• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

About Me



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




Bandung Zero Waste

Gaya Hidup Nol Sampah untuk Wujudkan Indonesia Bebas Sampah

  
bandung zero waste
sumber: azocleantech.com

 Waspada, Gagal Paham Ecobrick!

Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengirim makanan bergizi, pemerintah malah menyiapkan makanan/minuman manis, maka apa yang akan terjadi?

Dalam sekejap mereka akan merasa kenyang bukan? Namun sesudah itu rasa lapar akan menjadi-jadi. Mereka akan terus-terusan mencari makanan/minuman manis. 

Peristiwa tersebut tak akan terjadi apabila sejak awal mereka mengonsumsi nasi dan lauk pauk bergizi serta segelas air putih.

Kurang lebih demikian analogi keberadaan ecobrick. Aktivitas yang mengasyikan ini sangat melenakan, sehingga bukannya mengurangi sampah, masyarakat malah justru produktif menghasilkan sampah.

Akhirnya target Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2018, yaitu: Indonesia Bersih Sampah 2025, jadi jauh panggang dari api. 

Baca juga:

5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan

Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities

Daftar Isi:

  • Jauh Panggang dari Api, Indonesia Bersih Sampah 2025
  • Apa Salah Ecobrick?
  • Cara Mudah Menuju Indonesia Bebas Sampah

Indikatornya mudah, bisa dilihat dari aktivitas truk sampah dari Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Apakah jumlah sampah yang dibuang berkurang? Atau malah bertambah banyak?

Ternyata bertambah parah. Menurut bandung.kompas.com, akibat antrean panjang, para supir truk menghabiskan waktu 24 jam untuk membuang sampah dari TPS ke TPA. Sementara dalam kondisi normal, para sopir bisa mengangkut sampah  2-3 kali/hari.

Ah itu kan kasus sampah Bandung dan sekitarnya.

Ups percayalah teman, sejak longsornya TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005, yang memakan korban 143 warga, mengubur 71 rumah dan 2 kampung, kemudian disusul “Bandung Lautan Sampah” karena TPA ditutup. Warga Bandung bertekad tak ingin peristiwa memilukan dan memalukan tersebut, terulang lagi.

Karena itu, muncul berbagai program penanganan sampah, seperti: program biodigester (mengubah sampah menjadi gas untuk memasak), Gerakan Diet Kantong Plastik (GDKP), Bandung Food Smart City  serta tentu saja program Zero Waste Cities.

Dari beberapa program di atas, bisa disimpulkan bahwa aktivitas pembuatan ecobrick sangat bertentangan dengan rules yang selama ini berjalan, bukan?

Apa Salah Ecobrick?

Mmm……masih gak paham, nih.

Baik, begini ceritanya. Ecobrick konon ditemukan oleh Rusel Maier seorang seniman Kanada di Filipina. Dibuat dari botol bekas air mineral yang diiisi sampah plastic, ecobrick biasanya disusun meja, kursi, dan dinding suatu bangunan.

Bisa dilihat, aktivitas ini mengutamakan proses ke 3 dari slogan 3 R, yaitu: Reduce, Reuse dan Recycle. Recycle merupakan gerbang terakhir ketika kita  “terpaksa” menghasilkan sampah.

Dikatakan “terpaksa”, karena kita telah mencoba “reduce” dan “reuse dulu. Atau dengan kata lain, jangan melompat ke proses “recycle” untuk mengatasi masalah sampah.

Apabila dirangkum, berikut ini beberapa penyimpangan ecobrick yang bertentangan dengan tujuan Indonesia Bebas Sampah.

1. Salah Nama

Sejak awal penamaan ‘ecobrick’ telah salah. “Brick’ artinya bata, sedangkan ‘eco’ berasal dari bahasa Yunani oikos (tempat hidup) yang dikemudian hari digunakan untuk membahas mahluk hidup dan lingkungannya. Sementara kita tahu, bahan baku ecobrick bukanlah mahluk hidup.

Jadi, mengapa menggunakan kata “ecobrick”? Entahlah, mungkin karena penemunya seorang seniman, bukan ilmuwan di bidang lingkungan hidup.

2. Gula-gula Ecobrick 

Pembuatan ecobrick hanya menunda masalah. Mirip analogi makanan/minuman manis di atas, semula masalah sampah nampak beres, namun kemudian pelaku aktivitas ecobrick akan merasa ‘lapar sampah’. 

Alih-alih melakukan step pertama dari 3 R, yaitu: Reduce, mereka akan terus-terusan ‘nyampah’ karena mereka berpikir: “Toh nanti bisa dipakai untuk ecobrick’.

Padahal kita tahu. kunci penyelesaian masalah sampah adalah perubahan gaya hidup. Selama gaya hidup tak berubah, masalah sampah tak kunjung teratasi, bahkan akan bertambah parah.

3. Rawan Penyelewengan

Mengenal dekat dengan beberapa pelaku kerajinan sampah plastik, saya kerap menemukan penyelewengan.

Biasanya terjadi ketika permintaan produk meningkat, sementara mereka tak punya stok sampah. Atau ada kalanya konsumen meminta warna tertentu yang tak dimiliki pelaku kerajinan.

Demi memenuhi pesanan, para pelaku kerajinan ini mengambil jalan pintas, mereka membeli produk baru, menuang isinya ke ember, kemudian membuat kerajinan dari kemasan produk baru tersebut.

Serem banget ya?

bandung zero waste
sumber: instagram.com/@mariagsoemitro


4. Menghambat Ekonomi Keberlanjutan

Pernah melihat botol air mineral di atas? Merupakan upaya salah satu perusahaan yang terkenal dengan slogan “One Planet One Health” untuk mewujudkan circular economy atau ekonomi yang berkelanjutan.

Caranya dengan mengumpulkan sampah botol mereka, kemudian memprosesnya hingga layak digunakan ulang/sesuai standar kemasan air minum.

Dengan adanya aktivitas ecobrick, perusahaan lain yang seharusnya mengikuti langkah tersebut jadi malas. Sementara sumber daya alam semakin menipis. Generasi mendatang membutuhkan sumber daya alam yang sama untuk keberlangsungan hidup mereka.

5. Pemerintah akan Menganggap Masalah Sampah Sudah Teratasi

“Masyarakat sudah mengolah sampah, kok,” demikian kira-kira pendapat pemerintah saat melihat aktivitas pembuatan ecobrick. Mirip analogi masyarakat kelaparan yang ngemil makanan manis dan minum es sirup.

Padahal seperti telah diuraikan di atas, masalah sampah hanya tertunda. Sampah hanya berubah bentuk dari tumpukan sampah menjadi tumpukan ecobrick.

Keberaan aktivitas ecobrick membuat pemerintah lalai. Mereka melupakan tanggungjawab melaksanakan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, yang esensinya mengubah perilaku masyarakat agar mau memilah sampahnya.

Cara Mudah Menuju Indonesia Bebas Sampah

Daripada ngemil makanan manis, mengapa tidak makan nasi dan lauk pauknya?  Daripada membuat ecobrick, mengapa tidak memilah sampah? Dengan memilah sampah dan mengompos sampah organik, masyarakat telah menyelesaikan sekitar 50 persen sampah di rumahnya sendiri.

Mengompos itu mudah, bahkan andaikan Anda tidak memiliki lahan. Akan saya tulis lain kali ya? Selain memilah sampah, 3 cara mudah di bawah ini akan berkontribusi mengurangi jumlah sampah sejak awal (di hulu), karena ketika sampah telah keluar rumah, akan sulit diatasi.

   

bandung zero waste
sumber: maria-g-soemitro.com

1. Pilih Belanja Curah, Hindari Kemasan Sachet

Di atas adalah contoh kemasan sachet. Ada lapisan alumunium bukan? Nah perusahaan recycle hanya memproses bahan yang sama, misalnya plastic jenis A dengan jenis A. Kertas dengan kertas. Demikian seterusnya.

Lapisan alumunium sulit dilepas dari plastik, biaya keekonomiannya terlalu tinggi. Jalan satu-satunya memusnahkan sachet seperti itu hanya dengan dibakar, yang kita semua tahu akan mencemari lingkungan.

Cemilan berukuran besar seperti Chitato, Chiki dan lainnya juga menggunakan kemasan berlapis alumunium agar produk mereka tetap krispi. Jadi, mengapa tidak belanja cemilan curah dan menyimpannya dalam toples kedap udara?

  

bandung zero waste
sumber: ypbb.bandung

2. Gunakan Kantong Plastik Semaksimal Mungkin

Sulit melepas kebiasaan menggunakan kantong plastik? Gak apa apa kok. Keberadaan plastik memang sulit tergantikan bahan lainnya. Plastik memiliki sifat lentur, ringan, anti air dan masih banyak lagi.

Yang harus kita hindari adalah pemakaian plastik sekali pakai. Jadi simpanlah kantong plastik untuk digunakan ulang, kemudian gunakan semaksimal mungkin atau sampai plastik tersebut sobek.

Kantong plastik yang kotor bisa dicuci, gantung hingga kering dan gunakan lagi (gambar di atas).

3. Gunakan Tumbler

Jika punya tumbler, mengapa harus nyampah botol plastik? Gak penting banget kan? Terlebih pasar menyediakan tumbler beraneka bentuk dan warna.

Ini bukan soal kemampuan membeli air mineral dalam kemasan (AMDK), tapi soal kepedulian kita akan generasi yang akan datang.

Apakah kita akan mewarisi sumber daya alam yang terkelola dengan baik? Ataukah kita akan mewarisi mereka dengan sampah?

Baca juga:

Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan

Sano, Sang Pencetus Diet Kantong Plastik


Wrote by Maria G Soemitro

      
maria-g-soemitro.com

5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan

“Say no to Plastics” Demikian bunyi  banner yang kerap bersliweran di hari peringatan lingkungan hidup. Aneh juga ya, kok plastik dibenci sedemikian rupa? 

Bukankah barang di sekeliling kita terbuat dari plastik? Mulai dari kran air, ember, ponsel, peralatan makan, bahkan meja, kursi, lemari dan pintu yang dulu terbuat dari kayu, kini juga berbahan plastik.

Bukan tanpa sebab produsen memilih plastik untuk produknya.

Yang pertama adalah murah. Yep, dibanding bahan baku lain, harga plastik sangatlah murah, karena merupakan residu bahan bakar minyak yang dulu dibuang dan diproduksi secara massal. 

Baca juga:
Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities

Sampah Organik Jadi Biogas? Kenapa Enggak?

Daftar Isi:

  • Mengapa Kita Harus Menolak Plastik?
  • Sebetulnya Mahluk Apa sih Plastik Itu?
  • 5 Langkah Kecil Menolak Plastik

Keunggulan lain plastik adalah ringan, kuat, fleksibel, dan tahan karat. Berkat adanya plastik, BUMN pengelola dan penyalur kebutuhan masyarakat seperti listrik, air dan BBM bisa menekan biaya penyaluran semurah mungkin.

Mudah dibentuk merupakan kelebihan plastik lainnya. plastik bisa dibentuk menjadi menjadi bahan transparan, tembus cahaya, dan buram. Digunakan untuk membangun rumah, furnitur, dan lapisan pengaman pada kabel dan pipa.

Plastik juga tahan air, penyerap goncangan, tahan korosi, tidak mudah terurai dan dapat digunakan kembali untuk jangka waktu yang lama.

 


Sebetulnya Mahluk Apa sih Plastik Itu?

Sayangnya, justru karena tidak mudah terurai, selain menjadi sahabat, plastik juga menjadi “musuh” manusia. Sampah plastik mencemari daratan dan lautan. Bahkan Indonesia mendapat “penghargaan” sebagai Indonesia pencemar laut terbesar kedua di dunia, sesudah Tiongkok.

Sebetulnya, apa sih plastik itu? Kok bisa jadi trouble maker yang mengancam keberlanjutan bumi? Dikutip dari beberapa sumber, plastik terbuat dari bahan mentah seperti gas alam, minyak atau tumbuhan, yang disuling menjadi etana dan propana. 

Etana dan propana kemudian diolah dengan panas dalam proses yang disebut “cracking” yang mengubahnya menjadi etilena dan propilena. Bahan-bahan ini digabungkan bersama untuk membuat polimer yang berbeda.

Nah, kita menyebut polimer sebagai plastik, si tertuduh pemicu perubahan iklim. Karena sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.

Menurut Aliansi Zero Waste Indonesia, sekitar 9.52 juta ton sampah plastik dihasilkan Indonesia pada tahun 2019. Jumlah yang sangat banyak, mengingat plastik dan bahan tambang lainnya tidak mudah terurai di alam.

Kok bisa?

Yup, microorganism pengunyah sampah organic yang menjadi aktor proses biologi sampah, ternyata gak doyan sampah plastic dan bahan tambang lain.

Plastik hanya bisa terdegradasi melalui proses fisika, atau hancur berkeping-keping menjadi mikroplastik yang mencemari lingkungan. Mikroplastik tak kasat mata, tapi ADA!  

Serem kan? 

Belum cukup serem, dalam proses pembuatan plastik  tertentu ditambahkan  senyawa yang berpotensi berbahaya seperti zat penstabil atau pewarna. 

Salah satu contohnya adalah phthalates dalam produksi PVC. Salah satu penggunaan PVC adalah untuk membuat mainan anak-anak. Sementara kita ketahui, sebagian besar alat permainan anak-anak tidak menyantumkan komposisi bahan baku produksi.

Nampaknya butuh bahasan khusus tentang PVC ini ya?

 

maria-g-soemitro.com
sumber: waste4change

5 Langkah Kecil Menolak Plastik

Apa yang bisa kita lakukan agar bumi layak dihuni hingga generasi mendatang. Minimal terapkan 5 langkah mudah berikut:

 

maria-g-soemitro.com

Selalu Bawa Reusable Bag

“Kecelakaan” di perjalanan seperti berbelanja tanpa rencana bakal jadi merepotkan jika kita berniat menolak kantong plastik. Terlebih kerap terjadi, kita mampir ke minimarket/supermarket untuk membeli 1 produk, eh malah membengkak jadi 10 produk. Alasannya: “Mumpung lagi diskon!” 😢😢😢

Jika sudah begitu, apa boleh buat, saat itu kita jadi “gagal diet kantong plastik. 

Untuk mengantisipasi hal tersebut, saya selalu membawa reusable bag seperti gambar di atas. Reusable bag yang saya gunakan biasanya merupakan goodie bag yang lumayan banyak tertumpuk di rumah. 

Aksi reduce dari prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) merupakan cara termudah. Jika produk plastik sudah kadung diterima, akan sulit mengelola sampahnya.

   

maria-g-soemitro.com

Gunakan Ulang Plastik dan Kantong Plastik

David Sutasurya dan team YPBB Bandung punya cara ekstrim untuk menggunakan ulang plastik, yaitu dengan mencuci kemudian menjemurnya.

Untuk beberapa kasus, saya sering meniru cara ini, seperti menggunakan plastik buah untuk sayuran, atau untuk membungkus bumbu yang telah dikupas agar baunya tidak mengkontaminasi isi kulkas.

Harus diakui, cukup sulit mengurangi penggunaan plastik. Jika di supermarket saya bisa menghindari dengan menggunakan satu kantong plastik untuk beberapa item, tidak demikian halnya di tukang sayur.

“Dari sananya udah dibungkusin, neng, “ kata Mang Sayur. Sehingga apa boleh buat, saya mengumpulkan semua plastik dan kantong plastik kemudian memberikan ke tukang sayur. Harapannya agar bisa digunakan ulang dan dia tidak perlu membeli kantong plastik.

   

maria-g-soemitro.com

Menolak Air Mineral dalam Cup

Entah sejak kapan Indonesia dibanjiri air minum dalam cup ini.  Yang pasti keberadaannya “sangat membantu”. Pemilik rumah gak repot lagi menyediakan air minum ketika tamu datang, dan penyelenggara pernikahan bisa mengurangi gelas minum yang rawan pecah.

Namunnnn….., tau gak pesta bergengsi justru menggunakan gelas kaca untuk air minum? Selain biaya cateringnya jadi lebih mahal, banyak pihak menganggap penggunaan gelas kaca “lebih sopan”.

Dalam sekejap cup berubah jadi sampah, demikian alasan saya menolak air minum dalam cup.  Bahkan andai air minum dalam cup belum habis, karena sulit dibawa, cup air minum akan dibuang.

  


Selalu Membawa Tumbler

Konsekuensi menolak air minum dalam cup adalah harus selalu membawa tumbler. Terlebih sewaktu masih rutin datang ke komunitas pengelola sampah, gimana mau ngajak masyarakat menolak sampah kalo saya sendiri nyampah? 

Kebiasaan saya ini berbuah manis. Sekretaris Kecamatan Cibeunying Kaler rupanya memperhatikan kebiasaan saya tersebut. Beliau merekam aktivitas yang saya lakukan untuk mengurangi sampah.

Kebiasaan tersebut serta beberapa aksi lain untuk mengatasi perubahan iklim, diterapkan Pak Yudi sewaktu yang bersangkutan diangkat menjadi Camat Sukajadi.

Buahnya manis, Pak Yudi termasuk beberapa camat lain yang berhasil memenangkan penghargaan dari Kang Emil, nama panggilan Ridwan Kamil yang kala itu masih menjabat sebagai Walikota Bandung.

 

maria-g-soemitro.com

Selalu Memilah Sampah Plastik

“Diduga kebakaran terjadi dari gas yang berasal dari sampah makanan di dalam plastik,” demikian kurang lebih penjelasan pakar lingkungan mengenai longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005.

Penjelasan yang masuk akal sih. Dari video di sini bisa terlihat selalu ada asap keluar dari tumpukan sampah. Diduga asap tersebut merupakan gas metan yang keluar dari sampah makanan yang terperangkap sampah plastik.

  



Seperti diketahui, produksi gas metan bak 2 mata pisau. Bisa menjadi salah satu jenis gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global. Namun bisa juga digunakan sebagai bahan bakar memasak di dapur.

Atau kurang lebih, penjelasan sederhanyanya, telah terjadi pembakaran akibat gas metan. Akibatnya, sampah yang semula dipadatkan petugas TPA, sesudah terbakar gas metan menjadi longgar, sehingga terjadilah longsor Leuwigajah.

Karena itu penting banget memisah sampah makanan dari kantong plastik. Langkah sepele yang dapat menyelamatkan umat manusia.

Nah itu 5 langkah kecil yang sangat mudah diaplikasikan. Langkah yang berubah menjadi kebiasaan. Karena seperti Persib yang menjadi agama kedua Urang Bandung, zero waste lifestyle juga bisa menjadi agama kedua, yang jika ditinggalkan akan menimbulkan rasa tidak nyaman.

Percaya deh.

Baca juga:
Lautku Bebas Sampah, Mungkinkah?

Sano, Sang Pencetus Diet Kantong Plastik

Wrote by Maria G Soemitro
source:abnamro.com

Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di AS, Eropa, Asia, dan seluruh dunia. Untuk kawasan Australia, Dr. Daniel Knapp dari Urban Ore, Berkeley, CA melakukan tur sejak tahun 1995.  Serangkaian pembicaraan dilakukan dengan pemerintah, bisnis dan warga kota besar tentang  cara memaksimalkan penggunaan bahan, meminimalkan pemborosan sumber daya dengan menggunakan kembali , daur ulang, dan komposting.

Apa yang dibicarakannya merupakan titik awal ide circular economy, sistem ekonomi yang meniadakan waste/sampah karena hasil proses suatu produk harus bersinergi dengan proses berikutnya.


Sekarang, Zero Waste menjadi  standar untuk organisasi lokal, nasional dan internasional. Termasuk banyak asosiasi Zero Waste  lokal di seluruh AS.  Aliansi Anti Insinerasi Global di AS, Eropa dan Asia serta Greenpeace AS dan Internasional semuanya berkumpul di bawah bendera Zero Waste.

Keberpihakan  konsep Zero Waste cocok dengan kegiatan dinamis di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Austin serta yurisdiksi yang lebih kecil seperti Gainesville / Alachua County, FL. Di kota-kota tersebut kekuatan warga  mengalahkan keinginan pemerintah untuk membangun insinerator sampah.

Bagaimana dengan Indonesia?

Melalui KemenLHK, Indonesia mencanangkan  “Indonesia Bergerak Bebas Sampah 2020”, agar tidak lagi menjadi pembuang sampah kedua  di lautan. Sesuai penelitian  Jenna Jambeck yang telah dipublikasikan pada Jurnal Science (www.sciencemag.org) pada 12 Februari 2015.
Namun tidak ada perubahan signifikan. Truk sampah masih berbondong-bondong ke TPA, masyarakat masih membuang sampah sembarangan dan sungai dipenuhi limbah padat berlapis-lapis.

 “Masalahnya bukan rentang waktu,” ujar  Direktur YPBB Bandung, David Sutasurya, ”melainkan tidak adanya perubahan cara pengelolaan sampah. Selama masih menerapkan  ‘kumpul, angkut, buang’, target puluhan tahunpun akan percuma”.

Di sore berangin, usai hujan, saya mengobrol dengan David di kantornya yang asri, Jalan Rereng Barong nomor 30 Bandung.  YPBB Bandung merupakan organisasi non pemerintah yang sejak tahun 1993 aktif berkampanye  dalam mewujudkan  zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.
David Sutasurya juga merupakan salah satu Dewan Direktur Bebassampah.Id yang sukses menyelenggarakan “International Zero Waste Cities Conference” pada 5- 7 Maret 2018 di Kota Bandung.

Jadi, harus bagaimana?

source: least.waste

“Apa sih pengertian sampah?” tanya David.
“Hmm.... sisa-sisa aktivitas manusia,” jawab saya. Ragu.
“ Betul, sampah merupakan  konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari aktivitas manusia,” lanjut David. “Sejak dulu kita terbiasa membuangnya ke alam”.

Alam mampu  mengelola sampah secara berkelanjutan.  Terbukti selama jutaan tahun  tidak ada sampah menumpuk. Bila tidak, pastinya  bumi sudah dipenuhi tumpukan daun kering serta kotoran hewan dan manusia.

Masalah sampah baru muncul setelah bahan tambang dan bahan sintetis ditemukan serta diproduksi  secara massal.   Plastik, misalnya, baru sekitar 150 tahun silam,  sejak pertama ditemukan tahun 1862 oleh Alexander Parkes.

Berbagai jenis serangga dan cacing dapat menguraikan sampah organik menjadi bahan-bahan yang berguna bagi tumbuhan. Tapi tidak ada bakteri atau cacing atau jamur yang dapat memanfaatkan plastik sebagai bahan makanannya.

Logam dan plastik lama-lama akan hancur. Tetapi tidak terurai di alam. Faktor   fisik seperti suhu, sinar matahari, kelembaban dan tekanan udara hanya membuat sampah logam serta  plastik menjadi lebih rapuh.

Yang terjadi kemudian lebih menakutkan,  logam berkarat karena proses reaksi dengan oksigen di udara menjadi oksida logam. Bahan ini menjadi racun yang mengganggu   kesehatan makhluk hidup.
Sedangkan plastik menjadi rapuh.  Namun alam tidak mampu memurnikannya. Hanya membuat plastik hancur menjadi potongan-potongan kecil yang disebut nurdles/ mikroplastik. Potongan kecil ini tersebar di tanah dan di laut dan sering termakan oleh hewan-hewan. Mikroplastik akan menumpuk dalam tubuh mahluk hidup kemudian  masuk ke dalam siklus makanan. Mengganggu proses metabolisme tubuh.

“Bagaimana dengan kantong plastik ramah lingkungan yang konon bisa hancur dalam waktu 2-3 bulan?” tanya saya sambil membayangkan timbunan mikroplastik dalam tubuh saya,  tubuh orang –orang yang melintas di depan kantor. Dan, ah juga di tubuh anak balita yang menggemaskan. Sungguh mengerikan!

“Salah kaprah itu.  Mereka menyebut kantong plastik  ramah lingkungan hanya  karena ditambah zat aditif agar mudah hancur menjadi mikroplastik. Seharusnya yang dimaksud kantong  ramah lingkungan adalah tas kain yang bisa digunakan berulang kali”.

source: gaia

Jadi, apa  solusinya?
We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them (einstein)

Harus ada perubahan. Karena kita tidak mungkin menggunakan  cara sama dengan sebelum bahan tambang serta bahan sintetis digunakan secara global dan masif.
Tidak bisa lagi menerapkan sistem sentralisasi pengelolaan sampah seperti sekarang. Yaitu, mengumpulkan sampah, mengangkutnya untuk dibuang ke TPA. Banyak kerugian yang muncul akibat sentralisasi.
·         Sampah berceceran dan berterbangan. Sampah dalam proses pengangkutan juga meresahkan warga masyarakat yang melintas. Seorang teman yang tinggal di Bekasi berkisah,  setiap pagi harus  berpapasan dengan truk sampah yang melintas. Bau busuk  tercium hingga  ratusan  meter. Air lindinya berceceran. Menjijikkan.
·         Biayanya lebih mahal dibanding sentralisasi. Tidak hanya meliputi biaya angkut, juga tipping fee. Bahkan DKI Jakarta harus menyiapkan dana hibah kemitraan berjumlah triliunan ropiah.
·         Tidak berkelanjutan. Bumi hanya satu. Jumlah manusia bertambah banyak.  Lahan kosong semakin mengecil.  Di masa depan tidak ada lagi lahan untuk menimbun sampah seperti sekarang.

Bagaimana dengan alternatif “waste to energy” atau membangun pembangkit listrik tenaga sampah?

Kerugian yang dialami akan  sama dengan cara “kumpul, angkut, buang” seperti yang kini berlangsung. Bahkan lebih buruk. Biaya per ton  pengolahan “waste to energy”  sangat mahal. Yaitu Rp 811.902.000/ton, biaya  proses “kumpul, angkut , buang” sampah Rp 776.235.000/ton, sedangkan biaya sampah cara desentralisasi hanya Rp 329.205.000/ton.
Parahnya  lagi, menurut Dwi Sawung dari Dewan Nasional Walhi, biaya produksi sampah menjadi listrik mencapai Rp 18 sen/kwh. Sementara PLN hanya sanggup membayar Rp 6,8 sen/kwh. Nah lho?

Jadi, pilihan yang terbaik adalah desentralisasi pengolahan sampah?

Ya, desentralisasi sampah berarti mengelola sampah dari rumah. Sampah dipisah dan diolah, hanya yang mengandung residu dibuang ke tempat penampungan sampah. Jauh lebih murah dan tidak menimbulkan bau yang meresahkan masyarakat.

Bagaimana bisa dilakukan jika belum ada contoh?

Banyak contoh di Indonesia.   YPBB sudah memulai dengan membuat kawasan percontohan bebas sampah di RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung. Kemudian, ada 2 program di Kota Bandung.

·         Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. Setiap KBS akan didampingi selama sekitar 6  bulan. Targetnya seluruh kelurahan di Kota Bandung akan menjadi kawasan bebas sampah.

·         Zero Waste Cities. Merupakan program bersama YPBB Bandung dengan Mother Earth Foundation, dengan sasaran kawasan Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi.   Berlangsung multi years, karena goalnya tidak hanya partisipasi masyarakat, juga perubahan tingkah laku/budaya.

Bagaimana pelaksanaannya? Rumitkah?

Tidak rumit. Yang pertama kali  dilakukan tentunya riset, kemudian pembentukan dewan pengelola sampah kelurahan, pengembangan desain sistem pengelolaan sampah, sampai pengawasan dan penegakan hukum.
1.       Riset
Salah satu riset yang dilakukan adalah mendata jumlah sampah yang dihasilkan suatu kawasan. Ini penting untuk mengetahui keberhasilan program. Contohnya, setiap hari sampah yang dihasilkan warga Babakan Sari mencapai 24 ton dan  diangkut lima truk. Jika periode awal berhasil mengurangi sampah hingga   16 ton sampah, berarti hanya memerlukan  tiga truk atau penghematan sebesar  Rp 30-60 juta.
2.      Teknis 
          Setiap warga wajib memilah sampahnya menjadi empat jenis. ‎Yaitu sampah sisa makanan, sampah kebun, popok atau pembalut, dan sampah campuran.

Di TPS, empat jenis sampah itu akan dipilah lagi menjadi delapan hingga sembilan jenis. Sampah yang tidak bisa didaur ulang ‎atau dijadikan kompos, dibawa ke TPA.
1.       Dewan Pengelola Sampah
Dewan Pengelola Sampah sangat menentukan keberhasilan program. Seorang Ketua Rukun Warga (RW) bisa menggunakan otoritasnya. Jika ada warga yang tidak memisah sampah, maka akan terkena sanksi sampahnya tidak diangkut.
Ketua RW Kota Bandung  juga memiliki kewenangan membuat pos pengelolaan  sampah dari anggaran PIPPK sebesar Rp 100 juta, yang naik menjadi Rp 200 juta/tahun sejak  tahun 2018. Sedangkan Ketua RW Kabupaten Bandung bisa menganggarkan dari dana desa.
Selain itu, ada  atau tidaknya lahan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sangat bergantung ketua RW dalam memainkan perannya.
2.      Pengembangan desain sistem pengelolaan sampah
Setiap daerah memiliki ciri khas dan kecenderungannya masing-masing. Di Kota Bandung, KBS  Sukaluyu berbeda KBS Babakan Sari. Perbedaan akan makin menyolok di kawasan Kabupaten Bandung.

Di Soreang Kabupaten bandung, misalnya, sampah organik dimasukkan ke dalam lubang sampah komunal. Mudah dilakukan karena umumnya warga  memiliki tanah pekarangan yang luas. Juga masih banyak tanah kosong.

Berbeda dengan kawasan perkotaan. Harus cerdik memanfaatkan lahan dan teknologi. Seperti  KBS Sukaluyu yang  membagi pengolahan  sampah organik dalam 2 jenis, yaitu:
·         Biodigester. Ada 5 biodigester atau instalasi pengolah sampah menjadi gas metan untuk memasak. Secara periodik, pengangkut sampah di KBS Sukaluyu memasukkan sampah organik yang lunak seperti kulit pisang, nasi sisa sayuran ke dalam tong biodigester berkapasitas 10 – 15 kg.  Api yang dihasilkan bisa untuk memasak selama tiga jam nonstop.
·         Komposter. 13 titik komposter digunakan untuk mengompos sampah organik yang keras   seperti bonggol jagung atau dedaunan kering. 


        Apakah ada masalah di lapangan?

“Hambatan pasti ada,” jawab Tiwi, salah seorang staff YPBB yang bertugas memberi penyuluhan pada warga di KBS. “Misalnya terkadang lupa memisah sampah”.
“Agak kesel jika ada yang ngeyel sambil nanya, mana undang-undang memisah sampah?” lanjut Tiwi.
David tertawa.
“Iya, kelemahannya disitu. Tidak ada regulasi yang mengharuskan   warga  memisah sampah. Isi peraturan hanya menyasar pihak swasta dan pemerintah. Karena itu sedang kita perbaiki dari perda ke perda,” kata David.

Seberapa optimis David akan program desentralisasi sampah?

Sangat optimis. Dalam “International Zero Waste Cities Conference” kemarin kan kita mendengar bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Perancis dan USA telah menerapkan desentralisasi sampah. Untuk negara berkembang, ada India dan Filipina.

Jumlah sumber daya alam yang semakin berkurang juga memaksa negara meninggalkan sistem perekonomian yang lama. Dari ekonomi  liner, berubah menjadi ekonomi  reuse/recycle dan berakhir ekonomi sirkuler.

Saya berkisah, dalam field trip Danone Blogger Academy tanggal 13 September kemarin mengunjungi  Rukun Santosa, suatu  unit usaha yang mengolah sampah plastik sebagai pengisi lembaran tas, dompet serta berbagai produk lainnya.



“Itu termasuk recycling economy,” jawab David. “Nanti, jika semua kemasan bisa diproses hingga tak ada lagi yang dibuang ke alam, barulah kita masuk fase ekonomi sirkuler. Karena itu sudah saatnya stop penemuan useless,  mulai mencari inovasi agar tidak ada lagi sampah yang dibuang”.
“Dan Indonesia bebas sampah, tidak hanya slogan?”
“Iya, dunia bebas sampah juga akan terwujud. Bersih sampah merupakan dampak lanjutan dari cara pengelolaan sampah yang benar”.

Saya mengangguk.

Tetes hujan kembali merinai.








Wrote by Maria G Soemitro


Forum whatsapp grup (WAG) “Bandung Juara Bebas Sampah” (BJBS)  sedang gundah gulana.  Untuk menyelesaikan sampah Sungai Citarum, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil berketetapan membangun 50 titik insinerator atau alat membakar sampah. (sumber) Dukungan penuh sudah didapat dari pemerintah pusat.

Bak Makan Buah Simalakama
Sebagai forum yang selalu mendukung pembangunan berkelanjutan, BJBS bukannya ngga paham. Apa yang sedang dialami kang Emil, panggilan Ridwan Kamil, bak makan buah simalakama. Agar sampah tidak mengalir ke lautan, Sungai  Citarum harus dikeruk.  Sekarang setiap harinya,  ekskavator mengangkat sampah dan sedimen sebanyak   100 kg-150 kg. Jumlah sampah akan bertambah jika pemerintah pusat sudah mengirimkan ekskavator bantuan.

Apa yang harus dilakukan dengan sampah hasil pengerukan?

Sungguh suatu dilema yang membuat kepala puyeng. Solusi termudah memang dibakar. Karena itulah Kang Emil mengajukan 50 titik pembakaran sampah.

 Sayangnya, aktivitas membakar sampah  berarti melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Bunyi pasal 29 ayat 1 butir g : "Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah".

Pastinya ada yang mendasari regulasi tersebut. Greeneration  Indonesia  yang digawangi  para alumni Teknik Lingkungan ITB menyatakan setidaknya ada 7  bahaya membakar sampah, yaitu:
  1. Gas buang dari proses pembakaran berpotensi mencemarkan lingkungan karena kandungan bahan beracun seperti substansi dioksin
  2. Gas buang merupakan pembawa sebagian besar CO2 penyebab pemanasan global
  3. Abu yang tersisa dari pembakaran mencapai 20% dari sampah yang dibakar ini termasuk juga kategori limbah B3, penggunaan insinerator tidak menjadi alternatif untuk landfill, namun justru dibutuhkan landfill khusus untuk limbah B3.
  4. Unsur merkuri akan trelepas ke udara dalam bentuk uap yang terbawa pada gas buang.
  5. Berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak dilengkapi degan pengolahan gas buang. Pembakaran sampah yang mengandung bahan atau limbah kimia akan melepaskan kandungan kadmium, timbal atau bahan-bahan yang berpotensi sebagai pencemar lingkungan.
  6. Diperlukan peralatan pengolah gas buang yang basah setelah proses pembakaran karena gas yang basah ini akan dapat merusak atau sebagia gas destruktif apabila lepas ke udara, oleh karena itu dihitung sebagai tambahan biaya dalam pemakaian incenerator
  7. Berpotensi pencemar emisi partikulat karena kandungan abu yang besar.
Ah, kita tinggalkan sejenak Kang Emil yang sedang berpening ria. Karena  apapun risikonya, kecenderungan membakar sampah selalu dilakukan. Terlebih di luar daerah, kawasan yang tidak tersentuh pembuangan sampah terorganisir. Timbunan sampah nampak di sepanjang jalan, di lahan kosong dan di saluran air.

Padahal jika dirancang dengan benar, alih-alih menjadi masalah, sampah organik  berpotensi sebagai bahan baku penghasil energi terbarukan.

Sedangkan sampah anorganik bisa diproses menjadi material sejenis. Plastik  diolah menjadi biji plastik. Kertas menjadi lembaran kertas lagi. Demikian pula dengan material  hasil tambang.

Energi Terbarukan
Adalah bakteri metanogen yang berjasa melepaskan biogas untuk memasak. Ketika sampah organik dimasukkan ke biodigester maka bakteri metanogen dengan senang hati akan melakukan fermentasi atau proses metanisasi.

Proses fermentasi terjadi tanpa oksigen (anaerob). Biogas yang dihasilkan  terdiri dari beberapa macam gas, yaitu  metana (55-75%), karbon dioksida (25-45%), nitrogen (0-0.3%), hydrogen (1-5%), hidrogen sulfida (0-3%), dan oksigen (0.1-0.5%). Persentase terbesar, metan merupakan  gas ini mudah terbakar dan dapat disamakan kualitasnya dengan gas alam setelah dilakukan pemurnian terhadap gas metan.

Banyak keuntungan diperoleh jika rumah tangga di Indonesia mengolah sampahnya menjadi gas metan: 
  • Mengurangi ketergantungan.  LPG yang digunakan sebagian besar rumah tangga di Indonesia, tidak saja merupakan energi fosil yang cadangannya semakin tipis, juga merupakan  beban pemerintah.  Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah Indonesia  mengimpor 60 % dari total kebutuhan,  25.000 metrik ton per hari (sumber)
  • Secara periodik, pemerintah terpaksa menaikkan harga LPG. Pastinya memberatkan masyarakat miskin, terlebih masyarakat pedalaman, mereka harus membayar 2 x lipat. Sementara energi terbarukan yang berasal dari sampah dapat diperoleh gratis. Selama manusia menghasilkan sampah,  bakteri metanogen dengan setia akan memproduksi biogas.
  • Solusi sampah organik.  60 - 70 % sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia merupakan sampah organik.  Penggunaannya sebagai energi terbarukan akan menyelesaikan sebagian masalah sampah di Indonesia.
  • Solusi pemanasan global. Tanpa dikoordinir menjadi biogas untuk memasak, maka gas metan akan menjadi bagian gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Penggunaan biogas sebagai bahan bakar, sudah dimulai di Kota Bandung sejak tahun 2016. Dipopulerkan oleh Arifin Panigoro yang menghibahkan 100 biodigester sampah,  Kini, hanya beberapa yang masih beroperasi. Penyebabnya sederhana, pengguna masih belum terbiasa memisah sampah, sehingga sering ditemukan sampah anorganik dalam tabung biodigester.

Energi Muda dan Pembangunan Keberlanjutan
Dengan slogan Energi Muda,  Koaksi  Indonesia bergerak untuk percepatan energi terbarukan di Indeonesia.  Koaksi  Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang memiliki agenda pembangunan berkelanjutan di seluruh Nusantara.

Ketika masalah dipetakan, ada sampah yang tak kunjung habis dibahas namun belum juga memperoleh  titik temu. Ada  banyak inovasi energi  terbarukan, diantaranya menjadikan sampah sebagai bahan baku biogas.  Maka terlihat ada banyak ruang kosong.

Masyarakat belum teredukasi perihal sampah. Gagap memperlakukan sampah modern yang baru muncul seabad silam, sementara berjuta tahun sebelumnya , bumi aman dan tentram. Tidak mengenal keresek, botol bekas air mineral, terlebih styrofoam.

Kaum muda kerap menjadi ikon pembaruan.  Ketika sampah dan energi  menjadi fokus mereka, berbondong-bondong anak muda lain meniru. Menganggap sebagai trend bergengsi.

“Gue ngga nyampah lho”

“Sampah gue jadi nyala api. Bikin emak happy masak di dapur”.

Teknologi digital bisa banget membuat terobosan. Perekrutan relawan untuk kampanye memisah sampah hingga pelosok tanah air. Serta aplikasi yang menghubungkan tempat penyedia biodigester, mereka yang membutuhkan serta tim yang mengedukasi pengguna biodigester.


Sehingga sungai – sungai di Indonesia tidak akan mengalami  nasib sama seperti Sungai Citarum. Tetap jernih dan menjadi sumber penghidupan. Sementara masyarakat tidak lagi mengeluh dengan kelangkaan LPG atau kenaikan harga LPG. Di dapurnya bertengger dengan anteng, kompor gas metan yang mendapat aliran biogas dari biodigester berisi sampah rumah tangga.


·    
Wrote by Maria G Soemitro
Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




LATEST POSTS

  • Rumah Kompos Di Antapani
    Rumah Kompos Bina Usaha Sejahtera (dok Maria G. Soemitro) Tulisan ini merupakan sequel dari dari : “Sekali Tepuk Dua Tempat” ...
  • 5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan
           5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan “Say no to Plastics” Demikian bunyi  banner yang kerap bersliweran di ha...
  • Stop Tayangan OVJ, atau Ganti Property !
    Anak anak tertawa Ibu ibu tertawa Para bapak juga tertawa Gara gara aksi Sule, Azis, Nunung, Andre dan Parto Bercanda...
  • Belajar Dari Pak Herry, Newbie di Persampahan
      lapak pak Herry Manisnya   bisnis persampahan nampaknya menarik minat pak Herry 3 tahun silam. Sebagai newbie, dia tak segan-...
  • Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu
    “Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah” Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau si...
  • International Plastic Bag Free Day, Emang Gue Pikirin........ ??
    Maukah Anda Berdiet Kantung Plastik? Hari Bebas Kantung Plastik Sedunia tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal  3 Juli 2011 . Tah...
  • Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro) Yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan disini t...
  • Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities
    source:abnamro.com Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di A...
  • Kisah Absurd Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    kantung plastik ramah lingkungan (dok. Maria Hardayanto) “Hai air, jangan banjir dulu ya………. Aku belum hancur nih. Waktu ur...
  • Kesejahteraan Pemulung Yang Terabaikan
    dok. Yayasan Kontak Indonesia Pemulung dinobatkan sebagai pahlawan lingkungan? Sudah sangat sering didengungkan. Khususnya karena...

Advertisement

Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
Maria G Soemitro
Lihat profil lengkapku

Waspada, Gagal Paham Ecobrick!

   sumber: azocleantech.com   Waspada, Gagal Paham Ecobrick! Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengiri...

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari (1)
      • ▼  Feb 22 (1)
        • Waspada, Gagal Paham Ecobrick!
  • ►  2022 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 28 (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 28 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 10 (1)
  • ►  2018 (2)
    • ►  April (2)
      • ►  Apr 18 (1)
      • ►  Apr 09 (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (2)
      • ►  Nov 23 (1)
      • ►  Nov 17 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 19 (1)
    • ►  Mei (3)
      • ►  Mei 20 (1)
      • ►  Mei 11 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Oktober (4)
      • ►  Okt 09 (4)
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 25 (2)
  • ►  2015 (61)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 14 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
    • ►  Agustus (8)
      • ►  Agu 18 (1)
      • ►  Agu 11 (2)
      • ►  Agu 09 (2)
      • ►  Agu 02 (1)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (16)
      • ►  Jul 31 (1)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 25 (1)
      • ►  Jul 19 (3)
      • ►  Jul 18 (2)
      • ►  Jul 15 (2)
      • ►  Jul 13 (2)
      • ►  Jul 07 (3)
      • ►  Jul 05 (1)
    • ►  Juni (16)
      • ►  Jun 30 (2)
      • ►  Jun 29 (2)
      • ►  Jun 28 (2)
      • ►  Jun 25 (2)
      • ►  Jun 24 (2)
      • ►  Jun 11 (1)
      • ►  Jun 10 (1)
      • ►  Jun 09 (1)
      • ►  Jun 06 (1)
      • ►  Jun 04 (1)
      • ►  Jun 03 (1)
    • ►  Mei (5)
      • ►  Mei 14 (2)
      • ►  Mei 03 (2)
      • ►  Mei 01 (1)
    • ►  April (1)
      • ►  Apr 24 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
    • ►  Februari (12)
      • ►  Feb 22 (1)
      • ►  Feb 21 (1)
      • ►  Feb 16 (2)
      • ►  Feb 11 (2)
      • ►  Feb 10 (1)
      • ►  Feb 09 (1)
      • ►  Feb 06 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
      • ►  Feb 03 (2)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 21 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
  • ►  2012 (20)
    • ►  Desember (2)
      • ►  Des 29 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 27 (1)
    • ►  September (5)
      • ►  Sep 21 (1)
      • ►  Sep 20 (3)
      • ►  Sep 07 (1)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (1)
      • ►  Jul 29 (1)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 25 (1)
    • ►  Mei (2)
      • ►  Mei 18 (1)
      • ►  Mei 17 (1)
    • ►  Maret (4)
      • ►  Mar 19 (2)
      • ►  Mar 17 (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 29 (1)
      • ►  Feb 14 (1)
  • ►  2011 (15)
    • ►  Oktober (2)
      • ►  Okt 13 (2)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 04 (2)
    • ►  Juli (2)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 09 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 31 (1)
    • ►  April (5)
      • ►  Apr 10 (1)
      • ►  Apr 07 (2)
      • ►  Apr 05 (1)
      • ►  Apr 03 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 16 (2)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 21 (1)
  • ►  2010 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 29 (3)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 12 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 26 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 05 (1)
  • ►  2009 (4)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 23 (2)
      • ►  Des 04 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 16 (1)

Label

3 R adipura B3 BandungJuaraBebasSampah bank sampah barang bekas BebasSampahId biodigester biogas debat ilmuwan ecobrick energi Environmental Sustainability Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik industri kreatif Iriana Jokowi kantong plastik kantung plastik keresek KESEJAHTERAAN lifestyle MASA DEPAN CERAH pengepul pengomposan PERENCANAAN KEUANGAN pernak pernik photography pilah sampah ramah lingkungan regulasi reparasi Reverse Vending Machine Ridwan Kamil sampah anorganik sampah organik solusi limbah sosok styrofoam SUN LIFE zero waste

Translate

Laman

  • Halaman Muka
  • green planet
  • Kaisa Indonesia

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Copyright © 2016 Bandung Zero Waste. Designed by OddThemes & Blogger Templates