sepenuhnya dari sampah. Bahkan warga kotanya tidak semilitan Kota Bandung dalam mengkampanyekan perubahan green lifestyle.

Bener ngga? ^_^
Wrote by Maria G Soemitro
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




LATEST POSTS

  • Rumah Kompos Di Antapani
    Rumah Kompos Bina Usaha Sejahtera (dok Maria G. Soemitro) Tulisan ini merupakan sequel dari dari : “Sekali Tepuk Dua Tempat” ...
  • 5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan
           5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan “Say no to Plastics” Demikian bunyi  banner yang kerap bersliweran di ha...
  • Stop Tayangan OVJ, atau Ganti Property !
    Anak anak tertawa Ibu ibu tertawa Para bapak juga tertawa Gara gara aksi Sule, Azis, Nunung, Andre dan Parto Bercanda...
  • Belajar Dari Pak Herry, Newbie di Persampahan
      lapak pak Herry Manisnya   bisnis persampahan nampaknya menarik minat pak Herry 3 tahun silam. Sebagai newbie, dia tak segan-...
  • Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu
    “Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah” Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau si...
  • International Plastic Bag Free Day, Emang Gue Pikirin........ ??
    Maukah Anda Berdiet Kantung Plastik? Hari Bebas Kantung Plastik Sedunia tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal  3 Juli 2011 . Tah...
  • Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro) Yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan disini t...
  • Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities
    source:abnamro.com Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di A...
  • Kisah Absurd Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    kantung plastik ramah lingkungan (dok. Maria Hardayanto) “Hai air, jangan banjir dulu ya………. Aku belum hancur nih. Waktu ur...
  • Kesejahteraan Pemulung Yang Terabaikan
    dok. Yayasan Kontak Indonesia Pemulung dinobatkan sebagai pahlawan lingkungan? Sudah sangat sering didengungkan. Khususnya karena...

Advertisement

Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
Maria G Soemitro
Lihat profil lengkapku

Waspada, Gagal Paham Ecobrick!

   sumber: azocleantech.com   Waspada, Gagal Paham Ecobrick! Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengiri...

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 22 (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 28 (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 28 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 10 (1)
  • ►  2018 (2)
    • ►  April (2)
      • ►  Apr 18 (1)
      • ►  Apr 09 (1)
  • ▼  2017 (7)
    • ▼  November (2)
      • ▼  Nov 23 (1)
        • Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingku...
      • ►  Nov 17 (1)
        • Program Biodigester Sampah di Bandung Mangkrak? In...
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 19 (1)
        • Sampah Dapur Untuk Memasak? Why Not?
    • ►  Mei (3)
      • ►  Mei 20 (1)
        • Gerakan Perubahan dari Ruang Publik
      • ►  Mei 11 (2)
        • Adipura, dan Lika-Liku Meraihnya
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Oktober (4)
      • ►  Okt 09 (4)
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 25 (2)
  • ►  2015 (61)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 14 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
    • ►  Agustus (8)
      • ►  Agu 18 (1)
      • ►  Agu 11 (2)
      • ►  Agu 09 (2)
      • ►  Agu 02 (1)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (16)
      • ►  Jul 31 (1)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 25 (1)
      • ►  Jul 19 (3)
      • ►  Jul 18 (2)
      • ►  Jul 15 (2)
      • ►  Jul 13 (2)
      • ►  Jul 07 (3)
      • ►  Jul 05 (1)
    • ►  Juni (16)
      • ►  Jun 30 (2)
      • ►  Jun 29 (2)
      • ►  Jun 28 (2)
      • ►  Jun 25 (2)
      • ►  Jun 24 (2)
      • ►  Jun 11 (1)
      • ►  Jun 10 (1)
      • ►  Jun 09 (1)
      • ►  Jun 06 (1)
      • ►  Jun 04 (1)
      • ►  Jun 03 (1)
    • ►  Mei (5)
      • ►  Mei 14 (2)
      • ►  Mei 03 (2)
      • ►  Mei 01 (1)
    • ►  April (1)
      • ►  Apr 24 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
    • ►  Februari (12)
      • ►  Feb 22 (1)
      • ►  Feb 21 (1)
      • ►  Feb 16 (2)
      • ►  Feb 11 (2)
      • ►  Feb 10 (1)
      • ►  Feb 09 (1)
      • ►  Feb 06 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
      • ►  Feb 03 (2)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 21 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
  • ►  2012 (20)
    • ►  Desember (2)
      • ►  Des 29 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 27 (1)
    • ►  September (5)
      • ►  Sep 21 (1)
      • ►  Sep 20 (3)
      • ►  Sep 07 (1)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (1)
      • ►  Jul 29 (1)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 25 (1)
    • ►  Mei (2)
      • ►  Mei 18 (1)
      • ►  Mei 17 (1)
    • ►  Maret (4)
      • ►  Mar 19 (2)
      • ►  Mar 17 (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 29 (1)
      • ►  Feb 14 (1)
  • ►  2011 (15)
    • ►  Oktober (2)
      • ►  Okt 13 (2)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 04 (2)
    • ►  Juli (2)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 09 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 31 (1)
    • ►  April (5)
      • ►  Apr 10 (1)
      • ►  Apr 07 (2)
      • ►  Apr 05 (1)
      • ►  Apr 03 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 16 (2)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 21 (1)
  • ►  2010 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 29 (3)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 12 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 26 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 05 (1)
  • ►  2009 (4)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 23 (2)
      • ►  Des 04 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 16 (1)

Label

3 R adipura B3 BandungJuaraBebasSampah bank sampah barang bekas BebasSampahId biodigester biogas debat ilmuwan ecobrick energi Environmental Sustainability Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik industri kreatif Iriana Jokowi kantong plastik kantung plastik keresek KESEJAHTERAAN lifestyle MASA DEPAN CERAH pengepul pengomposan PERENCANAAN KEUANGAN pernak pernik photography pilah sampah ramah lingkungan regulasi reparasi Reverse Vending Machine Ridwan Kamil sampah anorganik sampah organik solusi limbah sosok styrofoam SUN LIFE zero waste

Translate

Laman

  • Halaman Muka
  • green planet
  • Kaisa Indonesia

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Copyright © 2016 Bandung Zero Waste. Designed by OddThemes & Blogger Templates