• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

About Me



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




Bandung Zero Waste

Gaya Hidup Nol Sampah untuk Wujudkan Indonesia Bebas Sampah






Tanggal 20 Januari 2016 silam, saya berkesempatan mengikuti rapat pertanggung jawaban Bank Sampah Motekar. Suatu sub divisi yang dibentuk Kendal Gede Kreatif dan berdomisili di kelurahan Sukagalih kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Ini rapat tahunan kedua, dan berapa rupiah yang berputar dalam setahun?
Wow 51 juta rupiah!! Sangat lumayan bukan? Karena perputaran uang menandai meningkatnya perekonomian anggota. Anggota bank sampah tidak harus meminjam pada rentenir ketika membutuhkan dana untuk anggota keluarga yang sakit, biaya pendidikan, tambahan modal dagang hingga kemudahan membeli sembako. Iya, di sini anggota bisa membeli sembako dengan cara ‘bayar bulan depan’, salah satu manfaat dana bergulir yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Kisahnya berawal ketika pada tahun 2011, saya mengajak ibu-ibu yang berdomisili di dekat lahan Bandung Berkebun, untuk membentuk komunitas. Tujuannya untuk mengaplikasikan apa yang saya ketahui mengenai pengelolaan sampah berbasis komunitas. Sekaligus ‘bertaruh’ dengan keyakinan diri bahwa jika sampah diproses dengan benar pasti akan meningkatkan perekonomian anggotanya. Sayang, keyakinan awal saya terlalu tinggi. Proses mengolah sampah organik rupanya kurang diminati anggota yang terlanjur berbudaya instan dan berparadigma: “sampah itu kotor”. Penjualan kerajinan berbahan baku kemasan bungkus kopi, sama sekali tidak menguntungkan. Besar pasak daripada tiang. Sementara kebutuhan uang kas terus mendesak, agar operasional berjalan lancar dan berkelanjutan. Hingga akhirnya di tahun 2013, kamipun mencoba membentuk bank sampah yang disesuaikan dengan situsi dan kondisi.

Mengapa bank sampah? Pertimbangannya, setiap keluarga pasti memproduksi sampah anorganik (plastik, kertas, kaleng), daripada dijual ke tukang rongsok atau bahkan dibuang, lebih baik dikumpukan di bank sampah. Mirip jumputan beras yang dulu dilakukan di pedesaan untuk menghimpun dana. Bedanya yang dikumpulkan di perkotaan adalah sampah bukan beras. ^_^

Secara rinci tentang pembentukan bank sampah silakan klik di sini Yang membuat saya kagum kemudian adalah betapa kreatifnya mereka. Saya hanya memberi kisi-kisi secara garis besar dan menekankan pentingnya pembukuan. Serupiahpun tidak boleh lengah. Dan hasilnya?
Di tahun 2014, bank sampah Motekar membukukan perputaran uang sebesar Rp 35 juta kemudian tahun 2015, Rp 51 juta. Jumlah yang awalnya tidak saya percayai, tapi catatan mereka yang rapi menunjukkan bukti data yang akurat. Karenanya tak berlebihan jika di bawah ini saya memberanikan diri menulis kiat sukses mengelola bank sampah. Mirip rahasia sukses para trainer yang acap mengimingi sukses dengan uang investasi jutaan rupiah itu lho. Bedanya ini sih gratis. ^_^
·         Fokus pada tujuan. Apa sih tujuan membentuk bank sampah? Namanya bank ya harusnya merekrut anggota dengan berbagai macam cara bukan? Karena dari nasabahlah, uang berhasil dikumpulkan dan dikelola. Jika ada iming-iming mengolah sampah anorganik yang dikumpulkan, ya silakan membuat subdivisi baru. Tawaran ini memang menggiurkan, sekarung bekas air minum plastik akan bertambah nilainya jika telah dipisahkan berdasarkan jenis plastiknya. Harga sampah botol air mineral berbeda dengan harga tutup botolnya. Kegiatan yang memakan waktu ini bertentangan dengan misi bank sampah mengumpulkan anggota. Fokusnya sangat berbeda, jangan dicampur aduk.
·         Jangan terlalu kaku mengikuti pedoman. Kementerian Lingkungan Hidup merumuskan profil Bank Sampah lengkap dengan kriteria bangunan dan kegiatannya.Waduh, jika mengikuti petunjuk tersebut maka penduduk yang tinggal di pemukiman padat akan kesulitan membentuk bank sampah. Sedangkan produksi sampah tidak mengenal tempat, dihasilkan masyarakat di pemukiman padat maupun pemukiman tertata. karena itu pembentukan dan pengelolaan bank sampah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ada kasus, satu kelurahan di utara kota Bandung meminjamkan ruangannya untuk bank sampah salah satu RWnya yang berpenghuni amat padat. Karena baru berusia setahun kegiatan bank sampah tersebut masih berjalan lancar, tapi bagaimana jika RW lain menuntut pinjaman ruangan juga? Wah, bisa-bisa pengurus menjadi resah dan keberlangsungan bank sampahpun terancam.
·          Jangan terpaku ketokohan untuk memimpin bank sampah. Biasanya kordinator suatu program pemerintah adalah tokoh setempat. Atau dipilih karena senioritas. Bagus sih jika sang tokoh seorang yang moderat, tetapi menjadi sulit jika ternyata dia seorang otoriter yang tidak mau mendengar pendapat orang lain. Atau menetapkan aturan-aturan semaunya. Wah suasananya bisa ngga nyaman, dan akhirnya satu persatu anggota mundur.
·         Pembukuan harus transparan dan akuntabel. Kunci sukses bank sampah selain penambahan jumlah anggota adalah pembukuan yang transparan dan akurat. Kapan saja anggota bisa menanyakan setiap transaksi di bukunya dan pengurus harus memberikan jawaban yang memuaskan anggota. Mirip di bank konvensional. Tidak ada nasabah yang senang jika dianggap remeh. Karena itu pengelola harus professional karena dampaknya bisa sangat positif, nasabah akan berceritera pada anggota masyarakat lain mengenai keunggulan Bank Sampah di mana dia bergabung.
·         Jangan menyumbat aspirasi nasabah. Biasanya terjadi pada Bank Sampah yang dipimpin secara otoriter. Sang pemimpin lupa bahwa Bank Sampah bukan bisnis murni, ini adalah kewirausahaan sosial di mana berlaku dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota. Jadi pemimpin yang otoriter kelaut aja deh ^_^
·         Nasabah harus merasakan manfaat Bank Sampah. Sebetulnya tanpa menjadi anggota Bank Sampah, warga bisa menjual sampah anorganiknya kepada siapapun, di mana pun dan kapanpun. Hanya dengan mengetahui manfaat menjadi anggota bank sampah, warga masyarakat mau bergabung. Keuntungan menjadi anggota bank sampah inilah yang harus selalu digali dan dikembangkan. Contohnya Komunitas Kendal Gede Kreatif, selain memiliki bank sampah Motekar, juga membentuk koperasi simpan pinjam dan pembelian sembako murah. Kebutuhan warga masyarakat harus dipahami sebelum membentuk bank sampah. Beda wilayah, beda kebutuhannya.
·         Aktif menambah anggota. Apa jadinya jika suatu bank sampah merasa eksklusif dan enggan menambah anggota? Sementara itu, tidak ada jaminan pengurus yang sekarang aktif akan terus berada di lokasi yang sama. Bagaimana jika pindah rumah? Bagaimana jika meninggal dunia? Bisa terganggu kan operasional Bank Sampah? Bahkan terancam bubar jika pengurus lainnya merasa cape dan bosan. Perekrutan anggota akan membantu regenerasi juga menambah omzet bank sampah yang jika dikelola dalam koperasi maka akan memberikan faedah lebih banyak. Dalam banyak pertemuan, banyak sekali yang menanyakan tentang bank sampah. Bukti bahwa anggota masyarakat mulai peduli akan keberadaan bank sampah sehingga keberadaan bank sampah sebagai unit usaha terkecil dalam masyarakat seharusnya bisa membantu pemerintah menyelesaikan masalah sampah. Sayang terkendala minimnya sosialisasi, ditambah taburan berita bahwa dengan menabung di bank sampah bisa berobat gratis (Yakin? Hingga sakit kanker atau jantung yang menghabiskan jutaan rupiah? Jika hanya sakit flu, bukankah ada fasilitas BPJS yang gratis bagi kelompok tidak mampu?) Yang terpenting, keinginan anggota dengan terbentuknya bank sampah harus terpenuhi sehingga uang yang terkumpul di bank sampah akan tepat peruntukannya. Jika mayoritas warga butuh modal usaha tapi malah diberi fasilitas berobat maka bisa ditebak apa yang akan terjadi. Operasional bank sampah harus berkelanjutan tanpa bantuan, jika ada pinjaman modal, mereka harus mampu mengembalikannya.
·          
·          
Wrote by Maria G Soemitro




Ending yang bisa ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah. Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih …… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi Kota Jakarta.

Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada. Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama. Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti, menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya. Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari.

Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah, belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan, berhamburanlah isinya.

Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang. Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah, teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang, pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya. Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah menjadi kompos.

Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember 2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion (GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik. Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011 sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH. Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini.

Keberhasilan Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM lho, bukan lembaga ecek-ecek. kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan) Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia, wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada 19 Maret 2010.

Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto. Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta. Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan. Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa ke sumur artesis. Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt.

Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan.
Sayangnya pembuatan road map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi pengelolaan sampah.
Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah. Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang jalan yang dilalui.

Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1 kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga yang membuat kompos dengan harga miring. Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab lingkungan.

Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal, meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan menabung di bank sampah. Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun. Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^

 Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan berikutnya ya? ………..

Ending yang bisa ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah. Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih …… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi Kota Jakarta. Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada. Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama. Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti, menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya. Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari. Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah, belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan, berhamburanlah isinya. Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang. Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah, teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang, pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya. Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah menjadi kompos. Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember 2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion (GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik. Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011 sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH. Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini. Keberhasilan Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM lho, bukan lembaga ecek-ecek. kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan) Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia, wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada 19 Maret 2010. Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto. Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta. Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan. Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa ke sumur artesis. Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt. Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan. Sayangnya pembuatan road map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi pengelolaan sampah. Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah. Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang jalan yang dilalui. Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1 kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga yang membuat kompos dengan harga miring. Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab lingkungan. Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal, meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan menabung di bank sampah. Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun. Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^ Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan berikutnya ya? Karena judul dan isi tulisan mulai melenceng rupanya. Salam Kompasiana. Kompas.com Kompasiana.com Foto Kompas.com

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ada-apa-dengan-sampah-jakarta_564cb593b19273c40c540fd2
Ending yang bisa ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah. Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih …… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi Kota Jakarta. Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada. Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama. Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti, menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya. Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari. Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah, belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan, berhamburanlah isinya. Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang. Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah, teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang, pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya. Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah menjadi kompos. Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember 2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion (GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik. Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011 sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH. Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini. Keberhasilan Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM lho, bukan lembaga ecek-ecek. kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan) Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia, wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada 19 Maret 2010. Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto. Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta. Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan. Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa ke sumur artesis. Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt. Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan. Sayangnya pembuatan road map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi pengelolaan sampah. Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah. Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang jalan yang dilalui. Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1 kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga yang membuat kompos dengan harga miring. Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab lingkungan. Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal, meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan menabung di bank sampah. Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun. Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^ Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan berikutnya ya? Karena judul dan isi tulisan mulai melenceng rupanya. Salam Kompasiana. Kompas.com Kompasiana.com Foto Kompas.com

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/ada-apa-dengan-sampah-jakarta_564cb593b19273c40c540fd2
Wrote by Maria G Soemitro


“Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah”
Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau sih bergaul dengan sampah, sampah kan bau dan menjijikkan. Turun derajat bu, ngurusin sampah mah.”
Tentu saja itu tafsiran bebas, walau jika mau jujur, paradigma kita terhadap sampah kan seperti itu. Sedangkannnn …….. jika para penggunjing itu tahu bahwa sampah yang dibuang sia-sia ternyata mengandung nilai yang tinggi, pastilah mereka akan terdiam.

Tulisan ini meneruskan tulisan ini, yang menyinggung tentang pembentukan bank sampah dan jutaan rupiah bisa dihimpun dalam bank sampah dengan perincian sebagai berikut:
Satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun.

Apakah hanya perumahan? Tentu tidak. Justru perkantoran lebih mudah. Setiap anggota akan bertemu dalam waktu yang sama dan tempat yang sama. Hanya diperlukan kesepakatan dalam peraturan-peraturan yang disesuaikan kondisi mayoritas anggota, seperti hari penyetoran, siapa yang mengkoordinir, penentuan fee dan berbagai teknis pelaksanaan lainnya.
Sebelum mencapai kata sepakat, setiap anggota harus paham bahwa tujuan pendirian Bank Sampah bukan semata untuk menghasilkan uang tapi berkontribusi untuk mengurangi sampah yang dihasilkan di rumah tangganya sendiri.

Kesulitan pembentukan Bank Sampah sebetulnya berawal dari peraturan-peraturan yang tercantum dalam profil Bank Sampah sesuai rilis Kementerian Lingkungan Hidup. Juga sosialisasi yang cenderung kaku yang mensyaratkan adanya bangunan dan pengetahuan pengurus Bank Sampah mengenai jenis sampah anorganik yang na’udzubillahi min dzalik banyak pisan.
Karenanya dibutuhkan terobosan yang mempermudah proses tapi tetap menjalankan aktivitas yang penting, seperti pencatatan yang akurat, pembukuan keuangan yang dapat dipertanggung-jawabkan dan laporan secara periodik.
Contoh kasus di pemukiman padat dimana rumah warga saling berdempetan dan untuk beristirahat tidurpun harus bergantian dengan anggota keluarga lain. Maka syarat pengadaan bangunan Bank Sampah akan ditertawakan oleh mereka. Padahal produksi sampah mereka sangat banyak demikian juga warga yang bersedia menjadi relawan, sebelum akhirnya mereka diangkat menjadi pengurus yang mendapat fee atau honor tetap (sesuai kesepakatan).
Karena itu ada 3 hal yang tidak diwajibkan ketika membentuk Bank Sampah. Jika ada ya bagus, tapi jika tidak ada jangan menghalangi pembentukan Bank Sampah, yaitu:
  1. Tidak wajib memiliki bangunan. Pertemuan bisa dilaksanakan dimana saja, termasuk untuk menimbang dan mencatat. Fleksibel dilakukan di teras rumah, di halaman, tergantung kesepakatan.
  2. Tidak wajib memiliki pengetahuan tentang jenis sampah dan harganya. Karena bisa diserahkan ke pengepul/tukang rongsok yang akan datang dengan senang hati untuk membeli sampah anorganik yang telah terpisah. Tidak usah takut terlalu murah, pengepul juga ingin hubungan bisnis yang berkelanjutan.
  3. Tidak wajib mengolah sampah anorganik yang diterima. Karena sesudah dijual ke pengepul, Bank Sampah tidak memiliki tugas memproses sampah. Sayang banyak Bank Sampah yang sekarang beroperasi justru asyik mengolah sampah anorganik hasil setoran anggotanya, sehingga tujuan awal menyosialisasikan gerakan 3 R menjadi gagal. Jika ingin memproses sendiri sampah anorganik, silakan membentuk badan usaha baru yang merupakan sub bisnis Bank Sampah.
Dalam membentuk Bank Sampah, ada yang wajib dipenuhi:
  1. Sumber daya manusia. Yang bertugas sebagai pengurus dan anggota.
  2. Pencatatan yang transparan dan akurat. Di dalam satu buku besar Bank Sampah, pengurus mencatat seluruh setoran nasabah per waktu itu untuk kemudian dipisah sesuai kepemilikan. Setiap nasabah Bank Sampah memiliki satu buku tabungan (dapat dibeli di warung seharga Rp 500), yang dicatat jumlah setoran setiap minggunya. Diakhir periode barulah pengurus merekapitulasi dan membuat laporan.
  3. Membuat strategi meningkatkan omzet dengan menambah anggota, bukan dengan mengolah sampah. Sesuai namanya, Bank Sampah harus senantiasa bertambah anggotanya dengan menggunakan kiat-kiat pemasaran. Bedanya dengan bank konvensional yang meningkatkan nasabah untuk meningkatkan profit, Bank Sampah menambah nasabah untuk meningkatkan manfaat. Penambahan anggota bisa berasal dari teman arisan, teman komunitas tertentu, yang penting mudah mobilitasnya.
Langkah- langkah pelaksanaan
  • Sepakat memilih tiga pengurus utama.
  • Sepakat memisah sampah anorganik di rumah masing-masing, bisa dimasukkan ke kardus bekas atau kantong plastik bekas (keresek) dan diberi nama, sebelum akhirnya dibawa ke pertemuan Bank Sampah.
  • Sepakat bertemu di tempat dan waktu yang ditentukan untuk menyetor sampah anorganiknya. Sebaiknya setiap minggu sekali agar sampah anorganik tidak terlalu menggunung.
  • Sepakat dengan pengepul yang datang untuk menimbang sampah dan bersama menghitung berapa jumlah yang harus dibayar pengepul pada Bank Sampah
  • Pencatatan dengan tertib jumlah penjualan sampah anorganik pada hari itu di buku besar untuk kemudian dipindah ke buku tabungan Bank Sampah milik anggota.
  • Sepakat menyisihkan sekian persen (misalnya 10 %) untuk petugas.
  • Sepakat menyimpan uang penjualan sampah anorganik dalam rekening yang ditentukan bersama.
  • Selesai.
Lha kok cuma itu? Iya, kan sudah saya tulis di awal bahwa membentuk Bank Sampah itu amatlah mudah. Anda memiliki kelompok arisan atau pengajian atau komunitas hobi tertentu dan berminat membentuk Bank Sampah? Silakan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk bertemu dan mengumpulkan sampah anorganik yang berhasil dikumpulkan dari masing-masing rumah tangga. Sudah hanya itu.
Kesepakatan berikutnya adalah apakah uang itu akan ditabung hingga akhir tahun dan dibagikan? Atau akan dibentuk koperasi simpan pinjam? Atau dibentuk badan usaha lainnya? Silakan saja karena itu merupakan hak setiap anggota untuk mengutarakan aspirasinya.
Akhir kata, Bank Sampah merupakan bentuk kewirausahaan sosial yang Indonesia banget. Bermodalkan jumlah penduduk yang banyak dan berniat menyelesaikan masalah yang khas, yaitu sampah. Kewirausahaan sosial seperti ini akan sulit diterapkan di negara maju, yang jumlah penduduknya sedikit dan telah tertata sistem persampahannya. Jadi, daripada kita menunggu aksi pemerintah daerah yang entah kapan akan membereskan permasalahan sampah, mengapa kita tidak bergerak mandiri?
Bukankah hunian yang nyaman karena bebas sampah akan berdampak pada diri kita juga?
Jika ada rupiah dari Bank Sampah, ah itu mah bonus. ^_^.
Wrote by Maria G Soemitro


Bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional pada tanggal 21 Februari 2016 diuji cobakan kantong plastik (keresek) berbayar. Serentak di 22 kota. Setiap pembeli di ritel modern akan mendapat 3 pilihan untuk mewadahi belanjaannya, apakah mau menggunakan kardus yang disediakan gratis, membeli tas pakai ulang atau membeli kantong plastik/keresek? Artinya kantong plastik yang biasanya diberikan gratis hingga berlembar-lembar banyaknya, harus dibeli sekitar Rp 500/lembar.
Sebelum harinya tiba, banyak kontroversi menyertai kebijakan ini diantaranya ramalan
“cobra effect” yaitu akal-akalan warga yang melihat peluang mencari nafkah dengan menjual keresek di luar pintu ritel modern. Mirip yang terjadi ketika peraturan “ 3 in 1” diterapkan di DKI Jakarta. Waktu itu untuk mengurangi kemacetan, pemda DKI Jakarta memberlakukan aturan hanya kendaraan dengan minimal 3 orang penumpang yang diperbolehkan melewati jalan-jalan tertentu. Ternyata apa yang terjadi? Muncul joki yang menawarkan jasa untuk melengkapi jumlah 3 orang. Benarkah demikian? Benarkah warga yang “kreatif” akan menjadi pengasong keresek di luar pintu masuk ritel modern?
Berbeda dengan mereka yang skeptis, saya optimis bahwa ketakutan tersebut tidak beralasan.
Karena #pay4plastic merupakan gerakan sosial bukan gerakan pemerintah. Selain itu peraturan keresek berbayar merupakan langkah awal menuju tujuan yang lebih besar yaitu Indonesia BebasSampah2020. Ada sejarah panjang penuh liku yang dilalui para sukarelawan. Demikian kisahnya:
AWAL MULA
 Bencana lautan sampah yang menimpa kota Bandung seiring longsornya tempat penimbunan sampah Leuwigajah pada 21 Februari 2005, ternyata tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan. Sampah dalam kantong plastik bertebaran dimana-mana, memenuhi tanah-tanah kosong dan aliran sungai. Jangan ditanya di lokasi legal pembuangan sampah seperti TPS, pastinya lebih banyak lagi. Sementara seiring bertambahnya penduduk, timbulan sampah pastinya membludak juga. Dan seperti biasa, wargapun saling menyalahkan. Umumnya telunjuk mengarah ke pemerintah kota yang dianggap tidak becus dan keberadaan universitas terkenal di kota Bandung yang dipertanyakan kehadirannya. Ternyata mereka tidak tinggal diam. 
Pada tahun 2010, berbenderakan Greeneration Indonesia, sekelompok anak muda, mayoritas alumni ITB mulai memetakan masalah dan memilah solusi hingga akhirnya memutuskan bahwa yang termudah untuk dilakukan adalah meminimalisir penggunaan kantong plastik. Alasannya: 

  • Kantong plastik tidak termasuk kategori EPR (extended producer responsibility). Menurut peraturan, produsen bertanggung jawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan produk (EPR). Kewajiban tersebut meliputi sampah produk dan kemasannya, baik secara finansial maupun fisik. Sesuai dengan ayat 15 undang-undang 18 tahun 2008.Pasal 15; Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.Bisa dilihat disini bahwa kantong plastik yang digunakan mewadahi banyak produk, tidak masuk kategori EPR. Selain kantong plastik, produk yang tidak termasuk EPR atau tidak jelas penanggung jawabnya adalah styrofoam tempat wadah makanan dan kertas berlapis plastik warna coklat yang umumnya digunakan untuk membungkus nasi rames.  
  • Langkah termudah. Dibanding produk plastik lainnya, penghentian penggunaan kantong plastik merupakan langkah termudah. Karena kantong plastik memiliki substitusi yaitu tas pakai ulang dan kardus. Sangat berbeda dengan plastik kemasan panganan curah maupun plastik lainnya.
  • Status siaga untuk sampah kantong plastik. Setiap tahunnya, milyaran kantong plastik dibagikan pada konsumen. Sayangnya rata-rata pemakaian hanya 25 menit. Bahkan dalam perkembangannya muncul kantong plastik ‘ramah lingkungan’ yang justru membahayakan ekosistem. Silakan klik disini, untuk lebih lengkapnya. Bersama sukarelawan, Greeneration Indonesia mengimbau masyarakat agar mengubah perilaku boros kantong plastik menjadi bijak dalam penggunaannya. Kampanye ini dinamakan “Diet Kantong Plastik”. Beragam cara dilakukan dalam kampanyenya seperti ‘Rampok Keresek” yaitu “merampok” keresek yang digunakan pejalan kaki dan menggantinya dengan tas pakai ulang yang dibagikan gratis. Tentunya jangan membayangkan kata rampok disini dengan pamaksaan. Karena kampanye berlangsung menyenangkan, penuh gelak dan tawa. Tak ketinggalan monster plastik selalu menemani kampanye mereka.

KOLABORASI 
Ada quote menarik dari Mohamad Bijaksana Junerosano, President Director Greeneration Indonesia (GI) : “ kolaborasi adalah keniscayaan”, itu sebabnya GI berkolaborasi dengan Change.org, Ciliwung Institute, Earth Hour Indonesia, LeafPlus, Plastik Detox, Si Dalang ID, The Body Shop Indonesia dan sejumlah individu membentuk Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP). Kampanye bijak penggunaan kantong plastikpun menjadi lintas usia, lintas latar belakang dan lintas kota. Bukankah sebatang lidi baru terasa manfaatnya jika sudah bersatu dalam satu ikatan bernama sapu lidi?
REGULASI
Tidak hanya berkampanye, GIDKP menggalang petisi agar pemerintah peduli dan menyusun peraturan yang membatasi pemakaian kantong plastik. Petisi yang ditandatangani 20 ribu orang lebih tersebut mendapat jawaban langsung dari Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 30 Desember 2015 yang mengeluarkan surat edaran di bawah Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (Nomor: SE-06/PSLB3-PS/2015). Surat ditujukan kepada kepala daerah dan pelaku usaha; mengenai penerapan plastik berbayar di seluruh gerai pasar modern di Indonesia. Beberapa tahun lalu, Carrefour pernah menerapkan peraturan kantong plastik berbayar, saya menulisnya disini. Sayang kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, pembeli marah-marah, Carrefour dianggap aneh, sehingga kebiasaan pemberian kantong plastik gratispun kembali lagi. Karena itu dibutuhkan peraturan yang berlaku merata di setiap ritel modern. Kota Bandung merupakan daerah yang paling siap regulasinya, yaitu Perda nomor 17 tahun 2012 tentang pelarangan pemakaian kantong plastik. Sedangkan kota-kota lain pendukung gerakan kantong plastik, baru mulai menyusun peraturan daerahnya. Agar peraturan kantong plasti berbayar tidak menjadi kegiatan insidentil yang rawan dilupakan.
AKHIR DARI AWAL MULA
Dalam rangka HUT Jakarta, pemprov DKI Jakarta pernah mengeluarkan imbauan kepada 74 toko retail yang mengikuti Jakarta Festival Great Sale (JFGS), untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Selama pelaksanaan JFGS, 1-30 Juni 2013, kantong plastik diharapkan tidak dibagikan gratis, sebagai penggantinya disediakan tas belanja alternatif yang dapat digunakan kembali. Berhasil? Terlalu naïf jika mengharapkan imbauan sebulan akan berdampak secara signifikan. Kita terlalu lama dininabobokan. Pemahaman bahaya penggunaan kantong plastik secara boros, tidak serta merta membuat tergugah dan meninggalkan kebiasaan instan. Sudah menjadi ketentuan alam bahwa manusia enggan meninggalkan zona nyaman. Terlebih ada produsen kantong plastik yang merasa terancam, ajakan mengurangi penggunaan kantong plastik akan mengancam omzet penjualan produknya. Silakan hitung berapa milyar kantong plastik pertahunnya, kalikan sekitar Rp 100, maka akan didapat jumlah rupiah yang diraup. Namun tujuan baik, asalkan konsisten dilakukan pastilah mendulang hasil. Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik tidak hanya mendapat respon positif dari kementerian lingkungan hidup, tapi juga dari berbagai elemen masyarakat yang akan membuat berbagai kegiatan pada tanggal 21 Februari kelak. #Pay4plastic hanya bagian dari rangkaian kegiatan menuju #BebasSampah2020. Ini bukan sekedar hura-hura, tapi gerakan perubahan sosial yang dikemas secara menyenangkan. Karena walau banyak yang skeptis, jumlah masyarakat yang optimis tidak kurang banyaknya. Warga masyarakat yang mulai menyadari bahwa pemberian kantong plastik lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya





Jika tak ada aral melintang, bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional pada tanggal 21 Februari 2016 akan diuji cobakan kantong plastik (keresek) berbayar. Serentak di 22 kota. Setiap pembeli di ritel modern akan mendapat 3 pilihan untuk mewadahi belanjaannya, apakah mau menggunakan kardus yang disediakan gratis, membeli tas pakai ulang atau membeli kantong plastik/keresek? Artinya kantong plastik yang biasanya diberikan gratis hingga berlembar-lembar banyaknya, harus dibeli sekitar Rp 500/lembar. Belum lagi tanggal yang disepakati tiba, kompasianer Gustaaf Kusno meramalkan akan terjadi “ cobra effect” yaitu akal-akalan warga yang melihat peluang mencari nafkah dengan menjual keresek di luar pintu ritel modern. Mirip yang terjadi ketika peraturan “ 3 in 1” diterapkan di DKI Jakarta. Waktu itu untuk mengurangi kemacetan, pemda DKI Jakarta memberlakukan aturan hanya kendaraan dengan minimal 3 orang penumpang yang diperbolehkan melewati jalan-jalan tertentu. Ternyata apa yang terjadi? Muncul joki yang menawarkan jasa untuk melengkapi jumlah 3 orang. Benarkah demikian? Benarkah warga yang “kreatif” akan menjadi pengasong keresek di luar pintu masuk ritel modern? Berbeda dengan pak Gustaaf yang skeptis, saya optimis bahwa ketakutan tersebut tidak beralasan. Karena #pay4plastic merupakan gerakan sosial bukan gerakan pemerintah. Selain itu peraturan keresek berbayar merupakan langkah awal menuju tujuan yang lebih besar yaitu Indonesia BebasSampah2020. Ada sejarah panjang penuh liku yang dilalui para sukarelawan. Demikian kisahnya: AWAL MULA Bencana lautan sampah yang menimpa kota Bandung seiring longsornya tempat penimbunan sampah Leuwigajah pada 21 Februari 2005, ternyata tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan. Sampah dalam kantong plastik bertebaran dimana-mana, memenuhi tanah-tanah kosong dan aliran sungai. Jangan ditanya di lokasi legal pembuangan sampah seperti TPS, pastinya lebih banyak lagi. Sementara seiring bertambahnya penduduk, timbulan sampah pastinya membludak juga. Dan seperti biasa, wargapun saling menyalahkan. Umumnya telunjuk mengarah ke pemerintah kota yang dianggap tidak becus dan keberadaan universitas terkenal di kota Bandung yang dipertanyakan kehadirannya. Ternyata mereka tidak tinggal diam. Pada tahun 2010, berbenderakan Greeneration Indonesia, sekelompok anak muda, mayoritas alumni ITB mulai memetakan masalah dan memilah solusi hingga akhirnya memutuskan bahwa yang termudah untuk dilakukan adalah meminimalisir penggunaan kantong plastik. Alasannya: Kantong plastik tidak termasuk kategori EPR (extended producer responsibility). Menurut peraturan, produsen bertanggung jawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan produk (EPR). Kewajiban tersebut meliputi sampah produk dan kemasannya, baik secara finansial maupun fisik. Sesuai dengan ayat 15 undang-undang 18 tahun 2008.Pasal 15; Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.Bisa dilihat disini bahwa kantong plastik yang digunakan mewadahi banyak produk, tidak masuk kategori EPR. Selain kantong plastik, produk yang tidak termasuk EPR atau tidak jelas penanggung jawabnya adalah styrofoam tempat wadah makanan dan kertas berlapis plastik warna coklat yang umumnya digunakan untuk membungkus nasi rames. Langkah termudah. Dibanding produk plastik lainnya, penghentian penggunaan kantong plastik merupakan langkah termudah. Karena kantong plastik memiliki substitusi yaitu tas pakai ulang dan kardus. Sangat berbeda dengan plastik kemasan panganan curah maupun plastik lainnya. Status siaga untuk sampah kantong plastik. Setiap tahunnya, milyaran kantong plastik dibagikan pada konsumen. Sayangnya rata-rata pemakaian hanya 25 menit. Bahkan dalam perkembangannya muncul kantong plastik ‘ramah lingkungan’ yang justru membahayakan ekosistem. Silakan klik disini, untuk lebih lengkapnya. Bersama sukarelawan, Greeneration Indonesia mengimbau masyarakat agar mengubah perilaku boros kantong plastik menjadi bijak dalam penggunaannya. Kampanye ini dinamakan “Diet Kantong Plastik”. Beragam cara dilakukan dalam kampanyenya seperti ‘Rampok Keresek” yaitu “merampok” keresek yang digunakan pejalan kaki dan menggantinya dengan tas pakai ulang yang dibagikan gratis. Tentunya jangan membayangkan kata rampok disini dengan pamaksaan. Karena kampanye berlangsung menyenangkan, penuh gelak dan tawa. Tak ketinggalan monster plastik selalu menemani kampanye mereka. KOLABORASI Ada quote menarik dari Mohamad Bijaksana Junerosano, President Director Greeneration Indonesia (GI) : “ kolaborasi adalah keniscayaan”, itu sebabnya GI berkolaborasi dengan Change.org, Ciliwung Institute, Earth Hour Indonesia, LeafPlus, Plastik Detox, Si Dalang ID, The Body Shop Indonesia dan sejumlah individu membentuk Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP). Kampanye bijak penggunaan kantong plastikpun menjadi lintas usia, lintas latar belakang dan lintas kota. Bukankah sebatang lidi baru terasa manfaatnya jika sudah bersatu dalam satu ikatan bernama sapu lidi? REGULASI Tidak hanya berkampanye, GIDKP menggalang petisi agar pemerintah peduli dan menyusun peraturan yang membatasi pemakaian kantong plastik. Petisi yang ditandatangani 20 ribu orang lebih tersebut mendapat jawaban langsung dari Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 30 Desember 2015 yang mengeluarkan surat edaran di bawah Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (Nomor: SE-06/PSLB3-PS/2015). Surat ditujukan kepada kepala daerah dan pelaku usaha; mengenai penerapan plastik berbayar di seluruh gerai pasar modern di Indonesia. Beberapa tahun lalu, Carrefour pernah menerapkan peraturan kantong plastik berbayar, saya menulisnya disini. Sayang kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, pembeli marah-marah, Carrefour dianggap aneh, sehingga kebiasaan pemberian kantong plastik gratispun kembali lagi. Karena itu dibutuhkan peraturan yang berlaku merata di setiap ritel modern. Kota Bandung merupakan daerah yang paling siap regulasinya, yaitu Perda nomor 17 tahun 2012 tentang pelarangan pemakaian kantong plastik. Sedangkan kota-kota lain pendukung gerakan kantong plastik, baru mulai menyusun peraturan daerahnya. Agar peraturan kantong plasti berbayar tidak menjadi kegiatan insidentil yang rawan dilupakan. AKHIR DARI AWAL MULA Dalam rangka HUT Jakarta, pemprov DKI Jakarta pernah mengeluarkan imbauan kepada 74 toko retail yang mengikuti Jakarta Festival Great Sale (JFGS), untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Selama pelaksanaan JFGS, 1-30 Juni 2013, kantong plastik diharapkan tidak dibagikan gratis, sebagai penggantinya disediakan tas belanja alternatif yang dapat digunakan kembali. Berhasil? Terlalu naïf jika mengharapkan imbauan sebulan akan berdampak secara signifikan. Kita terlalu lama dininabobokan. Pemahaman bahaya penggunaan kantong plastik secara boros, tidak serta merta membuat tergugah dan meninggalkan kebiasaan instan. Sudah menjadi ketentuan alam bahwa manusia enggan meninggalkan zona nyaman. Terlebih ada produsen kantong plastik yang merasa terancam, ajakan mengurangi penggunaan kantong plastik akan mengancam omzet penjualan produknya. Silakan hitung berapa milyar kantong plastik pertahunnya, kalikan sekitar Rp 100, maka akan didapat jumlah rupiah yang diraup. Namun tujuan baik, asalkan konsisten dilakukan pastilah mendulang hasil. Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik tidak hanya mendapat respon positif dari kementerian lingkungan hidup, tapi juga dari berbagai elemen masyarakat yang akan membuat berbagai kegiatan pada tanggal 21 Februari kelak. #Pay4plastic hanya bagian dari rangkaian kegiatan menuju #BebasSampah2020. Ini bukan sekedar hura-hura, tapi gerakan perubahan sosial yang dikemas secara menyenangkan. Karena walau banyak yang skeptis, jumlah masyarakat yang optimis tidak kurang banyaknya. Warga masyarakat yang mulai menyadari bahwa pemberian kantong plastik lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/akankah-keresek-berbayar-berbalik-menjadi-bumerang_56a52ca680afbd8e0be4a9b2
Wrote by Maria G Soemitro
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR



Haloooo, saya Maria G Soemitro, seorang ambu (ibu = Bahasa Sunda) dengan 4 orang anak.
Blog ini didedikasikan khusus untuk berbagi perihal sampah. Mengenai saya selengkapnya ada disini Saya bisa dihubungi di ambu_langit@yahoo.com




LATEST POSTS

  • Rumah Kompos Di Antapani
    Rumah Kompos Bina Usaha Sejahtera (dok Maria G. Soemitro) Tulisan ini merupakan sequel dari dari : “Sekali Tepuk Dua Tempat” ...
  • 5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan
           5 Langkah Atasi Sampah Plastik untuk Bumi yang Berkelanjutan “Say no to Plastics” Demikian bunyi  banner yang kerap bersliweran di ha...
  • Stop Tayangan OVJ, atau Ganti Property !
    Anak anak tertawa Ibu ibu tertawa Para bapak juga tertawa Gara gara aksi Sule, Azis, Nunung, Andre dan Parto Bercanda...
  • Belajar Dari Pak Herry, Newbie di Persampahan
      lapak pak Herry Manisnya   bisnis persampahan nampaknya menarik minat pak Herry 3 tahun silam. Sebagai newbie, dia tak segan-...
  • Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu
    “Duh, ibu rajin sekali angkat-angkat sampah” Kalimat satire tersebut akrab didengar pengurus Bank Sampah. Maksudnya, ih ibu kok mau si...
  • International Plastic Bag Free Day, Emang Gue Pikirin........ ??
    Maukah Anda Berdiet Kantung Plastik? Hari Bebas Kantung Plastik Sedunia tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal  3 Juli 2011 . Tah...
  • Jangan Tertipu Jargon Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    Tas ramah lingkungan terbuat dari campuran singkong (dok. Maria G Soemitro) Yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan disini t...
  • Kawasan Bebas Sampah, Langkah Awal Menuju Zero Waste Cities
    source:abnamro.com Dalam 20 tahun terakhir, gerakan No Waste yang kemudian berubah menjadi Zero Waste, bergaung secara masif di A...
  • Kisah Absurd Kantong Plastik Ramah Lingkungan
    kantung plastik ramah lingkungan (dok. Maria Hardayanto) “Hai air, jangan banjir dulu ya………. Aku belum hancur nih. Waktu ur...
  • Kesejahteraan Pemulung Yang Terabaikan
    dok. Yayasan Kontak Indonesia Pemulung dinobatkan sebagai pahlawan lingkungan? Sudah sangat sering didengungkan. Khususnya karena...

Advertisement

Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
Maria G Soemitro
Lihat profil lengkapku

Waspada, Gagal Paham Ecobrick!

   sumber: azocleantech.com   Waspada, Gagal Paham Ecobrick! Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengiri...

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 22 (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 28 (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 28 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 10 (1)
  • ►  2018 (2)
    • ►  April (2)
      • ►  Apr 18 (1)
      • ►  Apr 09 (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (2)
      • ►  Nov 23 (1)
      • ►  Nov 17 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 19 (1)
    • ►  Mei (3)
      • ►  Mei 20 (1)
      • ►  Mei 11 (2)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
  • ▼  2016 (6)
    • ▼  Oktober (4)
      • ▼  Okt 09 (4)
        • Berbagi kisah Sukses Bank Sampah
        • Ahok dan Sampah Jakarta
        • Yuk Bikin Bank Sampah di Lingkunganmu
        • Si Kantong Plastik yang mengundang Kontroversi
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 25 (2)
  • ►  2015 (61)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 14 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
    • ►  Agustus (8)
      • ►  Agu 18 (1)
      • ►  Agu 11 (2)
      • ►  Agu 09 (2)
      • ►  Agu 02 (1)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (16)
      • ►  Jul 31 (1)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 25 (1)
      • ►  Jul 19 (3)
      • ►  Jul 18 (2)
      • ►  Jul 15 (2)
      • ►  Jul 13 (2)
      • ►  Jul 07 (3)
      • ►  Jul 05 (1)
    • ►  Juni (16)
      • ►  Jun 30 (2)
      • ►  Jun 29 (2)
      • ►  Jun 28 (2)
      • ►  Jun 25 (2)
      • ►  Jun 24 (2)
      • ►  Jun 11 (1)
      • ►  Jun 10 (1)
      • ►  Jun 09 (1)
      • ►  Jun 06 (1)
      • ►  Jun 04 (1)
      • ►  Jun 03 (1)
    • ►  Mei (5)
      • ►  Mei 14 (2)
      • ►  Mei 03 (2)
      • ►  Mei 01 (1)
    • ►  April (1)
      • ►  Apr 24 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 21 (1)
    • ►  Februari (12)
      • ►  Feb 22 (1)
      • ►  Feb 21 (1)
      • ►  Feb 16 (2)
      • ►  Feb 11 (2)
      • ►  Feb 10 (1)
      • ►  Feb 09 (1)
      • ►  Feb 06 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
      • ►  Feb 03 (2)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 21 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 11 (1)
  • ►  2012 (20)
    • ►  Desember (2)
      • ►  Des 29 (2)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 27 (1)
    • ►  September (5)
      • ►  Sep 21 (1)
      • ►  Sep 20 (3)
      • ►  Sep 07 (1)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 01 (2)
    • ►  Juli (1)
      • ►  Jul 29 (1)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 25 (1)
    • ►  Mei (2)
      • ►  Mei 18 (1)
      • ►  Mei 17 (1)
    • ►  Maret (4)
      • ►  Mar 19 (2)
      • ►  Mar 17 (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 29 (1)
      • ►  Feb 14 (1)
  • ►  2011 (15)
    • ►  Oktober (2)
      • ►  Okt 13 (2)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 04 (2)
    • ►  Juli (2)
      • ►  Jul 28 (1)
      • ►  Jul 09 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 31 (1)
    • ►  April (5)
      • ►  Apr 10 (1)
      • ►  Apr 07 (2)
      • ►  Apr 05 (1)
      • ►  Apr 03 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 16 (2)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 21 (1)
  • ►  2010 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 29 (3)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 12 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 26 (1)
    • ►  Januari (1)
      • ►  Jan 05 (1)
  • ►  2009 (4)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 23 (2)
      • ►  Des 04 (1)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 16 (1)

Label

3 R adipura B3 BandungJuaraBebasSampah bank sampah barang bekas BebasSampahId biodigester biogas debat ilmuwan ecobrick energi Environmental Sustainability Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik industri kreatif Iriana Jokowi kantong plastik kantung plastik keresek KESEJAHTERAAN lifestyle MASA DEPAN CERAH pengepul pengomposan PERENCANAAN KEUANGAN pernak pernik photography pilah sampah ramah lingkungan regulasi reparasi Reverse Vending Machine Ridwan Kamil sampah anorganik sampah organik solusi limbah sosok styrofoam SUN LIFE zero waste

Translate

Laman

  • Halaman Muka
  • green planet
  • Kaisa Indonesia

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Copyright © 2016 Bandung Zero Waste. Designed by OddThemes & Blogger Templates