Pilkada DKI Jakarta diambang pintu, menyusul kemudian pilkada Jabar, pileg dan pilpres. Tanpa berfikir terlalu lamapun kita langsung membayangkan rangkaian kampanye yang itu-itu saja. Bak sinetron para kandidat mendatangi korban bencana alam, pesantren, seniman dan pasar tradisional. Dengan bualan yang sama: “Berjanji meningkatkan kesejahteraan pelaku pasar tradisional!”
Janji gombal karena tanpa langkah nyata. Ajakan berbelanja ke pasar tradisional berlalu bagai angin surga. Revitalisasi pasar tidak pernah terealisasi. Andaikan terealisasi, maka biasanya harga sewa kios pasar meroket tajam. Kemudian pedagang mencari solusi sendiri: “Menggelar dagangannya di trotoar pasar!”
Akibatnya bisa diduga, kios-kios pasar yang baru dibangun akan berubah menjadi kios “berhantu”, sedangkan trotoar yang seharusnya bersih berubah kumuh, kotor, becek, penuh sampah seperti foto berikut:
Bahkan, pedagang makanan pun berjualan di sebelah tumpukan sampah. Ironisnya, pembeli pun tetap mau membeli dan makan di rombong makanan yang digelar di samping tumpukan sampah. Mungkin ini karena budaya kita terhadap nilai-nilai kebersihan belum begitu tertanam, jadi rasa jijik makan di samping tumpukan sampah tak menghalangi keinginan makan di tempat itu.
Bayangkan, apa gak jijik berbelanja di pasar, sementara tumpukan sampah yang menunggu dibuang ada di tengah-tengah pasar. Tumpukan sampah aneka macam sisa dagangan basah, lengkap dengan kerumunan lalat terhampar di depan kios-kios pedagang seperti ini.
Padahal apabila pejabat terpilih amanah dan menepati janjinya maka revitalisasi terstruktur akan membantu pedagang tradisional meningkatkan pelayanannya. Karena sesuai kultur, masyarakat Indonesia sebetulnya senang berbelanja di pasar tradisonal.
Masyarakat Indonesia yang dimaksud adalah pembeli lintas ekonomi. Si kaya dan si miskin. Mereka senang berbelanja ditempat yang penuh keakraban.
Di pasar tradisonal, pembeli bisa menawar, bercanda dan meminta tambah. Ketika hampir usai berbelanja, apabila pembeli tiba-tiba teringat harus membeli daun bawang dan seledri. Maka dengan nada merayu bisa meminta pedagang sayur:
“Bu, tambah bawang daun seledri dong untuk bonus”
Bukan masalah nilai bawang daun /seledri seharga Rp 500 – Rp 1.000, tapi nilai hubungan cair yang terjalin antara pedagang dan pembeli di pasar tradisional tidak dapat diketemukan di pasar swalayan. Coba saja minta bawang daun/seledri pada pegawai supermarket. Bisa-bisa dikira “wong kenthir” (orang gila;pen)
Agar hubungan cair terjaga, pemerintah daerah selaku pelayan masyarakat seharusnya memperhatikan beberapa hal berikut ketika merevitalisasi pasar :
- Secara periodik diadakan tera ulang gratis pada semua timbangan pedagang. Agar pembeli semakin nyaman berbelanja. Beberapa timbangan yang tidak akurat hanya dikerjakan beberapa oknum. Tidak bisa disama ratakan.
- Jangan menetapkan harga sewa kios yang tak terjangkau. Masa sih enggan meningkatkan kesejahteraan pedagang kecil yang telah menghabiskan waktu hampir 18 jam perhari di pasar?. Daripada dana hibah habis untuk keroyokan tidak jelas, apa salahnya digunakan untuk membangun kios pasar?
- Memfasilitasi tim kerja professional yang bertanggung jawab terhadap operasional pasar. Kota Bandung membentuk Perusahaan Daerah (PD) Pasar dengan tujuan serupa, Tetapi mungkin karena terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) yang notabene tidak terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) maka hasilnya “memble”. Mereka lebih senang duduk-duduk dibelakang meja daripada mengkoordinir pedagang pasar. Satu unit kerja independen akan lebih efektif. Untuk sementara mereka bisa mendapat tunjangan pemerintah sebelum akhirnya mampu berdiri sendiri karena memperoleh pendapatan dari pedagang kios dan hasil olah sampah.
- Pembagian kios pasar berdasarkan sampah yang dihasilkan. Misalnya kios buah dan sayuran satu barisan tersendiri karena sampah yang dihasilkan adalah sampah organik. Sedangkan kios kelontong dan berbagai bahan makanan kering biasanya menghasilkan sampah anorganik. Sampah anorganik akan menberikan penghasilan bagi tim independen tersebut demikian juga sampah organik. Sampah organik yang langsung dikompos di area pasar memiliki banyak keuntungan: efektif dan efisiensi waktu, area pasar menjadi bersih karena sampah segera ditangani. Pembeli dan pedagang merasa nyaman. Perubahan lifestylepun terbentuk.
Los pasar untuk daging dan ikanpun bisa terpisah dalam bentuk seperti ini :
Nyaman bukan? Mengurangi serbuan lalat dari arah los daging dan ikan ke arah los buah-buahan dan barang dagangan lainnya seperti tahu dan kelapa parut.
Solidaritas sosial terjalin, perekonomian meningkat hanyalah salah dua dari keuntungan adanya pasar tradisional. Jadi mengapa revitalisasi pasar dikerjakan setengah hati?
Mengapa kepala daerah seolah tega melihat rakyatnya hidup berkubang sampah yang bau, kotor dan menjijikkan. Atau jangan-jangan memang tidak ada niatan para kepala daerah untuk mengangkat mereka agar hidup lebih sejahtera?
Jangan-jangan kesengsaraan dan ketidak berdayaan diperlukan untuk ditengok setiap 5 tahun sekali?
Atau jangan-jangan kita sedang memilih penguasa bukan memilih pemimpin?
Ah masak sih?
Hasil Kolaborasi Maria G. Soemitro dan Ira Oemar
Foto sampah pasar by Ira Oemar : Pasar Kranggot Kota Cilegon, diambil pagi hari ketika pasar sedang ramai pembeli dan pedagang.
Foto pasar bersih by Maria G. Soemitro : Pasar Podosugih Kota Pekalongan, diambil siang hari tatkala pasar mulai sepi dan lantai dipel kembali.
Wrote by Maria G Soemitro