sumber: azocleantech.com |
Waspada, Gagal Paham Ecobrick!
Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengirim makanan bergizi, pemerintah malah menyiapkan makanan/minuman manis, maka apa yang akan terjadi?
Dalam sekejap mereka akan merasa kenyang bukan? Namun sesudah itu rasa lapar akan menjadi-jadi. Mereka akan terus-terusan mencari makanan/minuman manis.
Peristiwa tersebut tak akan terjadi apabila sejak awal mereka mengonsumsi nasi dan lauk pauk bergizi serta segelas air putih.
Kurang lebih demikian analogi keberadaan ecobrick. Aktivitas yang mengasyikan ini sangat melenakan, sehingga bukannya mengurangi sampah, masyarakat malah justru produktif menghasilkan sampah.
Akhirnya target Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2018, yaitu: Indonesia Bersih Sampah 2025, jadi jauh panggang dari api.
Baca juga:
5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan
Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities
Daftar Isi:
- Jauh Panggang dari Api, Indonesia Bersih Sampah 2025
- Apa Salah Ecobrick?
- Cara Mudah Menuju Indonesia Bebas Sampah
Indikatornya mudah, bisa dilihat dari aktivitas truk sampah dari Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Apakah jumlah sampah yang dibuang berkurang? Atau malah bertambah banyak?
Ternyata bertambah parah. Menurut bandung.kompas.com, akibat antrean panjang, para supir truk menghabiskan waktu 24 jam untuk membuang sampah dari TPS ke TPA. Sementara dalam kondisi normal, para sopir bisa mengangkut sampah 2-3 kali/hari.
Ah itu kan kasus sampah Bandung dan sekitarnya.
Ups percayalah teman, sejak longsornya TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005, yang memakan korban 143 warga, mengubur 71 rumah dan 2 kampung, kemudian disusul “Bandung Lautan Sampah” karena TPA ditutup. Warga Bandung bertekad tak ingin peristiwa memilukan dan memalukan tersebut, terulang lagi.
Karena itu, muncul berbagai program penanganan sampah, seperti: program biodigester (mengubah sampah menjadi gas untuk memasak), Gerakan Diet Kantong Plastik (GDKP), Bandung Food Smart City serta tentu saja program Zero Waste Cities.
Dari beberapa program di atas, bisa disimpulkan bahwa aktivitas pembuatan ecobrick sangat bertentangan dengan rules yang selama ini berjalan, bukan?
Apa Salah Ecobrick?
Mmm……masih gak paham, nih.
Baik, begini ceritanya. Ecobrick konon ditemukan oleh Rusel Maier seorang seniman Kanada di Filipina. Dibuat dari botol bekas air mineral yang diiisi sampah plastic, ecobrick biasanya disusun meja, kursi, dan dinding suatu bangunan.
Bisa dilihat, aktivitas ini mengutamakan proses ke 3 dari slogan 3 R, yaitu: Reduce, Reuse dan Recycle. Recycle merupakan gerbang terakhir ketika kita “terpaksa” menghasilkan sampah.
Dikatakan “terpaksa”, karena kita telah mencoba “reduce” dan “reuse dulu. Atau dengan kata lain, jangan melompat ke proses “recycle” untuk mengatasi masalah sampah.
Apabila dirangkum, berikut ini beberapa penyimpangan ecobrick yang bertentangan dengan tujuan Indonesia Bebas Sampah.
1. Salah Nama
Sejak awal penamaan ‘ecobrick’ telah salah. “Brick’ artinya bata, sedangkan ‘eco’ berasal dari bahasa Yunani oikos (tempat hidup) yang dikemudian hari digunakan untuk membahas mahluk hidup dan lingkungannya. Sementara kita tahu, bahan baku ecobrick bukanlah mahluk hidup.
Jadi, mengapa menggunakan kata “ecobrick”? Entahlah, mungkin karena penemunya seorang seniman, bukan ilmuwan di bidang lingkungan hidup.
2. Gula-gula Ecobrick
Pembuatan ecobrick hanya menunda masalah. Mirip analogi makanan/minuman manis di atas, semula masalah sampah nampak beres, namun kemudian pelaku aktivitas ecobrick akan merasa ‘lapar sampah’.
Alih-alih melakukan step pertama dari 3 R, yaitu: Reduce, mereka akan terus-terusan ‘nyampah’ karena mereka berpikir: “Toh nanti bisa dipakai untuk ecobrick’.
Padahal kita tahu. kunci penyelesaian masalah sampah adalah perubahan gaya hidup. Selama gaya hidup tak berubah, masalah sampah tak kunjung teratasi, bahkan akan bertambah parah.
3. Rawan Penyelewengan
Mengenal dekat dengan beberapa pelaku kerajinan sampah plastik, saya kerap menemukan penyelewengan.
Biasanya terjadi ketika permintaan produk meningkat, sementara mereka tak punya stok sampah. Atau ada kalanya konsumen meminta warna tertentu yang tak dimiliki pelaku kerajinan.
Demi memenuhi pesanan, para pelaku kerajinan ini mengambil jalan pintas, mereka membeli produk baru, menuang isinya ke ember, kemudian membuat kerajinan dari kemasan produk baru tersebut.
Serem banget ya?
sumber: instagram.com/@mariagsoemitro |
4. Menghambat Ekonomi Keberlanjutan
Pernah melihat botol air mineral di atas? Merupakan upaya salah satu perusahaan yang terkenal dengan slogan “One Planet One Health” untuk mewujudkan circular economy atau ekonomi yang berkelanjutan.
Caranya dengan mengumpulkan sampah botol mereka, kemudian memprosesnya hingga layak digunakan ulang/sesuai standar kemasan air minum.
Dengan adanya aktivitas ecobrick, perusahaan lain yang seharusnya mengikuti langkah tersebut jadi malas. Sementara sumber daya alam semakin menipis. Generasi mendatang membutuhkan sumber daya alam yang sama untuk keberlangsungan hidup mereka.
5. Pemerintah akan Menganggap Masalah Sampah Sudah Teratasi
“Masyarakat sudah mengolah sampah, kok,” demikian kira-kira pendapat pemerintah saat melihat aktivitas pembuatan ecobrick. Mirip analogi masyarakat kelaparan yang ngemil makanan manis dan minum es sirup.
Padahal seperti telah diuraikan di atas, masalah sampah hanya tertunda. Sampah hanya berubah bentuk dari tumpukan sampah menjadi tumpukan ecobrick.
Keberaan aktivitas ecobrick membuat pemerintah lalai. Mereka melupakan tanggungjawab melaksanakan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, yang esensinya mengubah perilaku masyarakat agar mau memilah sampahnya.
Cara Mudah Menuju Indonesia Bebas Sampah
Daripada ngemil makanan manis, mengapa tidak makan nasi dan lauk pauknya? Daripada membuat ecobrick, mengapa tidak memilah sampah? Dengan memilah sampah dan mengompos sampah organik, masyarakat telah menyelesaikan sekitar 50 persen sampah di rumahnya sendiri.
Mengompos itu mudah, bahkan andaikan Anda tidak memiliki lahan. Akan saya tulis lain kali ya? Selain memilah sampah, 3 cara mudah di bawah ini akan berkontribusi mengurangi jumlah sampah sejak awal (di hulu), karena ketika sampah telah keluar rumah, akan sulit diatasi.
sumber: maria-g-soemitro.com |
1. Pilih Belanja Curah, Hindari Kemasan Sachet
Di atas adalah contoh kemasan sachet. Ada lapisan alumunium bukan? Nah perusahaan recycle hanya memproses bahan yang sama, misalnya plastic jenis A dengan jenis A. Kertas dengan kertas. Demikian seterusnya.
Lapisan alumunium sulit dilepas dari plastik, biaya keekonomiannya terlalu tinggi. Jalan satu-satunya memusnahkan sachet seperti itu hanya dengan dibakar, yang kita semua tahu akan mencemari lingkungan.
Cemilan berukuran besar seperti Chitato, Chiki dan lainnya juga menggunakan kemasan berlapis alumunium agar produk mereka tetap krispi. Jadi, mengapa tidak belanja cemilan curah dan menyimpannya dalam toples kedap udara?
sumber: ypbb.bandung |
2. Gunakan Kantong Plastik Semaksimal Mungkin
Sulit melepas kebiasaan menggunakan kantong plastik? Gak apa apa kok. Keberadaan plastik memang sulit tergantikan bahan lainnya. Plastik memiliki sifat lentur, ringan, anti air dan masih banyak lagi.
Yang harus kita hindari adalah pemakaian plastik sekali pakai. Jadi simpanlah kantong plastik untuk digunakan ulang, kemudian gunakan semaksimal mungkin atau sampai plastik tersebut sobek.
Kantong plastik yang kotor bisa dicuci, gantung hingga kering dan gunakan lagi (gambar di atas).
3. Gunakan Tumbler
Jika punya tumbler, mengapa harus nyampah botol plastik? Gak penting banget kan? Terlebih pasar menyediakan tumbler beraneka bentuk dan warna.
Ini bukan soal kemampuan membeli air mineral dalam kemasan (AMDK), tapi soal kepedulian kita akan generasi yang akan datang.
Apakah kita akan mewarisi sumber daya alam yang terkelola dengan baik? Ataukah kita akan mewarisi mereka dengan sampah?
Baca juga:
Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
Sano, Sang Pencetus Diet Kantong Plastik